37 : Menerima (2)

1.5K 269 107
                                    

"Jika Itadori memafkanmu, menikahlah denganku. Jika dia tidak memaafkanmu, aku tidak akan pernah muncul lagi dalam kehidupan kalian semua."

Garis-garis tercetak di dahi Megumi. "Taruhan macam apa itu?" Hampir Megumi tertawa mendengar taruhan Sukuna. Aneh sekali.

Sedangkan Sukuna sudah terlanjur malu. Memang seharusnya ide gila itu tidak dia terima begitu saja. Mau ditaruh dimana mukanya kalau begini.

"Tidak masalah aku menerima taruhan itu."

Namun Megumi dengan mudahnya malah menerima taruhan Sukuna pula. Sungguh diluar dugaan.

Dengan alasan tepat seperti yang Satoru pikirkan. Megumi merasa dia kalah dalam taruhan itu. Tapi bukan itu saja alasannya.

Sukuna mengajukan taruhan, itu berarti dia mau dengan Megumi. Dan Megumi mau dengan Sukuna.

Hmm hey! Suatu hal yang berharga bisa menikah dengan orang yang kita suka sejak lama.

Tidak ingin saling melepaskan. Mereka berdua memanfaatkan kesempatan yang diberikan kepada mereka.

=========

Sasaki memasang senyumnya. "Mama." Panggil Sasaki pada Yuuji sebelum pria itu masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. Sebenarnya panggilan Sasaki lebih ke gurauan semata.

Pria itu membalas dengan senyuman geli. "Jangan panggil Mama."

"Nande?"

"Papa ini kan laki-laki. Bukan perempuan."

Bibir Sasaki mengerucut. Yuuji itu ibunya. Orang yang melahirkan Sasaki. Lebih cocok dipanggil Mama, kan?

Sasaki kembali tersenyum. "Ya sudah. Apa kata Papa saja."

Kerah baju Yuuji ditarik Sasaki. Yuuji pun dibuat sedikit menunduk.

Cup.

Kecupan kecil Sasaki daratkan pada bibir Yuuji. Yang dikecup tentunya terkejut dengan perlakuan tiba-tiba Sasaki. Ciuman pertama Sasaki diberikannya untuk Yuuji.

"Oyasuminasai, Papa. Langsung tidur ya. Jangan begadang." Ingat Sasaki pada Yuuji. Setelah mengucapkan itu Sasaki melenggang masuk ke kamarnya yang ada di sebelah kamar Yuuji.

Bibir yang dikecup Yuuji pegang. Yuuji terkekeh sambil menutup pintu kamar. Rasanya seperti Satoru langsung yang mengecup Yuuji.

"Kau nampaknya sangat bahagia, Yuuji." Bayangan Satoru memunculkan dirinya. Yuuji munculkan bukan karena rasa tertekan. Namun karena rasa senangnya.

"Masalahmu dengan Sasaki sudah selesai ya." Ucap bayangan Satoru mengikuti Yuuji yang duduk di tepi ranjang.

"Dan kau sekarang bisa pergi." Balas Yuuji. "Aku sudah menerima semuanya. Tidak ada alasan kau menemaniku lagi di sini. Aku tidak membutuhkanmu."

Perih di hati Yuuji ketika mengatakan dia tidak butuh Satoru. Nyatanya Yuuji sangat butuh belahan jiwanya itu. Tetapi, jika yang datang hanya sekedar bayangan belaka untuk apa?

Yuuji butuh Satoru yang memeluknya.

Yuuji butuh Satoru yang menasehatinya.

Yuuji butuh Satoru yang membuatnya tertawa.

Yuuji butuh Satoru yang memberikan senyum cerah kepadanya.

Yuuji butuh Satoru yang menggenggam erat tangannya.

Yuuji butuh Satoru yang mengecup lembut bibirnya.

Yuuji butuh Satoru yang asli di sisinya. Bukan bayangan Satoru.

Bayangan itu tersenyum meletakkan satu tangan di pucuk kepala Yuuji. Sentuhan yang tidak ada rasa.

"Kalau Yuuji yang meminta, aku akan menurutinya." Bayangan Satoru beranjak duduk di hadapan Yuuji. Kedua lutut jadi tumpuan untuk menyamakan tinggi.

"Pergi-"

"Yuuji." Interupsi dari bayangan itu menghentikan kata pengusir yang hendak Yuuji ucapkan.

Bayangan Satoru tersebut menempelkan dahinya pada dahi Yuuji. "Semoga kita bisa bertemu lagi." Bisiknya dengan sangat lembut. Lalu menghilang tanpa kalimat perpisahan.

Sebulir air mata terjatuh. Yuuji mengusapnya. "Ya. Aku harap kita bisa bertemu lagi, Satoru." Kata Yuuji pada bayangan Satoru yang telah menghilang. Bayangan yang tidak akan pernah muncul lagi untuk menemani Yuuji ketika dirinya sendirian menahan rindu.

Tangan Yuuji meraih bingkai poto Satoru. "Aku harap mereka membohongiku soal kematianmu." Yuuji berucap sambil mengusap pelan poto tersebut.

Kata yang Yuuji ucapkan memanglah harapan yang dia inginkan. Semoga kematian Satoru hanya kebohongan. Itu selalu Yuuji harapkan.

Dan harapannya itu adalah sebuah kenyataan yang tidak Yuuji ketahui.

==========

Saat itu Toji-lah yang menemukan Sukuna kecil tengah meringkuk di sudut gang. Di sampingnya ada tong sampah besar. Tatapan Sukuna kosong tanpa ada harapan untuk hidup. Pakaiannya lusuh dan bau.

"Hei, nak. Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Toji berjongkok di depan Sukuna.

Sukuna memberikan tatapan kosongnya. "Dare?"

"Zen'in Toji. Aku seorang Kepala Kepolisian."

"Kalau mau menculik dan menjualku jangan berpura-pura jadi Kepala Kepolisian." Kata Sukuna dengan sarkas. Kepercayaannya pada orang-orang awam telah lama menghilang. Sukuna tidak bisa mempercayai Toji meski dirinya mengaku sebagai Kepala Kepolisian.

Toji tergelak hebat. Dia menunjukkan kartu identitasnya pada Sukuna. "Aku tidak berpura-pura, nak."

Sukuna mendengus melihat benda yang tertulis identitas Toji didalamnya. "Itu pasti palsu."

"Darimana kau tahu ini palsu? Memang kau bisa membedakan mana yang asli dan mana yang palsu?"

Diam Sukuna adalah jawaban. Pria ini memberikan pertanyaan yang menyebalkan. Mana Sukuna tahu perbedaannya.

"Kau tidak tahu bukan?" Akhirnya Sukuna menggeleng.

"Kalau begitu jawab pertanyaanku. Apa yang kau lakukan di sini, nak?" Sukuna menggeleng juga. Jawaban dari, tidak melakukan apa-apa. Sukuna hanya duduk ditemani perutnya yang kelaparan minta diisi.

"Kau tidak pulang ke rumahmu?"

"Aku tidak punya rumah."

Raut Toji yang terkejut tertangkap oleh netra merah darah Sukuna. "Orang tuamu mana?"

Sukuna mengedikkan bahu acuh. "Tidak ada." Katanya.

"Kau mau tinggal bersama Satoru tidak?" Tanya Toji.

***

Terpaksa dipotong bagian masa lalunya.

Selamat Hari Raya Idul Fitri.

Telat sehari gak apa kan :D

MirayukiNana

Jum'at, 14 Mei 2021.

SORRY [✓]Where stories live. Discover now