Menyerah

5K 1.3K 58
                                    

Ajeng sedang magang di kota Surabaya saat menerima pesan Rendy, gadis itu seperti hilang akal saat membacanya, yang ada di kepala Ajeng hanyalah untuk cepat ke Makassar, cepat bertemu Rendy. 

Kisah cinta mereka mungkin di ujung perpisahan, atau bahkan sudah berpisah tapi Ajeng tidak akan meninggalkan seorang Rendy yang sedang membutuhkannya.

Ia telah menyakitinya, meski tidak bisa jadi penyembuh setidaknya Ajeng tidak akan menambah luka Rendy.

"Mau kemana woy Je?" Salah seorang rekan magangnya meneriaki saat Ajeng beranjak panik dari tempat duduknya hanya dengan membawa dompet dan ponselnya.

"Pulang ke Makassar, gue ijin ya, besok juga sekalian! Sorry banget!"

Ajeng meneriakkan penyesalannya karena harus meninggalkan setumpuk pekerjaan dan mungkin akan berakibat pada nilai magangnya tapi masa bodoh, Rendy membutuhkannya.

Tiba di ruang tunggu bandara Ajeng seketika di serang ragu, ia kembali duduk membaca pelan-pelan pesan Rendy.

Entah sejak kapan pemuda itu membuka blokir kontaknya, apa sudah lama? Atau baru saja saat ia membutuhkannya? 

Langsung muncul satu pertanyaan di kepalanya... apa Rendy benar-benar butuh Ajeng?

Setelah semuanya terjadi setelah hubungan hangat mereka mendingin bahkan hampir tak bersuhu lagi, Ajeng tidak punya keberanian mengirim pesan, menghampiri, bahkan sekedar melempar senyum pada Rendy.

Keberaniannya yang dulu menggebu untuk Rendy lenyap ditelan rasa sesal atas kebohongannya.

"Anjing!" Umpat Ajeng sembari mengacak frustasi rambutnya, 

"Kenapa gue jadi takut begini? Emang iya kalau gue kesana bakal bikin Rendy lebih baik?" 

Ajeng telah berjanji untuk tidak menambah luka dan beban Rendy hingga ia berniat untuk membatalkan penerbangannya karena bisa saja hadirnya masih menyakiti Rendy.

"Gimana kalau kehadiran gue justru bikin semuanya buruk?" Ajeng bermonolog sembari menimang-nimang keputusan berangkat atau tidak.

"Guekan selalu gitu, semua langkah yang gue ambil justru bikin semuanya buruk, bukannya membaik," Ajeng melihat pantulan wajahnya dari layar ponsel, perempuan itu memperbaiki poninya dan mencoba tersenyum.

"Gue cuma bawa sial ga sih buat Rendy?"

Panggilan terakhir untuk penumpang pesawat yang akan ditumpanginya terdengar namun Ajeng tidak bergeming dari tempat duduknya, ia ditahan sesal dan tidak mampu diselamatkan kata butuh dan rindu.

***

Sudah pukul setengah dua pagi namun Rendy masih terjaga di tempat yang sama. Kamar Nai yang lampunya diredupkan seolah memeluknya memberi hangat hingga Rendy tidak bergeser sedikitpun sejak tadi,

beberapa orang sudah membujuknya keluar, pamannya, teman-teman satu kontrakan yang sepertinya belum pulang dan akan menginap,

hingga ibunya tadi datang mengucapkan duka cita, memintanya minum setidaknya segelas air dan makan sesuap nasi, Rendy tidak menjawab apa-apa selain menggeleng sebagai penolakan.

Rendy memeriksa galery ponselnya, ada foto Segitiga grid, kalkir, prisma color dan mistar sablon yang dibelinya dari uang pemberian Nai yang terakhir,

ujung jemari Rendy menyentuh pelan layar ponselnya lalu dadanya kembali sakit, pesannya yang tak dibalas Ajeng bahkan menambahnya. 

Rendy masih berharap gadis itu datang, meski sepertinya mustahil, pesannya sudah sejak petang dan kini hari sudah berganti tapi Ajeng—

"Rendy!"

Pintu kamar Nai terbuka tiba-tiba, perempuan yang masih dengan setelan kantor meski rambutnya agak berantakan berdiri di sana memanggil namanya, mata perempuan itu berkaca,

ada banyak kalimat yang sepertinya ingin keluar dari bibirnya namun dalam pikirannya juga kacau hingga yang mampu ia ucapkan hanya nama Rendy.

"Ren..dy."

Rendy mengigit bibirnya sendiri, ia buru-buru bangkit dan menyatukan tubuh mereka dalam peluk yang dalam, Rendy menyerah dalam pelukan Ajeng, pemuda itu memeluk sang perempuan erat seolah kapal hilang yang menemukan pelabuhan yang selama ini ia cari-cari.

"Ajeng....aje—"

"Sorry, pesawatnya delay lama banget."

"Jeng." Bibir Rendy merindukan nama itu.

"Temen-temen lo khawatir, katanya elo ga nangis sama sekali. Ren, nahan sakit tuh bukan ngobati tapi justru nambah sakitnya. Sekarang lo boleh nangis, nangis aja. Gak apa-apa." 

Ajeng mengucapkan semua kalimat itu sembari mengelus sayang puncak kepala Rendy, lalu tak lama Ajeng merasakan bahunya basah.

Rendy menangis begitu pedih, ia meraung kesakitan dan Ajeng tidak peduli lagi, yang ada di kepala dan hatinya hanya ada satu doa, doa agar pemuda dipelukannya ini menemukan bahagia.

"Sakit.... Sakit banget rasanya Jeng. Aku boleh ikut mati aja gak sih?"

Ajeng tidak membalas, ia hanya mengeratkan peluknya pada Rendy dan ikut menangis bersama.

"Aku hidup buat siapa sekarang?"

"Hidup buat kamu sendiri Ren, kamu udah terlalu keras, nyerah yah sama diri kamu? Aku sedih ngeliat kamu begini."

-To be continued-

(Don't forget to touch the stars Button if you like the story 😊 👉🌟)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Don't forget to touch the stars Button if you like the story 😊 👉🌟)

LOVECHITECTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang