38

3.8K 284 119
                                    

"Kadang menangis adalah satu - satunya cara matamu berbicara ketika mulut tidak mampu menjelaskan betapa hancurnya hati,"

♡♡

"Udah lebih tenang?" tanya Livia dengan lembut. 

Setelah sekitar empat puluh lima menit Zanetha menangis, kini ia terduduk lemah bersama Livia dan Ravael di sisinya. Sedangkan Ester masih terbaring di ruangan lain dan diinfus. Adam sibuk mengurus pemakaman Rendra nanti.

Zanetha mengangguk pasrah. "Makasih,"

"Sebelumnya, tante dan Ravael mau minta maaf sebesar - besarnya sama kamu, Nak. Maaf karena kita semua nutupin ini dari kamu," ucap Livia.

"Maksudnya?"

"Papa kamu memang punya penyakit jantung sejak lama karena keturunan gen, ini bukan mendadak. Dan itulah alasan.."

"Alasan aku dijodohin?" sela Zanetha sambil menahan air matanya. 

Ravael menghembuskan nafas berat. "Ini semua demi kebaikan lo,"

Zanetha menutup wajahnya kembali menangis. Ia merasa bodoh sekali, selama ini papa tercintanya memiliki penyakit serius tetapi Zanetha tidak tahu apa - apa!

Tangisan Zanetha tidak terdengar suara, itulah yang bahkan menjadi terdengar lebih menyakitkan kan? Memang ini kesalahan mereka.

"Papa kamu yang minta rahasiain ini semua dari kamu."

"Seharusnya aku curiga kenapa tiba - tiba aku dijodohin kayak gini. Kenapa aku bego banget sih?! Kenapa aku gak berfikir sejauh itu?" pekik Zanetha bersamaan dengan tangisannya.

"Za, jangan salahin-"

"Apa?! Lo mau ngomong apa? Lo juga tau semuanya kan? Cuma gue disini yang bego gak tau apa - apa! SEMUANYA JAHAATT," jeritnya frustasi.

Livia langsung memeluk Zanetha. Dekapannya yang hangat membuat Zanetha sedikit lebih tenang dan tidak merasa sendirian lagi. Walaupun hatinya masih sangat amat tersakiti.

"Kenapa harus papa, Tante? Kenapa harus papanya aku yang diambil Tuhan?" tanya Zanetha, suaranya parau dan terdengar sangat lemah.

"Gak ada manusia yang mengerti rencana Tuhan. Tapi suatu saat, kamu akan perlahan bisa mengerti semuanya,"

Perlahan Livia melepas pelukannya dari Zanetha. "Kamu tunggu sebentar disini, Ravael yang jaga kamu. Tante mau mengurus administrasinya dulu," dan Zanetha hanya memberi anggukan sebagai jawaban.

Zanetha diam, memejamkan matanya dan pikirannya masih sibuk dengan Rendra. Entah mengapa air matanya juga tak mau berhenti, meski Zanetha berusaha untuk tetap tegar di saat ini.

"Jangan kemana-mana dulu, gue mau-"

"AAAAAAAAAA!!!! HIDUP BRENGSEEKKK," pekik Zanetha memotong ucapan Ravael. Ravael sadar kondisi Zanetha saat ini tidak tepat untuk ditinggal sendirian.

Zanetha bangkit berdiri dan menendang sebuah tempat sampah di dekatnya hingga isinya jatuh berantakan. "GUE MAU MATI ATAU PAPA GUE HARUS HIDUP LAGI," jerit Zanetha dengan tubuhnya gemetar hebat.

Ia mencubit - cubit tangan kanan dan kirinya bergantian dengan kencang hingga sepanjang lengannya muncul memar - memar merah membekas. "Gak gak gak! Ini gak mungkin. Mimpi kan? Ayo bangun! Mimpi mimpi, ini semua mimpi! Gue sekarang pasti lagi tidur, dan ketika gue bangun semuanya akan baik - baik aja. Mimpi mimpi mimpi!!!!" jerit Zanetha sambil memukuli dirinya tanpa henti. Zanetha mungkin bisa dikatakan seperti 'orang gila' sekarang.

Ravael pun mendekatinya dan menahan tangan Zanetha agar ia tidak menyakiti dirinya lagi. "Cukup Zanetha Kristine,"

Kemudian Zanetha pun langsung berlari pergi tanpa mengucapkan apa - apa lagi. Dengan cepat Ravael mengejarnya, ia tidak mau Zanetha akan melakukan hal yang semakin tidak masuk akal.

21 DAYS TO GET HURT [AKAN TERBIT]Where stories live. Discover now