Bagian 42 || Goodbye

36.5K 2.9K 326
                                    

Pukul tiga lewat dua puluh menit. Dengan hanya sisa rintiknya di sepertiga malam itu, dalam keadaannya yang masih kritis, tiba-tiba mata yang bisa membentuk bulan sabit jika tersenyum itu terbuka secara perlahan.

Hanya bisa meringis pelan, dengan sekujur badan yang terasa remuk redam. Terutama bagian kepalanya, yang amat terasa sakit bila di gerakkan. Terdiam beberapa saat, mencerna apa yang telah terjadi, setelahnya ia terduduk dengan paksa. Rasa sakit yang di rasanya, di kesampingkan begitu saja. Seolah lupa dengan rasa sakit itu, ia menurunkan kakinya, menyentuh ubin yang terasa mencengkam.

"Aakh, astaghfirullah." tak sanggup menopang tubuhnya, ia terjatuh. Mengapa ia baru menyadari ini? Kakinya, kakinya yang saat ini hanya tersisa satu dengan di balut perban putih.

"K-kaki saya? Kaki saya kenapa bisa gini?" ujarnya panik.

"Nawa?" ya, mengingat gadis itu kembali, mengesampingkan apa yang terjadi padanya saat ini. Menatap ruangan dengan bau khas obat-obatan tersebut, ia menemukan dua tongkat di sudut pojok dekat jendela.

Dengan mengesot, karena dirinya yang tak mungkin bisa berjalan, ia meraih tongkat itu. Lagi-lagi mengabaikan rasa sakit yang di rasanya, terutama pada kakinya yang baru saja di amputasi.

Berjalan dengan susah menggunakan tongkat itu, karena tak terbiasa juga sakit yang di rasa. Akibat keterburuan juga khawatir yang mendominasi, ia tersungkur.

"Akhh." tidak ingin menyerah, ia meraih kembali kedua tongkat itu. Berusaha berdiri dengan susah payah. Rasa sakit yang semakin menjadi, tak dihiraukan, terutama pada kepalanya.

'Nawa, kamu gimana? Kamu baik-baik aja kan?' dengan nafas yang memburu, ia kembali berjalan dengan tertatih, menggunakan tongkat itu.

"Azzam? Maa Syaa Allah. Baru sadar, kenapa maksa jalan dulu?" seorang pria paruh baya, dengan gamis biru tuanya, membuka pintu ruangan keponakannya itu. Ia langsung berjalan mendekat, sirat akan raut khawatir di wajahnya.

"Nawa, dia gimana pakle? Dia baik-baik aja kan? Dia di ruangan mana?"

"Nawa siapa? Ibu hamil yang kamu tolongin itu?"

"Bukan, perempuan yang kecelakaan sama saya. Dia keadaannya gimana?"

"Ooh, dia toh." pria yang tampak agamis itu terdiam, bingung ingin berbicara seperti apa pada keponakannya itu.

"Kamu kenal dia, lek?"

Azzam mengangguk, "Dia temen kampus saya. Saya boleh minta tolong, pakle?"

Pamannya mengangguk mendengar itu, "Opo toh, lek? Keadaan kamu, wes belum sehat."

"Saya mau keruangannya. Saya khawatir sama dia, pakle," keukeh Azzam.

"Kamu belum boleh buat banyak gerak-gerak dulu, mending istirahat aja dulu ya? Besok kan masih ada waktu, toh ini juga udah malem,"

"Gak bisa, saya mohon. Saya bener-bener khawatir,"

Menghela nafas, melihat raut dari keponakannya itu, ia akhirnya luluh juga.

"Ya udah, ayo. Tapi jangan pake tongkat dulu. Kursi roda aja, biar pakle ambilin bentar. Kamu disini, jangan kemana-mana dulu,"

"Iya." patuh Azzam, dengan menganggukkan kepalanya.

Tak lama pamannya keluar. Lima menit kemudian, pamannya itu telah kembali, dengan kursi roda yang di bawanya. Membantu Azzam menduduki dirinya secara perlahan, ia mulai melangkah keluar dari ruang rawat keponakannya. Berjalan kearah ruang ICU, di mana gadis yang keponakannya cari berada disana.

"Bagaimana bisa? Bukankah tadi siang masih ada satu pendonor lagi?" raut wajah dokter itu tampak tegang.

"Tadi siang memang ada dok. Tapi sore ini, sudah tidak ada,"

ARSHAWA [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora