Bagian 44 || Not a Dream

42.2K 2.8K 171
                                    

Mata berwarna coklat gelap itu terbuka dengan sempurna. Nafasnya berhembus hebat, jantungnya berdebar kencang. Ia terduduk, sebelum menyadari rasa sakit yang terasa di bagian perutnya.

Nafasnya masih memburu, ia mencoba menormalkan detak jantungnya, dengan fikirian yang tertuju pada satu orang.

"Om Arsha ..." ia termenung sejenak, "Jadi, itu cuma mimpi? Kenapa terasa nyata banget? Kenapa bisa mimpi kayak gitu?" gadis itu mengusap kepalanya sendiri, dengan kedua tangan. Ia menatap tangan sebelah kirinya, yang tertancap selang infus disana.

"Aku, di rumah sakit?" ia menatap sekeliling, mengapa ia baru menyadarinya?

Mengingat apa yang terjadi sebelumnya, gadis itu menggigit bibir dalamnya. "Om Arsha gak mungkin pergi kan? Mimpi itu gak punya maksud apapun kan? Itu pasti cuma bunga tidur, iya ..." dirinya mengangguk pelan, meyakinkan diri sendiri, walaupun kini matanya terasa panas. Mimpi itu terasa amat nyata, ia takut.

Cklek

Gadis itu menoleh kearah pintu yang terbuka. Mulutnya ternganga, dengan mata yang seakan hendak jatuh dari tempatnya. Mata itu sama sekali tak berkedip.

"Sadar Nawa, jangan halu kayak gini." ia menggelengkan kepalanya dengan kuat, tangannya menampar keras pipinya sendiri.

"Kamu ngapain? Udah stop." sosok dengan baju pasien itu memegang tangan gadis yang masih menampar dirinya sendiri itu.

Nawa mematung. Ia masih mencerna hal ini. Apakah ia yang sudah mulai gila dan mulai berhalusinasi, atau ini benar-benar nyata?

"Om Arsha ...?" lirihnya. Matanya terlihat semakin menumpukkan embun. "Ini beneran, atau cuma halu?" tanyanya dengan suara yang tercekat.

Sosok yang juga mengenakan pakaian pasien seperti gadis itu, langsung merengkuhnya kedalam pelukan.

"Ini nyata. Kamu gak halu. Ini benar-benar aku. Devano Arsha Wirawisakha. Suaminya Hanawa Ulfatunnisa Salsabila. Masih gak percaya, hmm?" tangis gadis itu pecah saat itu juga. Ia terisak, dan langsung memeluk balik laki-laki itu. Wajahnya di tenggelamkan pada dada pria tersebut.

"Jangan pergi ... jangan kemana-mana, tetap disini aja." ucapnya parau dengan pelukan yang semakin mengerat.

Arsha terkekeh. Matanya juga berkaca-kaca saat ini. Kepalanya mengangguk, memejamkan mata menikmati pelukan melepas rindu keduanya. Kepalanya ia tumpukan pada kepala istrinya.

"Aku gak akan kemana-mana, aku gak akan pergi. Asal kamu juga gitu. Jangan sakit lagi, jangan pergi lagi,"

Nawa mengangguk dengan cepat. Ia melonggarkan pelukan, menatap wajah laki-laki itu yang terdapat lebam di beberapa bagian.

"Jadi, om beneran masih hidup? Gak naik pesawat itu?"

Manik keduanya bertemu, Arsha menyelami dalam hal itu. "Aku masih hidup. Aku emang naik pesawat itu, tapi aku selamat. Walaupun gak sadarin diri beberapa waktu. Kenapa, masih gak percaya ya?"

Nawa mengangguk mendengar itu. "Aku mimpi om pergi, aku kira itu nyata. Alhamdulillah cuma mimpi. Aku benar-benar bersyukur itu cuma mimpi. Aku bahkan gak nyangka om disini." ceritanya dengan tangis terisak.

Arsha lagi-lagi terkekeh. Mengapa terlihat sangat menggemaskan seperti itu? Nawa terlihat seperti bocah yang menangis dan bercerita pada ayahnya. Apa lagi matanya yang mulai sembab dan memerah. Terlihat imut.

Ia langsung memeluk tubuh itu kembali. Ia juga bersyukur, Allah tidak mengambil salah satu di antara keduanya dulu saat ini.

"Aku rindu." bisik Arsha tepat di telinga gadis itu.

ARSHAWA [END]Where stories live. Discover now