Bagian 45

27.8K 1.8K 27
                                    

Tatapan Ayasha yang kosong tertuju ke layar televisi. Gadis muda itu melamun dan sibuk dengan pikirannya sendiri. Tayangan serial India dengan suara yang sengaja diatur kecil itu tidak lagi menarik perhatiannya. Pikirannya tertuju kepada apa yang terjadi siang tadi. Hal yang diungkitnya di depan kakak dan kakak iparnya sehingga menimbulkan penyesalan di hatinya.

Harusnya Ayasha tadi tidak mengungkit sesuatu yang masih berkaitan dengan masa lalu kakaknya. Jika pada akhirnya apa yang diungkitnya itu ternyata membuat ada hati yang terluka, apakah masih ada kesempatan untuk memperbaikinya? Meskipun sudah meminta maaf, lantas apa yang terjadi tadi tidak bisa dia lupakan begitu saja.

Lagi pula kenapa kakaknya bisa berkata seperti itu? Apa trauma itu ada hingga Araya tidak ingin hamil lagi?

Ayasha tersentak ketika merasakan ada telapak tangan bertengger di bahunya. Dia tersenyum tipis dan menurunkan kakinya yang berada diatas sofa ketika bundanya menatap dia heran.

“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Disa sambil menjatuhkan badannya di sebelah Ayasha.

Ayasha menatap sekeliling. Tidak menemukan keberadaan kakaknya. “Kak Ara dimana, Bunda?” tanyanya kemudian.

“Sedang membuat teh untuk Ayah. Ayah dan kakakmu butuh bicara berdua.”

Ayasha mengangguk sebelum merebahkan kepalanya dipundak Disa. Mencari penopang disaat dia merasa sangat bersalah. Mengingat kembali bagaimana ekspresi wajah Dewa, seketika dia menjadi kasihan. Selama ini dia memang sering mengolok-ngolok bahkan memusuhi Dewa. Tapi bukan berarti Ayasha merasa senang melihat raut sengsara diwajah Dewa.

Haruskah dia membicarakannya dengan bundanya?

“Aya rasa, Kak Ara masih belum membaik,” gumam Ayasha seakan lebih pada dirinya sendiri.

Berbagi beban pikiran dengan Disa lebih baik daripada Ayasha terus memikirkan rasa bersalahnya. Paling tidak dia dan bundanya bisa memikirkan jalan keluar bersama. Ayasha ingin kakaknya bahagia bersama Dewa.

“Bunda lihat kakakmu sudah lebih hidup sekarang. Dia juga sudah mulai ceria lagi. Jadwal tidurnya pun sudah membaik. Apa yang kamu cemaskan?”

Bibir Ayasha mengerucut. “Siang tadi, Kak Ara bilang ke Kak Dewa kalau dia nggak mau hamil lagi, Bunda. Aya rasa kakak pasti trauma. Dia pasti takut jika anaknya meninggal lagi ketika proses persalinan.”

“Kakakmu bilang begitu?” tanya Disa kaget. Ayasha mengangguk dengan lemas. “Lalu Dewa bilang apa?”

“Kalau keinginan untuk nggak hamil lagi akan membuatmu nyaman, aku nggak akan marah. Aku akan mendukungmu. Lagi pula untuk apa aku mencarimu bertahun-tahun jika pada akhirnya akan ku tinggalkan?”

Rasanya itu adalah kalimat terbohong yang pernah Ayasha dengar dari seorang Aditya Dewangga selama ini. Raut wajah kaget, terluka dan juga kecewanya terlihat sangat jelas. Senyum yang diperlihatkannya ketika Araya menatapnya juga senyum palsu yang mengandung kesedihan.

“Kak Dewa bilang akan mendukung keputusan itu asal Kak Ara nyaman. Hanya saja, wajahnya terlihat terluka sekali. Aya jadi merasa bersalah karena Aya yang mulai menyinggung tentang anak di hadapan mereka.”

Jika saja dia tidak mengungkitnya, pasti kakaknya tidak akan mengingat masa lalunya. Maka tidak akan ada kalimat menyakitkan dari bibir kakaknya untuk Dewa. Harusnya pasangan itu terlena dengan kebahagiaan mereka lalu tiba-tiba mendapat berita kehamilan Araya. Seandainya sudah begitu, Araya jelas tidak akan menolak kehadiran janin yang ada di perutnya.

Kenapa baru sekarang Ayasha sadar bahwa terkadang cara bicaranya terlalu berlebihan dan ikut campur?

“Lain kali jangan campuri urusan kakakmu lagi, Aya. Masa lalu mereka tidak mudah. Meskipun kakakmu terlihat baik, tapi hal yang berkaitan dengan masa lalunya masih sangat sensitif.”

Tied in Love [Tamat]Where stories live. Discover now