BLL | 5

34.7K 3.1K 45
                                    

Bianca melangkah masuk ke dalam lapangan indoor SMA Cempaka

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bianca melangkah masuk ke dalam lapangan indoor SMA Cempaka. Sesuai paksaan Aksa, hari ini ia harus melihat laki-laki itu bertanding.

Bianca dan Nela menghampiri tribun yang dipenuhi anak-anak SMA Taruna, mencari tempat yang pas untuk menonton pertandingan. Setidaknya, Arsa harus bisa melihatnya. Kalau tidak, laki-laki itu bisa ngamuk, sengamuk-ngamuknya.

"WOY, BIANCA! NELA! SINI!"

Bianca dan Nela menoleh ke sumber suara, dan mendapati Irene, salah satu teman kelas mereka, melambaikan tangan. Dua gadis itu menghampiri Irene. Sepertinya, Irene sudah menyiapkan tempat untuk mereka. Irene tak sendirian, ada Hanum dan Joanna juga di sana.

"Nih, gue booking-in tempat buat lo berdua," ucap Irene. "Tenang, si Arsa pasti bisa liat lo, Bi. Aman!"

Bianca dan Nela terkekeh, lalu duduk di sebelah Irene.

Bianca dan Nela memang dekat dengan Irene dan kedua temannya, tapi tak sedekat dengan Mars, Brian, Arsa, dan Reagan. Keempat laki-laki itu sudah mewarnai hari-hari Bianca sejak mereka masih SMP. Sedangkan Nela, sejak SMA. Namun karena Bianca dan Nela sering bersama, alhasil Nela juga dekat dengan keempat laki-laki itu.

Tak lama, suara MC terdengar dari tengah lapangan. Setelah pembukaan, kelima pemain inti SMA Bima Sakti memasuki lapangan, diikuti lima pemain inti SMA Taruna. Ya, hari ini sekolah mereka akan bertanding dengan SMA Bima Sakti, salah satu rival terberat SMA Taruna. Bukan rahasia lagi kalau dua sekolah itu selalu bertanding sengit untuk memperebutkan posisi pertama dalam segala bidang.

Saat mata Arsa dan Bianca bertemu, Arsa langsung menyunggingkan senyum manisnya. Sontak, seisi lapangan heboh. Senyuman Arsa yang jarang muncul itu memang selalu menjadi pemandangan favorit kaum hawa. Mereka tak tahu saja, kalau senyum itu hanya ditujukan untuk Bianca seorang.

"Aduh duh, yang disenyumin lo, yang teriak mereka. Dasar cewek-cewek gatel!" gerutu Irene. Nela, Hanum, dan Joanna tertawa, sekaligus mengangguk. Bianca hanya tersenyum tipis, enggan menanggapi lebih jauh.

"Astaga, Baraaa!" pekik Nela saat melihat salah satu pemain SMA Bima Sakti yang terlihat paling menonjol. Yang Bianca tahu, namanya Bara. Dia kapten basket, sekaligus most wanted di SMA Bima Sakti. Persis seperti posisi Arsa di SMA Taruna. Bedanya, Bara terkenal playboy, sedangkan Arsa tidak. Hanya satu gadis yang ada di hidup Arsa. Bianca namanya.

"Dia barusan putus dari pacarnya yang ke seratus dua nggak, sih?" celetuk Irene. Nela mengangguk antusias.

"Gue mau ah, jadi yang ke seratus tiga," balas Nela centil.

"Gue seratus empatnya, deh!" celetuk Hanum.

"Yeee, kalian. Mau-mau aja jadi mainannya si Bara! Harga diri woy, harga diri!" balas Joanna sengit. Diantara mereka berlima, Joanna memang yang paling irit bicara. Sepertinya, ia hanya bisa melontarkan kata-kata pedas dari bibir mungilnya itu.

Nela dan Hanum mencebik.

Bianca mengalihkan pandangannya, kembali ke lapangan. Ia merasa tak nyaman saat merasa Bara menatapnya intens. Gadis itu langsung mengalihkan pandangan ke arah lain, berharap pikirannya salah.

***

Pertandingan dihentikan sejenak sebelum masuk ke babak terakhir. Kesempatan itu Bianca gunakan untuk pergi ke toilet.

"Mau gue temenin nggak, Bi?" tanya Nela. Bianca menggeleng. "Aku sendiri aja. Cuma bentar, kok."

