Harusnya kita tidak

4.7K 1.3K 85
                                    

Benar saja penyakit tahunannya kambuh, Ajeng langsung dirujuk untuk dirawat ke rumah sakit terdekat dan disarankan bedrest beberapa hari kedepan. Saran dokter, Ajeng tidak boleh stress dan harus sejenak melupakan tumpukan projectnya jika ingin sembuh.

Syukurlah Taro dan Nada tetap ada disampingnya, mengurusi segala kebutuhan hingga administrasi rumah sakitnya, keduanya juga mau tidak mau mengabari keluarga Ajeng di Jakarta yang langsung mengambil penerbangan tercepat menuju Makassar.

Rendy tetap disana, melihat dari kejauhan dengan hatinya yang teriris bercampur khawatir. Ajeng terbaring lemah, tidak bisa makan bahkan sekedar membuka mata.

Lalu bagaimana ia harus melampiaskan sakit hatinya sekarang setelah mendengar apa yang mungkin seharusnya tidak ia dengar?

"Kopi?" Taro duduk di sebelah Rendy sembari menyodorkan segelas americano.

"Thanks." Jawabnya singkat.

"Gak mau masuk ke kamar perawatan Ajeng aja? Lo dari tadi duduk sini natap pintu kamar Ajeng, masuk aja Ren. Yuk?" Ajakan Taro dibalas gelengan Rendy.

"Gue disini aja. Gak enak juga, ada keluarga Ajeng." Rendy mengesap americanonya, matanya tetap menatap pintu ruang perawatan sembari menyadari kebodohan-kebodohan yang dilakukannya.

"Ajeng... sayang banget yah sama bokapnya?"

"Banget dia mah Ren, anak ayah banget. Tadi gak mau makan sama sekali, pas ada Ayahnya terus disuapin langsung mau." Jawaban Taro membuat Rendy mengangguk paham.

"Abangnya Ajeng kemana itu?" Tanya Rendy melihat sosok yang familiar keluar dari kamar perawatan Ajeng, dulu orang itu disangka pacar Ajeng padahal ternyata satu rahim, satu benih, sungguh cemburu yang sia-sia belaka.

"Ngurus biar bisa pindah ke VIP kali, katanya gak nyaman kalau kamar perawatannya ada orang lain."

"Oh."

Rendy kembali terdiam, ia tidak memainkan ponsel atau menatap langit, tidak berbicara, tidak pula tersenyum, Rendy hanya duduk diam seperti benda mati hingga Taro berdehem kencang menyadarkannya.

"Ajeng... cewek yang baik Ren. Cuma mungkin caranya salah."

Setelah mendengar kalimat itu barulah Rendy bernafas berat.

"Pekerjaan bokap Ajeng apa?" Rendy seolah ingin mengalihkan pembicaraan, ia tidak ingin membicarakan cara Ajeng yang salah itu sekarang.

"Arsitek, abangnya juga, nyokapnya katanya juga lulusan arsi meskipun gak jadi arsitek."

Rendy menunduk sejenak sebelum tertawa remeh, ia tidak menertawai profesi keluarga Ajeng melainkan menertawai dirinya sendiri.

"Ajeng selalu bilang gue born to be architect padahal pada kenyataanya... dia yang born to be architect. Ya ga sih? Dengan latar belakang keluarga yang kayak gitu, Ajeng pasti bisa jadi arsitek handal kalau mau usaha dikit lagi."

Ajeng sebenarnya pintar, ia bisa jadi mahasiswa terbaik jika ingin, apalagi Ajeng tidak sulit secara ekonomi, dengan latar belakang keluarga arsitek gadis itu pasti dapat dukungan belajar terbaik.

Ajeng hanya belum menemukan ritme belajarnya di arsitektur, Ajeng belum menemukan style dan ciri khasnya hingga kadang gadis itu terlihat bloon dan seluruh proyeknya terkesan 'maksa' sampai ia bertemu Rendy yang perlahan memperbaikinya.

"Lo merasa terkhianati apa gimana bro?"

"Enggak. Cuma... ya Ajeng beneran lahir buat jadi arsitek. Dia masuk arsitektur ternyata bukan cuma karena gue, tapi karena latar belakang yang kayak gini." Ucap Rendy dengan nada semakin pelan diakhir kalimat hingga tidak jelas ditangkap pendengaran Taro.

LOVECHITECTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang