45

4.2K 317 35
                                    

"Cinta memang butuh pengorbanan, tapi jangan sampai kita yang jadi korban. Walaupun nyatanya pengorbananku ini hanya sia - sia."

♡♡

"Si Zanetha tadi kenapa? Gue liat dia nangis - nangis," tanya Austin.

Geng VOLK memang senang berkumpul seperti ini, entah di perpustakaan, kantin, parkiran, rooftop sekolah, atau dimanapun. Bahkan terkadang mereka nongkrong bersama ketika di tengah jam pelajaran, hal yang biasa.

Wajah Ravael sejak tadi terlihat muram dan juga suntuk, anak VOLK lain sudah merasa pasti ada hubungannya dengan Zanetha.

"Lo jadi nembak dia waktu itu? Yang lo tanya ke kita di kantin, maksud lo buat Zanetha kan?" tanya Hakim kemudian.

"Gak," jawab Ravael cuek. Suasana hatinya yang buruk sedang tidak ingin membicarakan Zanetha.

Ravael beranjak dari kursinya. "Gue mau ke kelas,"

"Eh- ikut! Kita ikut," sahut Edgar.

"Ayo cabut, lagian udah mau bel pelajaran juga," tambah Hakim santai.

Mereka pun akhirnya bersama pergi menuju kelas. Tentu saja sepanjang koridor sekolah para gadis tidak bisa mengacuhkan VOLK begitu saja, mereka memperhatikan lima laki - laki tampan itu hingga matanya seperti hampir copot.

Hakim sibuk menebar pesona dan senyuman manisnya kepada para gadis itu, berbeda dengan empat yang lainnya hanya berjalan cuek.

Bruk!

Semua mata langsung tertuju kesana. Ternyata Zanetha. Ia berlari sambil menangis dan tidak sengaja menabrak tubuh Ravael yang tinggi dan besar itu.

Zanetha mengerutkan dahinya, menatap Ravael penuh arti. "Ravael," panggilnya dengan suara bergetar.

"Gue gak ada waktu," ucap Ravael. 

Ketika laki - laki itu hendak melangkah pergi, tiba - tiba Zanetha menurunkan dirinya dan berlutut tepat di hadapan Ravael dan anak VOLK lainnya. Air mata Zanetha yang terus mengalir deras.

Tentu saja para murid disana yang menyaksikan langsung berkumpul dan bergosip, membicarakan momen itu. Zanetha tidak pernah melakukan ini sebelumnya, dan kini akan menjadi berita terpanas. Tetapi ini mungkin yang kedua kalinya untuk Zanetha, sebelumnya ia juga pernah berlutut dan memohon pada Sergio untuk tidak memutuskannya.

"Berdiri sekarang. Gue gak suka jadi bahan tontonan," perintah Ravael tegas. Ia bahkan tidak mau melihat mata Zanetha.

"Gue gak peduli! Gue gak bisa diem aja dan nerima kenyataan kalo lo harus pergi, Ravael. Jangan jauhin gue, gue masih perlu ngobrol sama lo. Urusan kita belom selesai," ujar Zanetha dengan lirih.

Tidak perlu ditanya, pastinya saat ini hati Ravael begitu perih melihat Zanetha sampai berani melakukan hal seperti itu. Ia sungguh tidak tega.

"Maaf. Selesai kan?"

Zanetha menggeleng lemah. "Maaf? Gue gak butuh kata maaf dari lo karena itu gak ada artinya! Lo pikir gelas yang pecah terus ditambal dan ditempel lagi bakal balik kayak semula? Enggak. Mungkin emang masih bisa dipake, tapi tetep aja dia pernah rusak kan?"

"Rav, bantuin itu Zanetha. Lo suruh dia berdiri terus bawa ke tempat lain aja," bisik Edgar.

"Cepet Rav sana, kasihan itu cewek masa sampe berlutut di depan lo," tambah Hakim di belakangnya.

21 DAYS TO GET HURT [AKAN TERBIT]Where stories live. Discover now