"Ya udah, hati-hati. Jangan deket-deket cowok lain kalo nggak mau si Arsa ngamuk," Nela memperingatkan. Bianca mengangguk paham, lalu keluar dari lapangan.

Tak butuh waktu lama bagi Bianca menyelesaikan urusannya di toilet. Saat gadis itu hendak kembali ke lapangan, langkahnya dihentikan oleh seseorang yang tiba-tiba muncul dihadapannya.

"Hai, boleh kenalan?"

Bara. Laki-laki itu Bara. Orang yang menatapnya tadi. Bianca mengerjapkan matanya beberapa kali. Ternyata kalau dari dekat, Bara terlihat jauh lebih tampan. Untuk beberapa detik, tanpa Bianca sadari, gadis itu menahan napasnya.

Melihat keterdiaman Bianca, Bara mengulurkan tangannya. "Gue Bara. Lo?"

Bianca mengedarkan pandangannya ke sekeliling, memastikan tak ada tanda-tanda Arsa di sekitar sini. Dirasa aman, gadis itu membalas uluran tangan Bara.

"Bianca."

Bara tersenyum lebar. "Mau balik lapangan?"

Bianca mengangguk.

"Bareng gue, yuk."

"E-eh, jangan!" tolak Bianca cepat. Bara mengerutkan keningnya, bingung. "Kenapa?"

Ntar kamu diamuk Arsa, batin Bianca. Ia memutar otak, namun tak bisa menemukan alasan yang tepat. "P-pokoknya jangan. Aku balik duluan, ya. Bye, Bara!"

Bianca langsung kabur, kembali ke tribun sebelum ada yang melihat. Bara yang melihat punggung Bianca menjauh, terkekeh.

"Cantik," gumamnya. Dan untuk pertama kalinya, jantung Bara berdegup kencang karena seorang gadis.

***

"Kamu tadi kemana waktu break? Aku nyariin kamu di tribun, kamu nggak ada."

Bianca gelagapan mendengar pertanyaan Arsa. Laki-laki itu tak mungkin tahu, kan?

"Toilet," jawab Bianca. Ia berusaha menyembunyikan ketakutannya, dengan mengalihkan pandangan kemanapun, asal tak menatap Arsa. Gadis itu memilih untuk membuang pandangan keluar jendela mobil. Saat ini, ia dan Arsa sedang perjalanan pulang, setelah SMA Taruna kembali memenangkan pertandingan dengan skor 42-41.

"Oh. Nggak ngobrol sama cowok lain, kan?" tanya Arsa penuh selidik. Bianca langsung merasa darahnya surut.

"N-nggak."

"Bener?"

Duh, apa Arsa tau, ya? batinnya. Namun daripada mengaku, Bianca memilih melanjutkan skenarionya. Gadis itu mengangguk.

"Kayak takut gitu," ucap Arsa. Ia memberhentikan mobilnya di tepi jalan, lalu menarik dagu Bianca, hingga gadis itu menatap matanya. Arsa meneliti ekspresi wajah Bianca.

"Kamu bohong," ucap Arsa. Tenang, namun mematikan. Rasanya Bianca ingin menenggelamkan diri saja di laut lepas.

"Siapa?"

Bianca menelan ludahnya susah payah. Tidak, ia tak boleh mengaku. Ia tak mau Bara juga menjadi salah satu korban Arsa.

"Bianca," panggil Arsa, setengah mendesis. Ia mengunci pandangan Bianca dengan kedua mata tajamnya. "JAWAB!"

Bianca memejamkan mata, takut dengan kemarahan Arsa. Gadis itu sampai berjengit kaget saat Arsa membentaknya. Tanpa komando lagi, air mata Bianca sudah berkumpul di pelupuk mata.

"Jangan buat aku marah, Ca. Siapa?"

Bianca menggeleng. Tanpa bisa dicegah lagi, Bianca menangis.

Tuhan, tolong buat Bianca nggak cengeng, kali ini aja, batinnya.

"Nggak mau jawab?" tanya Arsa. Laki-laki itu mengangguk. "Oke. Aku cari tau sendiri nanti. Dan jangan salahin aku, kalau cowok itu mati."

Arsa kembali melajukan mobilnya membelah jalanan kota dengan kecepatan tinggi, tanpa mempedulikan tangisan Bianca yang semakin kencang, memintanya berhenti.

BETWEEN LOVE AND LIES ✓Where stories live. Discover now