10 : Aku Tahu

1.8K 317 51
                                    

Gerakan tangan Megumi yang hendak menghunuskan pisau ke dadanya dihentikan.

"Apa yang coba kau lakukan?" Suara baritone itu milik, "Sukuna? Bagaimana bisa kau ada di sini?"

Manik merah Sukuna menyipit. "Seharusnya aku yang bertanya. Apa yang coba kau lakukan di sini dengan pisau itu?" Mereka berdua sama-sama melihat benda tajam dalam genggaman Megumi.

"Kau ingin bunuh diri?"

Megumi menunduk. Kenapa disaat seperti ini Sukuna melihatnya? Niat Megumi yang sudah terkumpul jadi tercerai berai.

"Oi!"

"Aku tidak kuat lagi." Megumi berkata lirih. "Aku merasa kehadiranku membawa kutukan bagi orang-orang terdekatku."

Sukuna diam. Dia mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh pemuda didepannya. Tidak berniat untuk menyela.

'Ah, untuk apa aku memberitahunya?' Pikir Megumi.

Meski demikian, Megumi tetap melanjutkan perkataannya. Megumi rasa tidak ada salahnya jika dia berbagi sedikit cerita pada Sukuna. Mau didengar ataupun tidak, Megumi tidak peduli.

"Dimulai dari Kaa-san. Kemudian Tou-san. Lalu Tsumiki. Dan sekarang Gojou-sensei. Aku tidak ingin lagi ada orang terdekatku yang berakhir seperti mereka."

"Memang ada apa dengan gurumu?" Megumi menatap manik Sukuna dari balik anak rambut yang menutupi setengah wajahnya.

"Dia koma." Sukuna tidak bertanya apa penyebabnya. Megumi memegang erat pisau dalam genggaman.

"Jika begini terus, lebih baik aku mati."

"TIDAK!"

Megumi tersentak. "Kau tidak boleh berpikiran seperti itu." Sukuna menggenggam kedua tangan Megumi. "Aku mengerti perasaanmu. Saat kau berpikir kalau kau sudah seperti kutukan bagi orang lain. Aku paham. Aku juga merasakannya."

Megumi masih menunduk. Rasa hangat pada tangannya membuat Megumi merasa lebih tenang. Hangatnya menjalar hingga ke seluruh tubuh.

"Aku juga pernah berpikir kalau aku ini mungkin hanyalah sebuah kutukan. Aku dibuang oleh kedua orang tuaku. Aku dibuang oleh panti asuhan yang menampungku. Aku dibuang oleh anak dari kakek tua yang sudah bertahun-tahun merawatku."

Sukuna menghela nafas. "Terlebih lagi aku ini orang jahat. Tidak ada orang yang mau menjadi temanku selain Itadori. Aku terbiasa hidup dalam kesendirian. Tapi aku tidak pernah berniat untuk bunuh diri."

Ketika tangan besar Sukuna beralih mengusap pucuk kepala Megumi, pemuda itu mengangkat kepalanya. Megumi terpaku.

"Kau tidak boleh mengakhiri hidupmu. Seberat apapun masalah yang sedang kau hadapi."

Untuk pertama kali Megumi melihat Sukuna tersenyum. Senyuman tanpa keterpaksaan. Senyuman yang sangat menawan.

"Ingat itu."

==========

"Suku-"

Megumi terbangun dari tidurnya. Usapan di pucuk kepala dalam mimpi tadi terasa. Megumi duduk. Dia memeluk bantal guling yang menganggur disampingnya.

"Kau salah." Ucap Megumi entah pada siapa.

"Aku tahu apapun tentangmu." Megumi menyandar pada kepala ranjang.

"Kau tidak akan mencuri jika saja saat itu semua uangmu yang tersisa tidak kau berikan pada Tsumiki. Mungkin kau masih bisa mencari tempat tinggal yang murah dengan sisa uang itu."

Megumi membenamkan wajahnya pada bantal guling yang dia peluk. "Yuuji memang tidak berbohong. Kau bukan orang jahat. Kau orang baik. Kondisi kehidupanmulah yang memaksamu bertindak jahat."

Dan entah kenapa, Megumi menangis.

==========

"Sensei, perlu bantuanku?" Gadis kecil itu menatap gurunya penuh semangat. Berharap kali ini tawarannya diterima.

"Oh, tidak perlu. Tolong panggilkan Sasaki."

Tapi ternyata tetap saja ditolak. Dia merasa kesal. Kenapa Sasaki terus yang diandalkan oleh para guru? Dia juga ingin. Dia ingin merasakan bagaimana senangnya saat kau bisa jadi orang yang diandalkan.

Meski begitu, dia menutupi rasa kesalnya dengan senyuman. "Baiklah, sensei."

Berjalan dengan hentakan kecil sambil menggerutu. Gadis tersebut menghampiri Sasaki. "Itadori, sensei memanggilmu."

Sasaki yang sedang memasang sepatu menoleh. "Ada apa?"

"Katanya sensei perlu bantuan."

"Hanya aku saja?" Sasaki menunjuk dirinya sendiri. "Anak laki-laki yang lain tidak? Matrasnya ada banyak, loh. Apa perlu aku panggilkan yang lainnya juga untuk ikut membantu sensei?"

"Tidak usah banyak tanya. Cepat pergi bantu sensei sana."

Tanpa banyak tanya lagi Sasaki segera membantu gurunya yang dimaksud oleh si gadis kecil. Sasaki tidak sadar, dari gaya bicaranya yang cenderung ketus, gadis itu sebenarnya tidak menyukai Sasaki.

Selesai membantu membereskan beberapa matras, barulah Sasaki keluar dari pekarangan sekolah. Nampak di tepi trotoar, Nobara sudah menunggu didalam mobilnya.

"Tumben telat." Ujar Nobara dengan senyum tipis.

"Maaf Nobara-san. Aku harus membantu sensei dulu tadi."

"Ya sudah. Masuklah."

=========

Sasaki sembunyikan bingkai poto itu disebalik punggung. Berjalan pelan menuju dapur. Saat sudah sampai, Sasaki melihat makanan sudah tersedia diatas meja.

Lihatlah betapa kerasnya Yuuji berusaha untuk menghidupi dirinya. Walau sudah lelah bekerja mencari nafkah seharian, Yuuji masih sanggup menyiapkan makan malam untuk mereka berdua. Sasaki bangga memiliki orang tua seperti Yuuji.

"Papa."

"Oh Sasaki, kau sudah menyelesaikan tugasmu? Kebetulan Papa juga sudah selesai memasak. Ayo kita makan malam bersama."

Sasaki menggigit bibir bawahnya. Mulai dari sini, dia akan semakin menambah beban pikiran Yuuji. Tetapi Sasaki tidak bisa untuk tidak penasaran. Apalagi setelah menemukan poto itu.

Sasaki mengeluarkan poto yang ditemukannya tadi. Mengacungkan tepat didepan Yuuji.

"Siapa orang yang ada didalam poto ini? Kenapa dia terlihat mirip denganku?"

Manik Yuuji melebar. Bagaimana bisa potonya ada pada Sasaki?

***

Hadeh. Tiada hari tanpa masalah.

MirayukiNana

Sabtu, 20 Februari 2021.

SORRY [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang