Bagian 18

27.4K 2.2K 44
                                    

Keempat orang anggota keluarga itu duduk lesehan di ruang keluarga dengan tatapan dan pemikiran yang berbeda-beda. Televisi yang sedang menyala dan menampilkan sebuah program berita tanpa suara itu seakan tidak menarik perhatian mereka.

Disa mengusap-ngusap tangan putrinya yang sudah lama meninggalkan rumah mereka. Rasa rindu kepada putrinya yang sangat besar membuat Disa rasanya enggan untuk menjauhkan tangannya. Sesekali dia memandangi wajah putrinya itu, seakan menyimpan bentuk wajah dewasa yang tidak jauh berbeda dari sembilan tahun yang lalu dalam ingatannya.

Gilang duduk dalam diam. Wajahnya terlihat datar, seakan ada banyak pikiran dalam kepalanya. Bibirnya terkatup rapat. Perhatiannya tertuju kepada Araya dan Disa bergantian. Sementara Ayasha menyandarkan tubuhnya kepada sang kakak. Gadis muda itu terlalu sibuk dengan ponsel yang ada ditangannya.

“Aya sudah kirim pesan pada Kak Tama. Kakak bilang akan datang kesini sebentar lagi.” Pemberitahuan dari Ayasha tidak mendapat respon apapun dari ketiga orang yang terlalu sibuk menikmati waktu dalam kesunyian.

“Gimana keadaan Ayah dan Bunda?” tanya Araya sambil memperhatikan Gilang dan Disa bergantian.

Seharusnya pertanyaan ini dia ajukan sejak tadi. Sejak saat dia melihat Ayah dan bundanya. Tapi karena tadinya suasana cukup haru dan sedih karena pertemuan setelah bertahun-tahun lamanya, Araya jadi melupakannya. Dan dia baru bisa mulai berpikir jernih sekarang.

“Kami baik-baik aja. Apa saja yang kamu lakukan selama ini? Kamu harus cerita banyak kepada Bunda.”

Araya tersenyum lega. “Syukurlah,” gumamnya. Dia memandangi wajah bundanya lekat. “Ara akan ceritakan semua yang ingin Bunda tanyakan.”

Memutuskan untuk pulang ke rumah berarti Araya siap jika harus mengungkit tentang masa lalu. Karena sudah sangat mengetahui sifat Disa, Araya yakin bundanya itu pasti akan mempertanyakan banyak hal. Bisa saja bundanya menanyakan tentang kesalahan Araya dulu, alasan dia menutup mulut atau kehidupannya selama sembilan tahun belakangan.

“Kemana tempat yang kamu tuju ketika pergi? Kamu harus tau betapa khawatirnya kami karena kamu pergi tanpa tujuan jelas, Ara. Bahkan uang yang kamu bawa pun nggak banyak.”

Ada secuil rasa lega ketika pertanyaan pertama bundanya bukan seperti yang Araya pikirkan. Karena Araya sempat merasa bundanya mungkin akan mempertanyakan mengenai dosa yang dulu dia lakukan bersama Dewa. Dia tidak bisa memperkirakan apakah keluarganya sudah tahu tentang masa lalunya bersama Dewa atau tidak. Tapi melihat keluarganya seperti ini, mungkin Dewa tidak pernah mengatakan apapun.

Lagi pula apa yang bisa dia harapkan dari pria itu?

“Panti asuhan bahagia. Hanya itu yang Ara pikirkan saat itu.”

Araya menggigit bibirnya. Seakan-akan mulai bersiap dengan pertanyaan inti dari Disa. Kini ataupun nanti, bundanya pasti akan menanyakan tentang anak yang Araya kandung dulu. Dia yakin dengan itu.

“Panti asuhan bahagia,” ulang Disa. “Panti yang ada di perbatasan desa kita dengan kota sebelah?” tanya Disa dengan nada tak percaya. Jika menaiki kendaraan, tidak butuh sepuluh menit dari sini hingga sampai ke sana. “Selama ini kamu disana? Kenapa bisa berpikir untuk kesana?”

Araya mengangguk singkat. “Ara tinggal disana sekitar satu tahun, Bunda. Setelah bakti sosial saat sekolah dulu, Ara dan pengelola panti cukup dekat. Jadi Ara pikir bisa menumpang disana untuk sementara waktu. Untungnya mereka menerima setelah Ara menawarkan diri untuk bantu-bantu.”

Pada awalnya penolakan adalah hal pertama yang Araya terima ketika dia datang dan meminta bantuan. Karena Salma dan Nuni bersikeras memintanya kembali ke rumah untuk menyelesaikan masalah dengan baik. Apalagi mengingat kondisinya yang sedang hamil tidak memungkinkan untuk melakukan pekerjaan di panti. Setelah memohon cukup lama baru lah Araya bisa menumpang untuk sementara waktu di panti.

Tied in Love [Tamat]Where stories live. Discover now