Bagian 20

32.2K 2.2K 19
                                    

Sama seperti Araya yang tidak memiliki jam praktik di hari Jumat, adiknya pun tidak ada jadwal kuliah. Jadi tidak heran sejak bangun tidur Araya harus mendengar adiknya itu yang terus menerus membahas tentang kerinduannya akan kue kering. Sehingga pagi-pagi kakak beradik itu memutuskan untuk pergi berbelanja bersama.

Karena mengingat dia akan ke panti hari minggu nanti, Araya menyambut baik ajakan adiknya itu. Dian dan Juni juga sudah setuju mereka bertemu sekaligus membantu pindahan anak panti sehingga sudah pasti Araya akan ke sana. Jadi Araya berencana untuk membuatkan kue dan juga bolu untuk cemilan anak-anak.

Dengan mendapat sedikit bantuan dari adiknya, sejak pulang dari pasar keduanya mulai membuat kue. Hanya sempat terjeda sejenak untuk melaksanakan sholat zuhur dan juga makan siang. Setelah itu keduanya kembali menyibukkan diri. Lebih tepatnya Araya yang bekerja sementara Ayasha hanya memperhatikan.

“Wow, banyak sekali. Aduh!”

Araya yang baru saja mengeluarkan loyang terakhir tersentak kaget. Kepalanya langsung menoleh ke sumber suara yang tiba-tiba terdengar dan mengejutkannya. Matanya memandangi pemuda yang berdiri di dekat Ayara.

Dito kini sedang mengusap-ngusap tangannya. “Kamu kejam sekali,” desisnya dengan wajah yang terlihat kesal.

“Apa yang terjadi?” tanya Araya karena pelototan mata adiknya tidak lepas dari Dito. “Kalian kenapa?”

Ini kali kedua Araya melihat interaksi antara adiknya dengan Dito. Sesuai dengan yang dikatakan Dito kepadanya kemarin, pemuda itu memang datang ke rumah setelah mandi. Dan itu cukup membuat suasana terasa ramai hanya karena suara Ayasha  dan Dito.

Keduanya memiliki kesamaan sikap sehingga terlihat sangat dekat dan akrab. Hanya saja jika mereka berdua sudah berdebat, sulit untuk menentukan siapa yang akan jadi pemenangnya. Karena keduanya seakan sedang berkompetisi sehingga tidak ada yang mau mengalah.

“Ini, Kak. Dito langsung main ambil-ambil aja,” gumam Ayara dengan mata yang tidak beralih. Kedua tangannya terlipat di depan dada. “Kamu nggak punya malu ya main ambil-ambil punya sembarangan? Malah masuk ke rumah orang nggak pakai salam lagi,” omelnya.

“Ish! Aku sudah baca salam didepan. Salah telingamu kalau nggak mendengar. Lagi pula Bunda sudah menganggapku sebagai anaknya sendiri. Jadi apa salahnya coba? Kalau bundamu adalah bundaku, maka kakakmu adalah kakakku juga. Jadi kue buatan Kak Ara untukmu berarti untukku juga.”

Ayasha mengibaskan tangannya. “Masa bodo!” sentaknya. “Aku nggak punya niat untuk menambah kakak apalagi yang bentukannya sepertimu. Bunda, Kakak dan kue ini hanya milikku.”

Araya terkekeh dengan kepala yang menggeleng-geleng. Dia merasa terhibur sekali dengan dua anak berlainan jenis yang belum berusia dua puluh tahun ini. Dia melangkah dan meletakkan loyang keatas meja dengan hati-hati.

“Kalau nggak mau Dito jadi kakakmu, dia bisa jadi menantu Bunda. Nanti kalau sudah mapan, nikahi Aya ya Dit. Sepertinya kalian cocok,” canda Araya.

Dia bermaksud untuk menggoda keduanya. Melihat kedekatan Dito dan Ayasha seperti ini sempat membuatnya berpikir bahwa kedua orang ini sepertinya cocok jika menjadi pasangan suatu saat nanti. Hanya saja jika memang benar, Araya tidak bisa menebak apa yang akan terjadi dalam hubungan keduanya. Mungkin akan ada perdebatan setiap saat.

Selama ini Araya tidak pernah memiliki teman dekat laki-laki yang seumuran dengannya. Ketika kuliah dulu Araya terlalu sibuk dengan pendidikannya dan juga kerja paruh waktu yang dia jalani. Jangankan teman laki-laki, teman dekat perempuan saja —selain Dian dan Juni— dia tidak memiliki. Dia memang memiliki banyak kenalan, hanya saja sebatas teman berbincang tanpa menghabiskan waktu bersama.

Tied in Love [Tamat]Where stories live. Discover now