Bagian 29 || Tak Terselamatkan

52.8K 3.5K 131
                                    

"Banyak orang yang tak sadar dengan perasaannya sendiri. Terus menyia-nyiakan orang tersebut. Hingga kepergiannya lah yang menyadarkan ia, betapa ia mencintainya."



"P-pah, Nawa ..." Eirin masih menangis dalam dekapan Gavino. Tangisnya memang tak sekejer tadi. Hanya tangis tanpa suara, dan lirihan. Gavino pun masih terus mengelus lembut, rambut istrinya. Ia juga melontarkan beberapa kata penenang, namun tak jua membuat tangis istirnya itu reda.

"Gracia, Elsa gimana? Kalian titipin sama siapa?" tanya kakek Arya pelan, pada cucunya yang saat ini duduk bersebelahan dengan dirinya. Sedangkan nenek Qylae, sudah mulai tenang, dan terlelap dalam rengkuhan pria tua itu.

"Elsa aku titipin sama Gibran, kek. Aku gak sempet ngantar dia sekolah, karena buru-buru ke sini. Untungnya semalam Gibran nginap di rumah aku, jadi bisa di andelin," kakek Arya mengangguk mendengar itu.

Di depan ruang ICU itu, hanya terdiri enam orang. Eirin, Gavino, kakek Arya, nenek Qylae, Gracia, dan Mark- suaminya. Sedangkan Andre, ia sepertinya masih adu debat atau mungkin adu jotos kembali, dengan Arsha di depan sana. Keenam orang itu masih menunggu dengan gusar. Jantung mereka berdebar-debar, takut dan khawatir.

Sedangkan di dalam ruangan ICU itu, terjadi ketegangan.

"Pasien mengalami aritmia. Cepat, siapkan defribrilator," suster pun segera melakukan apa yang dokter itu perintahkan.

"Cepat, sebelum detak jantungnya benar-benar berhenti!" suasana semakin menegang. Dokter itu dengan gesit menyentuhkan defribrilator pada jantung perempuan yang saat ini sudah di ambang kematian itu.

Dugh!

Dugh!

Dugh!

Dugh!

"Dokter, denyut jantungnya berhenti." suster itu menoleh pada mesin EKG. Terlihat, tak ada lagi gelombang-gelombang kurva. Hanya garis lurus yang terdapat di sana.

"Saya akan terus berusaha." dokter itu masih terus menyentuhkan defribrilator pada dada gadis yang terbujur kaku itu. Berharap, detak jantungnya kembali di temukan.

Nawa menoleh ke sekelilingnya. Ia juga menatap penampilannya. Ia menggunakan sebuah baju terusan berwarna putih polos, juga, hijab pasmina dengan beberapa untaian mutiara, terlihat begitu cantik dirinya saat ini. Namun, ia tak memakai alas kaki. Rumput yang di pijaki nya terasa begitu lembut menyentuh telapak kakinya.

Sekelilingnya, terlihat banyaknya bunga Dandelion putih dan Cortaderia Selloan yang menghiasi. Selain itu, ilalang juga tumbuh di tepi-tepian. Angin menyapa lembut. Menerbangkan hijab juga bajunya.
Ia mulai melangkahkan kakinya, menuju ayunan yang terdapat di depan sana.

Ketenangan di rasakannya, namun ia juga merasakan kekosongan. Namun, ia merasa enggan untuk meninggalkan tempat ini. Ia mengayun pelan, ayunan itu. Memejamkan mata menikmati semuanya.

"Sayang ..." mendengar suara seseorang yang sangat di kenali nya, ia membuka mata. Menoleh kesana-kemari, mencari sumber suara. Setelahnya, ia menemukan seorang perempuan dan laki-laki yang duduk di sebuah bangku hitam, di bawah sebuah pohon rindang. Tangan perempuan di depan sana melambai-lambai memanggilnya. Begitupun laki-laki di sampingnya. Senyum yang lama ia rindukan, kini terlihat dengan jelas.

Ia mulai berlari kecil, meninggalkan ayunan tadi. "Ayah, bunda ..." senyumnya merekah lebar. Amat bahagia dirasakannya, bisa bertemu kembali dengan dua orang yang begitu di cintanya.

ARSHAWA [END]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant