Bagian 17

27.3K 2.2K 48
                                    

Jam lima sore Araya sudah berdiri dipinggir jalan, tepat di depan rumah keluarganya. Sejak meninggalkan rumah ini lebih kurang sembilan tahun yang lalu, Araya tidak pernah lagi berada dengan jarak yang sedekat ini. Dia hanya mampu memandanginya dari jauh. Itu pun hanya sebentar.

Bagian depan rumah maupun halamannya sudah terlalu banyak mengalami perubahan. Hingga warna dinding rumahnya pun sudah berganti. Dan dengan memperhatikannya seperti ini Araya merasa asing sendiri.

Araya mengalihkan perhatiannya ke sekeliling. Tanah tetangga yang dulunya dipenuhi oleh rumput liar kini tidak ada lagi. Sudah berganti dengan bangunan rumah. Sehingga suasana disini rasanya lebih ramai dibandingkan dulu.

Dada Araya terasa menghangat. Matanya mulai terasa panas. Dia benar-benar merindukan semua ini. Kenangan masa lalu seakan menyeruak secara paksa di dalam kepalanya. Kebahagiaan, keharmonisan dan juga kebodohannya.

“Dokter Araya kan ya?”

Tubuh Araya refleks berputar ke arah sumber suara. Seorang pemuda sedang berdiri beberapa langkah darinya. Pemuda itu menatap Araya dengan senyum di bibirnya sebelum melangkah lebih dekat.

Araya sama sekali tidak menyadari kapan pemuda ini mendekatinya. Hanya saja Araya tidak memperdulikan itu dan langsung mengernyitkan kening sebelum berseru ketika mengingat wajah pemuda itu yang memang tidak lah asing. “Oh... Kita bertemu di rumah sakit kan?”

Pemuda itu mengangguk antusias. “Benar sekali, Kak. Aku panggil Kakak aja boleh ya? Kenalkan aku Dito. Tetangga sebelah sekaligus teman Aya.”

Araya menjabat tangan pemuda yang bernama Dito itu. Dia mencoba mengingat-ingat apakah sembilan tahun yang lalu dia pernah bertemu dengan pemuda ini atau tidak. Meskipun sia-sia saja karena yang dia ingat hanya teman-teman perempuan adiknya saja. Dan seingat Araya juga, adiknya tidak terlalu dekat dengan anak laki-laki di lingkungan mereka.

“Ngomong-ngomong aku baru pindah ke sini ketika aku dan Aya akan masuk SMA. Jadi percuma Kakak coba mengingat-ingat karena kita baru pertama kali bertemu dua hari yang lalu di rumah sakit.” Dito mencoba menjelaskan. Seakan mengerti dengan apa yang Araya lakukan.

“Oh begitu. Aku tadi memang coba untuk mengingat kamu.” Araya terkekeh. “Kamu ternyata bisa baca pikiran ya?”

“Raut wajah Kak Ara lah yang mudah sekali ditebak.” Dito menggaruk tengkuknya. Dia berdiri dengan tubuh yang salah tingkah. “Kak Ara ternyata cantik sekali. Jauh lebih cantik dibandingkan saat sekolah dulu.”

“Dibandingkan saat sekolah?”

Dito memperbaiki posisi tas punggungnya. “Iya. Aku pernah melihat-lihat foto Kak Ara. Ternyata semakin dewasa Kakak semakin cantik.”

Ya ampun! Apa itu sebuah pujian atau dirinya baru saja digoda oleh pemuda yang bahkan seumuran dengan adiknya? Menggelikan sekali!

Araya tersenyum tulus. “Terima kasih, Dito.”

“Waktu saat kita bertemu, aku nggak terlalu yakin meskipun sekilas Kakak mirip dengan Aya. Tapi setelah baca nama di ID card, aku jadi semakin yakin. Araya Maharani, nama yang sering kali dibahas Aya. Dan dugaan ku ternyata benar setelah melihat Kakak disini.”

Araya tidak tahu bagaimana cara menanggapi pemuda dihadapannya ini. Tapi satu yang Araya sadari. Pemuda ini cukup cerewet. Dan sepertinya memang pantas berteman dengan adiknya yang sama cerewetnya. Itu perkiraannya jika mengingat bagaimana sikap Ayasha dulu. Karena Araya tidak tahu bagaimana adiknya itu setelah sembilan tahun lamanya mereka tidak berkomunikasi.

“Kemarin kami bolak-balik rumah sakit dan kampus hanya untuk mencari Kakak. Aya nggak percaya ketika aku bilang kalau aku melihat kakaknya di rumah sakit. Sayangnya aku hanya melihat foto dan nama Kakak aja. Lupa melihat Kakak dokter apa karena terlalu fokus dengan wajah.”

Tied in Love [Tamat]Where stories live. Discover now