Bagian 41

25.2K 1.9K 34
                                    

Meskipun kemarahannya pada kedua orang tuanya masih ada, Dewa tetap tidak tega ketika melihat mamanya menangis karena dirinya. Sebab dia sama sekali tidak membantah ketika Regina menuntutnya atas tindakan bunuh diri yang sebenarnya tidak dia lakukan. Sekali ini saja. Semoga ini terakhir kalinya mamanya itu menangis karena dirinya. Meskipun Dewa merasa tidak yakin.

Dewa menatap Prabu yang duduk di sofa seberang. Papanya itu hanya menatapnya tajam. Belum ada satu pun kalimat yang keluar dari bibir Prabu sejak mereka bertemu beberapa puluh menit yang lalu. Seakan-akan memberikan kesempatan pada istrinya untuk melampiaskan perasaannya atas apa yang sudah putra mereka lakukan.

Dewa tidak tahan lagi menunggu papanya angkat bicara lebih dulu. Karena itu, setelah melihat mamanya sudah sedikit lebih tenang dia langsung bicara, tanpa berbasa-basi. "Ijinkan aku pulang, Pa. Aku mohon."

"Kamu pulang, berarti kesepakatan kita batal?"

Kesepakatan dan terus saja kesepakatan. Meskipun sudah mendapat gambaran dari Rudi, tetap saja Dewa merasa jengkel. Tidak bisakah papanya ini sedikit berbaik hati pada dirinya. "Bagaimana jika kita mengganti kesepakatannya?"

"Katakan!"

Dewa menghela nafas. "Aku akan melanjutkan kuliahku disana sambil mulai membiasakan diri dengan perusahaan. Aku akan bekerja, jadi karyawan biasa pun tidak apa-apa." Asalkan dia memiliki penghasilan sehingga bisa mencari Araya. Dewa yakin papanya tidak akan mau repot-repot memberinya uang untuk mencari Araya.

"Tambahan. Kuliah dan pekerjaanmu tidak akan pernah terganggu dengan kegiatanmu yang lain."

Tangan Dewa mengepal. Kegiatanmu yang lain? Haruskah papanya ini menggunakan kalimat itu untuk menggantikan kata 'mencari Araya'? Tapi Dewa menahan emosinya. Bukan waktu yang tepat untuk mendebat papanya. Di posisi ini, Dewa lah yang harus bersabar dan menahan diri lebih banyak.

Asalkan dia bisa pulang, permintaan papanya sama sekali tidak masalah. "Aku terima."

"Papa belum setuju."

"Pa!" seru Dewa tidak terima.

Prabu menarik tubuhnya yang tadi bersandar nyaman. Kedua tangannya saling bertautan diatas paha. "Kamu sudah tau kenapa Araya pergi dari rumah?"

Pertanyaan itu membuat Dewa tersentak. Dia baru menyadari bahwa dia tidak pernah bertanya pada keluarganya maupun keluarga Araya tentang alasan Araya pergi dari rumah. Pikirannya hanya tertuju pada bagaimana caranya dia bisa pulang, sehingga tidak memikirkan hal itu.

"Tidak."

"Tidak?" tanya Prabu dengan nada suara terdengar mengejek. "Lalu kenapa kamu tetap bersikeras untuk memberontak hanya demi bisa pulang dan mencarinya? Sementara bisa saja Araya pergi dari rumah karena ingin meninggalkan semua orang termasuk dirimu?"

"Tapi Papa pasti tau alasan aku bersikeras untuk pulang dan mencarinya. Apapun alasannya, aku tidak perduli. Aku hanya harus menemukannya terlebih dulu."

Prabu tergelak hingga membuat putranya mengernyit. "Bahkan setelah kamu tau Araya hamil dengan pria lain, kamu akan tetap pulang dan bersikeras untuk mencarinya?"

Rahang Dewa mengeras. Meskipun terkejut dengan perkataan papanya, Dewa tidak akan berandai-andai. Lagi pula dia sudah dibohongi selama empat tahun ini. Tentu saja dia tidak akan mudah percaya begitu saja apalagi dengan alasan seperti itu. Satu tahun memang bukan waktu yang lama, tapi satu tahun itu sudah cukup baginya mengenal Araya dengan baik.

"Jika pun Araya hamil maka dia akan hamil anakku, bukan anak pria lain seperti yang Papa katakan."

Prabu memukul meja sehingga istrinya tersentak kaget. Dia sama sekali tidak memperdulikan tatapan istrinya yang seperti ingin memintanya untuk tenang. Tatapan matanya yang penuh emosi hanya tertuju kepada putranya yang terlihat cukup tenang menghadapinya. "Cinta membuatmu bodoh, Aditya Dewangga."

Tied in Love [Tamat]Where stories live. Discover now