37 || cold heart

5.5K 613 49
                                    

Tara yang sedang memakai dasi di depan cermin panjang kamarnya, langsung terhenti.

Lalu tiba-tiba saja Tara tersenyum senang, tidak-tidak. Tara bukan sedang tersenyum karena melihat pantulan wajah sempurnanya di kaca. Melainkan senyuman yang mengembang karena mengingat mimpinya semalam, Tara memimpikan kembali kilas-kilas kejadian tujuh tahun lalu saat dirinya masih duduk di bangku kelas dua SMA.

Jika diingat-ingat kembali, dirinya saat itu sangat keanak-anakan. Saking keanak-anakannya Tara bahkan pernah melakukan hal bodoh melampiaskan sesuatu dengan cara menyakiti diri sendiri. Jika mahasiswanya tau insiden ini sudah pasti Tara jadi bulan-bulanan, bukan karena imejnya yang sebagai dosen muda akan turun. Akan tetapi karena dirinya yang sering mengingatkan pada mahasiswanya untuk jangan sekali-kali menyentuh Narkoba dan menyakiti diri sendiri karena depresi. Tara bahkan sampai mengulangi perkataannya itu tiap kali dia ada jadwal mengajar bahkan sampai satu mahasiswa yang dikenal sebagai salah satu pentolan di salah satu kelas yang dia ajar. Menyebut jika dirinya itu adalah dotcer, singkatan dari dosen tukang ceramah.

Dan seperti itulah awal semua mahasiswa di kampus tempatnya mengajar menyebutnya dia demikian bahkan secara terang-terangan. Tara sih tidak pernah mempersalahkannya.

Tapi tentunya sebutan itu juga melekat dengan sikapnya yang sering kali menjadi tempat curhat baik itu mahasiswa maupun mahasiswi. Jadi jika mereka tau masa lalunya, mungkin Tara akan berakhir dengan ledekan.

Membayangkan itu, Tara kembali tersenyum tapi kali ini dengan kekehan kecil geli disana.

Lalu tak berselang lama bersamaan dengan ikatan dasi yang telah dia rampungkan,terdengar suara ketukan pintu di luar.

Tara langsung saja bergerak meninggalkan cerminnya dan mendekat ke arah pintu.

Lalu membukanya..

"Papa lama!"

Disambut dengan gadis kecil cantik yang merajuk, Tara lantas tertawa bahagia lalu tanpa aba-aba langsung membawa putri bungsunya ke dalam gendongannya dan menciuminya sampai-sampai putrinya berteriak kencang meminta penghuni rumah lainnya untuk menolongnya tapi tetap Tara tidak mengkasihani dan malah makin menjadi-jadi.

Sekarang dia benar-benar merasa sudah pulih, seutuhnya.

Dia juga berterima kasih, berkat mimpi itu perasaan rindunya terbayar.

Walaupun mimpinya memang memutar balik kenangan saat-saat terpuruknya tapi Tara juga tidak bisa menampik jika masa-masa itu dia begitu bahagia karena orang itu masih bersamanya.

Pada saat itu....

******

Bara tersenyum sendu begitu tangan hangat Lingga yang ada digenggamnya yang penuh dengan lilitan perban.

Bahkan Bara bisa merasakan sakitnya hanya dengan melihatnya. Tangan Lingga memang sudah sembuh tapi rasanya Bara masih belum bisa melupakan bagaimana remuknya tangan adiknya itu.

"Mending gak usah diliat, kalo buat kakak jadi murung!"

Dikatakan seperti itu, Bara langsung menggeleng lalu mengangkat wajahnya menatap hangat ke arah Lingga dan tersenyum kecil.

"Siapa yang murung, orang ngebandingin. Kok masih kecil ya tangannya gak ada kemajuan?" Ucap Bara sambil mengangkat-angkat kedua alisnya, menggoda.

Lingga yang dibilang seperti itu tentu saja, tidak tinggal diam. Dia pun langsung mencubit pinggang kakaknya keras.

"Aduhhh!!. . Ampunn Lingga!"

Mendengar itu Lingga melepaskan lalu memelet kesal, dan langsung saja berbaring memunggungi Bara yang masih merintih memegang pinggangnya.

Rumah Untuk Lingga (Completed)Where stories live. Discover now