46

4.6K 339 36
                                    

"Aku tak memaksamu untuk tetap tinggal, tetapi aku hanya ingin kamu tidak pergi. Itu sudah lebih dari cukup."

♡♡

Zanetha berjalan di sepanjang jalan yang sangat sepi. Ia sedang menuju ke kafe Jenggala untuk mengharapkan kedatangan Ravael. 

"Gue harap kita bakal ketemu malem ini," gumam Zanetha bermonolog.

Ia pun masuk ke dalam kafe tersebut. Ternyata cukup sepi, mungkin hanya terisi empat atau lima meja oleh pengunjung.

"Selamat datang. Untuk berapa orang?" sapa pelayan disana.

"Dua orang. Saya mau meja yang deket jendela aja ya," jawab Zanetha sambil tersenyum ramah. 

Kemudian Zanetha melangkahkan kakinya mengikuti langkah pelayan tersebut menuju mejanya. Entah mengapa jantung Zanetha berdegup kencang, padahal Ravael belum datang.

Pelayan itu menyodorkan sebuah buku menu. "Silahkan dilihat - lihat dulu, panggil saya saja kalau sudah mau pesan."

"Oh iya terima kasih,"

Zanetha pun mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi Ravael.

"Halo? Gue udah di kafe Jenggala, lo ada dimana? Gue bakal nunggu lo disini sampe lo dateng. Gue yakin lo akan dateng nanti," ucap Zanetha.

"Pulang. Percuma lo nunggu gue,"

"Gak mau, gue akan tetep disini buat lo. Gue tau lo gak akan tega ngebiarin gue sendirian nunggu disini,"

"Cukuplah, lo sendiri juga tau gue gak bakal kesana. Jangan berekspetasi,"

Tut.

Zanetha menatap layar ponselnya, Ravael benar - benar memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak. Ia tersenyum pahit.

Tidak ada salahnya kan berharap? Zanetha yakin Ravael datang. Itu satu - satunya alasan ia tetap bertahan disini sekarang.

Ia melirik jam tangannya sekilas, sudah jam tujuh lewat dua puluh menit. Masih ada harapan.

"Permisi, sudah mau pesan?" tanya pelayan yang datang menghampiri Zanetha.

"Hm- enggak dulu deh, mbak. Saya masih nunggu pacar saya yang lagi perjalanan kesini,"

"Oh baik. Nanti silahkan bisa panggil saya di meja kasir ya,"

Zanetha mengangguk ramah. "Baik mbak. Makasih ya,"

-x-x-x-

Di tempat lain, Ravael merebahkan dirinya di atas kasurnya sambil terus menatap surat dari Zanetha. Pikirannya terus membayangkan Zanetha. Ada begitu banyak pertanyaan yang menggentayangi Ravael.

Apakah Zanetha baik - baik saja?

Apakah ia masih menunggu Ravael sampai saat ini?

Apa Zanetha terluka? 

Apa Zanetha sudah pulang dan sedang menangis?

Ravael sendiri tahu kalo perbuatannya sudah keterlaluan dan sangat kejam, tetapi ia hanya tidak bisa menjadi pacar Zanetha. 

"Sialan! Kenapa pikiran gue jadi kacau kayak gini sih?"

"Gue gak perlu khawatir, pasti Zanetha baik - baik aja. Gue yakin,"

Lalu Ravael melihat jam dindingnya. Sekarang sudah jam sembilan lewat sepuluh menit. Pasti Zanetha sudah tidak ada disana.

"Gue gak tau kalo lo bakal jadi orang yang sepenting ini di hidup gue. Tapi gue gak siap, gue gak bisa jalanin perjodohan ini. Gue takut nyakitin lo nanti, gue takut gak bisa bahagiain lo. Gue juga takut Om Rendra kecewa sama gue,"

21 DAYS TO GET HURT [AKAN TERBIT]Where stories live. Discover now