Pukul 3 pagi dan sebuah perpisahan

5.7K 1.4K 199
                                    

Menjelang pukul tiga dini hari tangis Rendy sudah mulai mereda, sudah tidak ada suara orang bercakap-cakap dari luar , tanda kalau teman-teman dan pamannya sudah tertidur pulas menyisakan ia dan Ajeng yang terjaga, duduk berdua menunggu pagi datang.

"Udah berapa kali lo liat gue nangis?" 

Pertanyaan itu membuat Ajeng yang sibuk dengan pikirannya berbalik menatap Rendy. 

"Malu gue, nangis mulu depan lo." Akunya.

"Gak apa-apa. Artinya gue spesialkan? Orang lain gampang liat lo judes, jutek, temen-temen lo sering liat lo ketawa atau marah-marah, tapi mereka gak pernah liat elo nangis. Lo cuma nangisnya sama gue Ren," Ajeng sejenak terkekeh. 

"Kadang gue juga sih penyebabnya."

Rendy dan Ajeng kembali hening, mereka duduk berdua bersandar di tembok kamar, bahu mereka saling menyentuh tanpa canggung, lalu Ajeng pikir bahu Rendy terlihat kosong dan nyaman hingga ia memberanikan diri mengistirahatkan kepala sejenak di sana.

"Udah lama banget,"

"Hem?"

"Udah lama banget terakhir kali elo tidur di bahu gue." 

Rendy memanggil banyak kenangan dengan kalimat itu, senyumnya sedikit tersungging teringat pertama kali ia membiarkan Ajeng bersandar di bahunya.

"Lo tahu gak pas pertama kali elo nyender di bahu gue di kampus? Ternyata Haikal liat, gue diledekin abis-abisan pas pulang hari itu." 

Ajeng terkekeh membayangkannya.

"Diledekin apa?"

"Bahu segitu doang kayak gang sempit, sok-sokan dipake cewek nyender. Kalau gue jadi tuh cewek, mending di bahu jalan gue, lebaran dikit."

Tawa Ajeng meledak mendengar Rendy menirukan persis cara Haikal berbicara.

"Terus gue jawab, bahu gue kelihatannya aja kecil padahal kayak gangster shoulder."

"Terus Haikal bilang apa?"

"Elo mah gangster doang Ren."

"Hahahaha!"

Rendy lupa kapan terakhir ia bisa bercerita sebebas ini, ia juga lupa kapan terakhir kali membuat orang lain tertawa, tapi seingat Rendy hanya Ajeng yang membuatnya bisa melakukan keduanya, bercerita bebas dan membuat orang lain tertawa. 

Mungkin Rendy terlihat galak dan dingin, tapi Ajeng selalu ditunjukkan sisi Rendy yang seperti ini, sisi Rendy yang tidak bisa orang tembus selain dirinya.

"Bahu gue emang gak lebar sih."

"Tapi nyaman kok." Jawaban Ajeng kembali menyunggingkan senyumannya.

"Gimana magang?" 

Rendy mengulurkan tangannya agar digenggam Ajeng, jemarinya rindu mengisi kekosongan tangan mungil yang kadang berbau hand cream cherry bloosom bercampur lem UHU itu.

"Sibuk banget, gue nyesel ngambil kantor gede, kerjaannya banyak. Elo gimana magang?" 

Ajeng meletakkan jemarinya pelan, namun saat menyentuh tangan Rendy yang menjalarkan hangat jemarinya menyerah dan patuh dalam genggaman sang pemuda.

"Jadi kacung bang Johnny, senior di tempat magang."

Rendy merasa nyaman saat Ajeng ada didekatnya, menyerah pada bahunya, mengenggam erat tangannya, bercerita tentang harinya. Rasanya Rendy lupa mengapa ia marah besar, yang Rendy tahu hanyalah hubungan mereka agaknya sulit dimulai dari awal lagi.

LOVECHITECWhere stories live. Discover now