BLL | 29

18.3K 1.6K 128
                                    

Bianca mematut dirinya di depan cermin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bianca mematut dirinya di depan cermin. Mata sembabnya sudah sedikit tersamarkan oleh concealer, bibir pucatnya sudah ia olesi lip tint, dan rambut acak-acakannya sudah ia catok rapi. Hanya tubuhnya yang makin mengurus dalam waktu satu minggu yang tak bisa ia tutupi.

Setelah merasa semuanya sudah tertutupi dengan sempurna, Bianca mengambil tas ranselnya, melangkah keluar dari kamar untuk berangkat.

"Non, nggak sarapan dulu?" tanya Bi Irma.

"Nggak, Bi. Ica makan di sekolah aja," ucapnya. Bi Irma menghela napas, mengangguk. Ia menyerahkan sebuah kotak bekal untuk Bianca.

"Bekal buat Non di sekolah. Bibi mau, pulang nanti kotaknya sudah kosong," ucap Bi Irma. Ia sengaja membawakan Bianca bekal, karena kalau tidak, Bianca pasti akan melewatkan makan siangnya, seperti kemarin-kemarin.

"Makasih, Bi," ucap Bianca. Gadis itu melangkah keluar rumah, dan mendapati seorang pria paruh baya sedang berdiri di samping sebuah mobil putih.

"Berangkat sekarang, Non?" tanya pria itu. Bianca mengangguk. "Iya Pak."

Beberapa hari yang lalu, Bianca menelepon orang tuanya di Korea, minta disediakan supir dan mobil. Hal itu tentu membuat Rianti dan Thomas— orang tua Bianca, bingung. Pasalnya, Bianca selalu menolak setiap akan disediakan mobil dan supir. Saat orang tuanya bertanya mengapa tiba-tiba, Bianca hanya menjawab kalau ia ingin mandiri dan tak bergantung pada Arsa lagi.

"Bianca."

Bianca menoleh malas. Ia sangat hafal itu suara siapa. Arsa— atau yang Bianca panggil si Arsa palsu.

"Ngapain kamu kesini?" tanya Bianca ketus.

"Mau jemput kamu sekolah," jawab Arsa. Laki-laki itu menampilkan senyum manisnya, membuat jantung Bianca berdegup kencang. Mati-matian Bianca berusaha untuk tetap berkeras hati.

"Nggak perlu. Aku berangkat sama Pak Yanto," Bianca masuk ke dalam mobil, membuat Arsa mematung. Bianca menatapnya penuh kebencian, dan nada ketus Bianca, membuat hatinya berdenyut sakit.

"Permisi Den, maaf. Permisi, saya mau mundurin mobil," suara Pak Yanto membuyarkan lamunan Arsa. Laki-laki itu menyingkir beberapa langkah, menatap sendu mobil Bianca pergi. Arsa menghela napas gusar, melangkah menuju mobilnya. Namun langkahnya terhenti saat Bi Irma memanggil.

"Den, Aden!" Bi Irma berlari kecil membawa sebuah kotak bekal.

"Ini, Bibi buatkan bekal. Dimakan ya, Den. Bibi mau, pulang sekolah, isinya sudah kosong," ucap Bi Irma dengan nada keibuannya yang kental. Arsa menatap kotak bekal yang disodorkan Bi Irma sejenak, sebelum mengambilnya.

"Makasih Bi," ucapnya. "Saya berangkat dulu."

Bi Irma mengangguk. "Semoga masalah Aden sama Non Ica cepet selesai, ya. Bibi yakin, Non Ica cintanya sama Aden, kok. Den Arsa memang sahabat terbaiknya Non Ica, tapi Aden, cintanya Non Ica."

BETWEEN LOVE AND LIES ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang