Demam yang tak kunjung sembuh

9.6K 2.6K 346
                                    

Cuaca sore masih cerah saat Rendy dan Ajeng meninggalkan kota Makassar, agak terlambat karena ada beberapa urusan di kampus yang harus di selesaikan sementara pembukaan makrab sudah dilakukan sejak pagi.

Selama perjalanan seperti biasa Rendy tidak banyak bicara, ia hanya berbicara saat mengisi bensin dan membeli beberapa barang di minimarket, menyebalkan bahkan Ajeng kesal karena ransel Rendy menghalangi ia bersandar.

Padahal yang Ajeng tunggu-tunggu saat dibonceng Rendy ya nemplok di punggungnya Rendy.

Ya kapan lagi gitu loh kesempatan emas ini?

"Lo sengajakan naro ransel di tengah? Ngehalangi tau! Sempit tempat duduknya!" Oceh Ajeng.

"Gue gak suka dipegang, punggung gue sensitif. Lagian elo kecil, gue juga kecil, muatlah. Gak sempit, jangan cerewet."

Rendy bisa melihat Ajeng melengkungkan bibirnya dari pantulan kaca spion bahkan beberapa kali gadis itu mengambil gesture hendak meninjunya.

"Lagian siapa yang mau megang?" Pisuh Ajeng.

Elo Jeng, elo!

Ditengah pisuhannya, Ajeng tidak sadar satu tangan Rendy meraih jemarinya dan menempatkan pada Ranselnnya.

"Balon ku tinggal 4." Ucap Rendy.

"Hah?" Bingung Ajeng.

"Lirik selanjutnya,"

"Ku pegang erat-erat?"

"Hm, nanti jatoh. Pegang."

Apasih? Ajeng gak suka deh dikasi perintah tapi harus disuruh mikir dulu.

Perjalan itu cenderung sepi, baru ramai saat di tengah jalan hujan deras tiba-tiba turun, ya siapa yang bisa memprediksi cuaca di dataran tinggi seperti Malino?

Ajeng dan Rendy langsung kuyup tanpa jas hujan, berteduh di warung pinggir jalan di depan pertamina pas di gerbang masuk daerah Malino, kedinginan dan belum tahu lokasi kegiatan makrab fakultas mereka.

"Gue nanya dulu." Rendy bertanya pada si pemilik warung sementara Ajeng mengutak-atik ponselnya yang tanpa sinyal.

Sialan provider dengan symbol angka 3 itu!

"Kata ibunya mending terobos hujan, soalnya suka turun kabut tebel dan kita ga bisa masuk lokasi. Hp gue juga gak ada sinyal, gak bisa liat maps."

Rendy mendongkak, ini bukan hujan yang bisa diterobos karena memang sederas itu, ia melihat Ajeng yang sudah menahan dingin di sebelahnya.

"Ren," Gadis itu menarik-narik pakaian Rendy.

"Tunggu reda dikit, ini deras banget loh. Elo baru aja sembuh demamnya, gue takut elo demam lagi."

Cuaca Malino dingin, tapi kenapa pipi Rendy panas? Fiks, ia belum sembuh atau mungkin kambuh?

"Gue cowok, kuat. Gue... malah takut elo yang demam." Ucapnya sebelum berdehem keras dan kembali naik ke atas motor matic Haikal yang dipakainya.

"Punggung gue gak lebar, tapi bisa ngelindungin elo dari hujan dari arah depan. Ngumpet aja di belakang punggung gue."

Ransel Rendy yang tadinya di punggung di pindahkan ke depan hingga Ajeng nyaman berlindung di sana dan siap menerobos hujan dengan sang Rendy.

Rendy bahkan tidak keberatan saat Ajeng melingkarkan lengan sempurna di pinggang hingga perutnya, setidaknya ditengah cuaca dingin dan sikap dinginnya, tubuhnya masih tetap memiliki kehangatan bagi Ajeng di belakangnya.

"Permisi, lokasi camp demokrasi di mana ya pak? Itu loh yang punya KOPEL?" Tanya Rendy pada penjaga minimarket lantai satu sebuah penginapan itu.

"Wah udah gak bisa masuk ke sana dek, kabut. Bahaya, licin."

"Ah, gitu ya pak. Oh iya satu kamar di sini berapa ya semalam?"

Ya Rendy tidak punya pilihan selain mencari penginapan, ia kedinginan, kelaparan dan ingin mengumpat keras karena sebenarnya tidak ingin ikut acara makrab, tapi Haikal dan Naresh mendesaknya menyusul. Belum lagi Ajeng yang jadi beban perjalannya!

"Sekarang weekend dek kamar full semua. Villa ada kosong semalam satu juta. Gimana?" Rendy shock mendengarnya.

Ajeng baru keluar dari kamar kecil dan langsung menghampiri Rendy dengan sekaleng kopi yang hendak dibayarnya, pemuda itu mencoba bergerak-gerak melawan dingin sembari tetap berbicara dengan sang kasir sekaligus respsionis.

"Kenapa Ren?"

"Gak bisa ke sana. Kabut."

"Jadi nginep sini?"

"Gak ada kamar, full. Ada villa, sejuta semalam." Bisik Rendy, Ajeng juga sama ekspresinya, kaget.

Sejuta bagi mahasiswa tuh banyak! Kalau dihabiskan hanya untuk semalam tuh rasanya berdosa.

"Pak apa ga ada kamar lagi pak? Di sekitar sini gitu? Siapa tahu bapak ada penginapan lagi?"

"Dua rumah dari sini ada yang kosong tapi cuma 1 kamar dan single bed."

"Gak ada kamar lagi pak—"

"Kita ambil itu!" Potong Ajeng bahkan sebelum Rendy menghabiskan kalimatnya.

Pemuda itu langsung melotot ke arah Ajeng yang sudah membuat ekspresi tidak punya pilihan.

"Huu gue udah dingin banget Ren, gue tidur di lantai gak apa-apa deh. Please ambil aja yah?"

Rendy menarik nafas panjang sembari memikirkan keputusan Ajeng.

Perjalanan mereka tidak bisa dilanjutkan, semua baju mereka basah, perutpun meronta minta di isi, lagi pula cuma sekamarkan? Tidak seranjang juga!

"Ya udah pak saya ambil itu. Tapi kita gak punya buku nikah pak, kita cuma temen. Kalau digrebek gimana?"

Resepsionis dan Ajeng menahan tawa.

"Tenang mas, di sini . Ga ada grebek-grebek. Mas sama mba mau ngapain juga gak apa-apa. Hehe!"

Aduh, Rendy kok merasa demamnya datang lagi

-To be continued -

Nama lokasinya beneran camp demokrasi, biasa dipakai buat acara makrab

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nama lokasinya beneran camp demokrasi, biasa dipakai buat acara makrab. Hehehe.

(Don't forget to touch the stars Button if you like the story 😊 👉🌟)

LOVECHITECTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang