Bagian 4

32.5K 2.4K 15
                                    

“Araya oh Araya! Sepertinya Tuhan memang udah menuliskan takdir kalau kita nggak akan berjauhan sehingga sekelas lagi untuk tahun ini. Gimana? Kamu senang kam?”

Andi. Murid laki-laki yang merupakan teman sekelas Araya saat kelas sebelas dulu dan untuk satu tahun ke depan juga, berdiri menghadangnya saat akan masuk ke dalam kelas. Selain sebagai teman sekelasnya, Andi terkenal sebagai kapten tim basket yang tak lama lagi akan turun tahta. Tapi Araya mengenalnya sebagai teman sekelas yang menyulitkan.

Andi berdiri dengan wajah dan senyum yang menyebalkan di pintu masuk kelas dua belas IPA satu. Tangannya memegang kedua sisi pintu. Jelas sekali tujuannya untuk menghalangi jalan Araya.

Bukan kali ini Andi bersikap menyebalkan seperti ini. Mungkin bagi lelaki itu menjahili Araya adalah salah satu kegiatan yang menyenangkan. Tapi bagi Araya sendiri, sikap Andi terkesan sedang mencari perhatiannya.

Sayangnya Dian yang berada di dalam kelas tidak tampak ingin menolong Araya sama sekali. Sementara Juni yang harusnya kembali ke kelas bersamanya kini tertahan di ruangan pramuka sehingga Araya pergi lebih dulu.

Selain Dian dan Juni yang sering berasumsi, siapa yang akan percaya kalau Andi menyukaiku sementara dia bersikap menyebalkan begini?

“Takdir apa coba? Cuma kebetulan aja,” ucap Araya dengan wajah datar. Dia malas meladeni Andi yang sudah merusak kesenangan hari pertamanya menjadi murid kelas dua belas.

Dan kenapa pula kami harus sekelas lagi? Cobaan apa ini?

“Perkataan ku kan nggak salah, Ra. Ternyata kita kembali sekelas lagi dan aku sangat senang karenanya. Sepertinya kita memang berjodoh.”

Araya mendelik tidak suka. Masih sekolah tapi sudah membahas tentang jodoh-jodoh. Padahal masa depan pun belum ada gambarannya sama sekali.

“Seperti yang aku bilang, ini cuma kebetulan. Jangan halangi pintu, Andi. Aku mau masuk.”

Password nya dulu, baru kamu boleh masuk.” Kedua alis mata lelaki itu naik turun bergantian.

Password?” tanya Araya bingung.

Andi menyeringai. “Araya suka Andi. Coba bilang begitu, Ra. Aku akan ijinkan kamu lewat setelah bilang itu.”

“Nggak mau,” seru Araya segera. Kenapa dia harus mengatakan kalimat itu? “Apa coba? Ayolah! Aku mau masuk, Andi.” Tangannya langsung mencoba untuk melepaskan tangan Andi yang memegang sisi pintu dengan erat. “Jangan seperti anak kecil deh. Aku nggak punya waktu untuk main-main dengan kamu.”

“Lagi pula aku juga nggak ingin main-main, Ra. Aku ingin serius sama kamu.”

“Tapi aku nggak tertarik.”

Araya masih bersikeras untuk menjauhkan Andi dari pintu masuk sambil mencoba melihat ke arah dalam. Tapi Andi masih bersikeras untuk bertahan sambil tertawa senang. Lelaki itu membuat kekesalan Araya semakin bertambah karena usahanya menjadi sia-sia saja.

Karena tidak juga berhasil, Araya hanya menatap Andi dengan tatapan tajam. Berharap ada murid lainnya yang akan masuk atau keluar kelas sehingga Andi memberi jalan. Setidaknya Araya juga bisa menunggu Juni datang.

“Kamu masih nggak mau bergeser juga?” tanya Araya jenuh setelah beberapa saat menunggu tidak ada tanda-tanda Andi akan mengakhiri permainan ini.

Tak habis akal karena apa yang dia harapkan tidak terjadi, Araya memikirkan cara lain. Dia hendak menendang tulang kering Andi sebagai balasan atas perbuatan lelaki itu. Dia harus melakukan itu agar Andi jera dan berhenti untuk mengganggu hari-harinya.

Sayangnya niat buruk itu tidak terlaksana ketika Araya yang sudah berdiri dengan sebelah kaki dengan kaki lainnya dalam posisi menggantung harus terpeleset. Penyebabnya adalah bagian bawah sepatunya yang basah bersentuhan dengan lantai keramik yang cukup licin sehingga membuat tubuhnya akan menghantam lantai. Araya tidak memprediksi ini sebelumnya.

Tied in Love [Tamat]Where stories live. Discover now