Bagian 04 || Tak Boleh Terlena

40.3K 3.5K 53
                                    


Jam menunjukkan pukul 09.00 WIB. Nawa nekat tetap pergi ke kampus. Dengan penampilan yang ... you know lah. Mata yang bengkak, dan sudut bibirnya yang sobek. Ia masih baru menjadi mahasiswi, tak enak rasanya jika sudah mengambil absen.

Saat dirinya terbangun, ternyata ia berada di kamar tamu. Para maid yang menggotong dirinya, dan mengganti pakaian, juga mengobati bekas lecutan dan juga bibirnya yang sobek itu.

Dirinya berlaku seperti biasanya, seakan-akan kejadian semalam tak pernah terjadi. Kini gadis cantik itu tengah berada di perpustakaan, sendirian. Tampak gadis yang memiliki tinggi hanya 158 cm itu meloncat-loncat karena tak sampai meraih buku yang ingin dibacanya.

Di belakang gadis itu ada seorang lelaki yang menahan tawanya, tapi Nawa masih tak menyadarinya.

Nawa terkejut ketika pria itu mengambilkannya buku itu, dengan senyum tipis di bibirnya.

"Makasih," ucapnya tersenyum, ketika laki-laki itu mengulurkan buku itu padanya.

"Sama-sama." Setelah mengatakan itu, laki-laki itu langsung pergi ke salah satu meja baca. Mendudukkan diri di kursi yang tersedia.

'Lucu,' batin laki-laki itu, ia menyunggingkan senyum kecil.

"Astaghfirullah." gumamnya sembari menggelengkan kepala. Setelahnya ia memfokuskan pada buku yang dipegangnya.

'Aku kenapa sih, akhir-akhir ini?'

***

"Are you really okay?" Dea masih tak percaya dengan jawaban yang di lontarkan sahabat barunya itu.

"Dea ... tadikan aku udah bilang, kalo aku baik-baik aja." ucap Nawa sambil meminum air mineral didepannya.

"Bibir lo sobek gitu, baik gimana? Lo pasti abis nangis 'kan semalam? Jawab gue dengan, jujur!" Dea masih keukeh mengintrogasi sahabatnya itu.

"Iya, aku habis nangis, semalam. Kucing tetangga aku mati," jawabnya ngawur.

Dea menoyor kepala Nawa, sangking kesalnya. "Gue serius ege!"

"Udah ah, jangan di toyor-toyor! Ntar otak aku jatoh ke kerongkongan,"

"Serah lo dah, serah!" kesalnya, Dea menyuapi satu pentol bakso dengan kekesalan, hingga ia tersedak. Pentol bakso itu menyangkut di kerongkongannya, sulit untuk di telan, susah juga untuk di keluarkan.

"Uhuk ... khuuk!" perempuan itu  menepuk-nepuk lehernya sendiri.

"Dea ... kamu kenapa? Aduh, makanya makan itu pelan-pelan! Kalo mati gimana?" Nawa kalang-kabut. Di tepuknya punggung Dea kuat-kuat, hingga satu pentol bakso keluar dari mulut sahabatnya itu.

Setelah pentol itu keluar, Dea langsung meminum es tehnya dengan rakus. Matanya memerah.

"Lo mah! Sakit punggung guenya. Mana pakek do'ain gue mati lagi, kalo jantung gue kepleset ke pankreas gimana?" ucapnya sedikit kesal. Perempuan itu masih mengelus lehernya dengan pelan.

"Ya maap, abisnya aku khawatir liat kamu keselek pentol bakso, aku juga bukannya do'ain kamu mati,"

"Udah lah, ayok ke kelas, lima menit lagi masuk," ucap Dea sembari menyampirkan ranselnya di pundak.

***

Setelah pulang kampus, Nawa menemani sahabatnya itu untuk pergi ke mall. Katanya, bosen dirumah. Orang tuanya juga belum pulang dari California, seperti biasa, urusan bisnis.
Nawa juga telah mengirimi Arsha pesan, meminta izin menemani sahabatnya itu, walaupun pesannya hanya di baca, tanpa di balas.

ARSHAWA [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora