Bagian 1

56.8K 3.5K 23
                                    

Sepuluh tahun yang lalu.

Lengan kanan Araya diapit dengan kuat oleh tangan kiri salah satu sahabatnya, Dian. Murid perempuan dengan rambut pendek, nyaris persis seperti rambut anak laki-laki itu terlihat bersemangat. Senyum menghiasi bibir Dian ketika Araya mempercepat langkah kakinya agar bisa menyesuaikan langkah mereka.

Tangan Dian semakin menariknya untuk berjalan lebih cepat. Dengan susah payah Araya menyamai langkah kaki sahabatnya yang lebih panjang. Dian terlihat tidak sabaran untuk memastikan nama mereka akan berada di kelas mana untuk tahun ini.

Mata Araya sebenarnya lebih tertarik untuk menengok kiri dan kanan. Dia bermaksud untuk mencari keberadaan satu sahabatnya yang lain. Tadinya Juni lebih dulu beranjak untuk melihat nama mereka. Sementara Araya dan Dian menyempatkan diri untuk menyapa adik kelas mereka yang merupakan anggota PMR di ruang UKS.

Araya yakin bahwa saat ini Juni pasti sudah mengetahui dimana keberadaan nama mereka bertiga sehingga dia dan Dian tidak perlu repot melihat satu per satu kelas dua belas.

Araya dan Dian memang tergabung sebagai anggota Palang Merah Remaja di sekolah mereka. Sejak masuk sebagai murid baru kelas sepuluh, menjadi salah satu anggota PMR di sekolah adalah kegiatan yang terlihat akan menyenangkan untuk mengisi waktu. Sehingga ketika pendaftaran untuk anggota baru telah dibuka, tanpa ragu keduanya langsung mendaftar. Sayangnya Juni tidak tertarik dan lebih memilih bergabung menjadi anggota Pramuka.

Dan berhubung saat ini mereka sudah menjadi murid kelas dua belas, jadi mereka tidak akan aktif lagi untuk bertugas. Sebab harus fokus dengan pelajaran untuk ujian nasional dan ujian masuk perguruan tinggi. Selain itu sudah ada murid kelas sebelas yang akan menjadi anggota aktif. Lalu juga ada murid baru kelas sepuluh yang nantinya akan bergabung dan mengikuti kegiatan pelatihan demi menjadi anggota PMR generasi berikutnya.

“Setelah menunggu kesekian kalinya purnama, akhirnya kita sekelas lagi. Aku senang sekali.”

Juni datang mendekati kedua sahabatnya dari arah depan, membawa kabar yang cukup menggembirakan. Araya dan Dian serentak tertawa senang ketika Juni menubruk tubuh mereka bergantian. Tidak lupa mereka berselebrasi dengan meloncat-loncat sambil menautkan tangan satu sama lain.

Ketiganya mengabaikan tatapan dari murid-murid lainnya. Padahal ada yang terlihat mencibir dan melihat mereka dengan pandangan tertarik serta penasaran. Namun tetap ada yang tidak peduli sama sekali dengan kehebohan ketiganya. Walaupun begitu, Araya dan kedua sahabatnya tidak memperdulikan apapun tanggapan teman-teman mereka.

Dulu saat kelas sebelumnya baik Araya, Dian ataupun Juni tidak pernah berada di kelas yang sama lagi kecuali saat mereka berada di kelas tujuh dulu. Saat itu adalah awal ketiganya menjalin persahabatan. Dimulai dari satu kelompok belajar yang sama hingga menjadi lebih sering menghabiskan waktu bersama.

Tentu saja kabar yang dibawa Juni beberapa detik lalu membuat ketiganya merasa senang. Sehingga rasanya tidak ada hal lain lagi yang perlu dikhawatirkan untuk tahun akhir di sekolah menengah atas. Ketiganya berada di kelas yang sama dan berinteraksi lebih sering dibanding biasanya. Dan tentunya tidak perlu repot memilih anggota kelompok untuk tugas sekolah karena mereka sudah satu paket lagi sekarang.

“Akhirnya yang bertugas membagi kelas tahun ini memiliki pikiran sehat juga,” gumam Dian tanpa sadar. Padahal orang yang baru saja dimaksud gadis itu sudah merujuk kepada salah satu guru mereka —yang entah siapa lebih tepatnya guru itu— yang bertanggung jawab.

Tangan Araya langsung bergerak menjitak kepala Dian, tak terlalu keras memang. Matanya melirik ke sekitar mereka yang untungnya tidak ada tanda-tanda keberadaan guru. Dan sepertinya tidak ada murid lain yang mungkin mendengar gumaman tadi. Resiko ucapan Dian akan terdengar oleh guru jadi semakin kecil. Syukurlah!

Tied in Love [Tamat]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant