Patah hati terparah

11.3K 2.9K 194
                                    

Fakultas Teknik biasanya dikenal dengan tempatnya orang-orang sangar, tapi tidak di arsitektur.

Di jurusan itu orang-orang akan melihat para mahasiswanya lalu lalang dengan tabung gambar dan maket yang sering ditertawakan jurusan lain karena katanya mirip rumah-rumahan barbie.

Belum lagi kalau diremehkan...

"Halah gambar gitu doang."

Rasanya Rendy ingin membalas,

"Pala kau sini ku gambar!"

Baru tahun kedua, tapi kian lama kian susah juga meski Rendy menikmatinya.

Rendy suka menggambar, suka bangunan-bangunan unik, bekerja dalam tekanan, Rendy suka segala hal tentang arsitektur, ia memang sejak kecil ingin jadi Arsitek.

"Om mu dulu saja menyerah jadi arsitek baru semester 2 udah minta berhenti Ren, gak sanggup dia, mending kuliah manajemen katanya. Kau baik-baik aja nak?"

Rendy tertawa kecil.

"Iya Nainai baik." Begitu Rendy memanggil nenek dari ayahnya.

"Nai udah Minum obat?"

"Sudah nak, kau jangan paksakan diri mu. Kau bukan robot Rendy, kalau lapar makan yang banyak kau, kalau ngantuk jangan dipaksa begadang mata sipit mu itu, tidur! Kalau kau sakit siapa lagi yang peduli sama Nai selain kau?"

Rendy mengangguk meski sang nenek tidak bisa melihat anggukan cucu bontotnya itu.

"Kalau nanti Rendy jadi arsitek, Nai yang harus jadi pelanggan pertama Rendy. Jangan tinggal di ruko tua lagi Nai, nanti Rendy buatkan rumah ada kolam ikannya, temboknya bata ekspose ala victorian, terus kita tanam bambu di depan, pasang lentera warna merah biar orang tau yang punya orang Cina."

Neneknya tertawa keras di ujung telepon mendengar angan Rendy.

"Oke, jangan mahal-mahal tapi tarif kau buat Nai?"

"Siap, kalau buat Nai diskon sampai 70%."

Sang Nenek terdiam lama, pertanyaan yang tidak ingin di dengan Rendy kemudian keluar...

"Kau tidak telpon Mama mu Ren?" Ia hanya mendengar helaan nafas Rendy.

"Kalau rindu, teleponlah Nak. Mama mu juga pasti rindu sama kau."

"Ehm," Rendy berdehem keras.

"Enggak, gak rindu. Udah ya Nai, Rendy mau kerja tugas dulu."

"Ren? Rendy?"

Rendy langsung memutuskan sepihak sambungan teleponnya meski sang Nenek belum selesai berbicara.

Rendy lalu berbaring menatap langit-langit kamar dan bernafas berat, beberapa ingatan masa lalu terlintas di kepalanya tanpa diminta.

"Ini rumahnya? Rumahnya bagus banget Ma, Rendy dari dulu pengen tinggal di rumah kayak gini sama Mama, sama Baba, kita aja Nai juga tinggal di sini!"

Rendy hampir meloncat girang, rumah itu besar dengan banyak kamar, dulu mendiang sang Ayah sengaja membangunnya begitu agar bisa menampung keluarga besarnya, namun belum selesai pembangunannya, sang Ayah sudah dipanggil sang pencipta.

"Ren, maaf ya Mama ga bisa ajak Rendy ikut tinggal di sini. Maaf ya Rendy harus tinggal sama Nai mulai sekarang."

Air wajah Rendy yang tadi girang kini berubah datar, hatinya hancur berkeping-keping, padahal ia baru membayangkan merayakan ulang tahun ke 17nya di sini.

Tapi sepertinya itu tinggal angan.

"Ke...kenapa? Inikan rumah kita Ma, rumah Baba, rumah Mama, Rumah Rendy."

Sang ibu mengelus kepalanya sayang, memberikan satu kecupan hangat. Ia masih terlihat sangat muda meski sudah memiliki satu anak remaja.

"Mama menikah lagi dan Mama akan tinggal di sini sama suami dan keluarga baru Mama. Tapi bukan berarti Mama ninggalin Rendy, enggak. Mama akan selalu menyokong Rendy, mungkin nanti Rendy juga bakal tinggal di sini sama Mama, tapi butuh waktu nak."

Itu penghiatan terbesar yang diterimanya, itu patah hati terparah yang dirasanya, bahkan sejak itu Rendy tidak bisa lagi merasakan hatinya baik-baik saja.

-To be continued -

(Don't forget to touch the stars Button if you like the story 😊 👉🌟)

LOVECHITECWhere stories live. Discover now