Bagian 16

28K 2.1K 29
                                    

“Kak Ara!”

Panggilan itu menghentikan langkah Araya. Dia berdiri di halaman sebuah bangunan panti asuhan. Perhatian Araya tertuju kepada seorang gadis kecil yang berlari mendekatinya. Rambut yang diikat tinggi di atas kepala gadis kecil itu bergerak-gerak seiring dengan gerakan kepalanya.

Tangan Araya mengelus kepala gadis kecil berusia enam tahunan yang kini sedang memeluk pinggangnya erat. Beberapa anak lainnya yang tadi bermain di halaman panti segera berlarian mendekati Araya.

“Kakak kesini?” tanya Sasi dengan suara yang terdengar antusias.

Gadis kecil itu memandangi Araya dengan mata yang berbinar cerah. Selalu seperti ini setiap kali Araya datang berkunjung. Araya tersenyum sebelum beralih mengelus kepala anak-anak yang lain.

Setiap melihat keceriaan anak-anak ini, dada Araya terasa sesak. Andai saja anaknya dulu....

Araya segera mengendalikan diri. Dia harus menghentikannya sebelum terlalu jauh mengandaikan sesuatu yang sudah ditakdirkan dengan jalan berbeda. Anaknya pasti tidak suka melihat bundanya seperti ini.

“Kakak rindu kalian semua. Semua sehat kan? Ada yang merasa tubuhnya sakit?” tanya Araya. Anak-anak yang mengelilinginya menggeleng. Beberapa menyerukan kata tidak dengan suara yang terdengar keras.

“Sasi sehat, Kak,” ucap Sasi dengan bibir yang tersenyum lebar.

Araya sedikit menunduk. Memperhatikan gigi depan Sasi. “Sepertinya sudah mulai tumbuh lagi,” gumam Araya setelah melihat gigi Sasi yang sudah mulai tumbuh. Belum lama ini gadis kecil itu mengeluhkan giginya yang memang akan dan sudah lepas.

“Adam bilang giginya juga goyang-goyang, Kak.”

Araya menatap Sasi sejenak. “Benarkah? Dimana Adam sekarang?” tanyanya sambil memperhatikan sekeliling. Sebab anak laki-laki yang bernama Adam tidak terlihat di matanya.

“Tadi katanya dia mau pipis,” ucap seorang anak laki-laki bernama Bagas, yang belum genap berusia tujuh tahun.

Jangan tanya kenapa Araya bisa mengetahuinya karena dia sudah hafal dengan wajah, nama dan umur anak-anak di panti asuhan ini. Setiap tidak ada jadwal kerja, Araya akan menghabiskan waktunya disini.

“Apa dia bilang giginya sakit?”

Kepala Sasi menggeleng-geleng. “Enggak sakit, Kak. Cuma dia bilang satu giginya bisa digoyang-goyang sama tangan.”

“Kalau begitu nanti Kak Ara akan lihat gigi Adam. Kakak bawakan bolu untuk menemani waktu sore kalian.”

Tangan Araya mengangkat satu plastik yang berisi tiga kotak bolu besar yang sengaja dia jemput setelah pulang dari rumah sakit tadi. Araya tidak sempat membuat sendiri sehingga memilih untuk memesannya tadi pagi. Lain kali ketika dia akan kesini lagi, baru Araya akan membuat sendiri untuk mereka.

“Asyik. Ayo, Kak. Mau Bagas yang bawakan?”

“Biar Kakak saja. Kamu bantu adik-adik kamu masuk ke dalam. Kita akan makan bolu bersama-sama.”

Bagas berdiri tegap dan memposisikan tangannya seperti layaknya sedang hormat kepada Araya. “Siap, Kak.”

Araya terkekeh. “Bagus sekali komandan,” pujinya. “Sekalian tolong bilang ke Ibu kalau Kakak datang ya.” Araya melangkahkan kaki untuk memasuki panti dari pintu depan. Diikuti dengan beberapa anak di belakangnya.

Araya meletakkan bawaannya diatas meja makan. Anak-anak dia minta untuk duduk sambil menonton televisi selagi dia memotong bolu dan menyiapkan minuman mereka. Lagi pula jika tetap diluar, langit sudah mulai mendung. Sepertinya akan turun hujan sore atau mungkin malam ini.

Tied in Love [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang