Bagian 14 || Bekerjasama Dalam Berpura-pura

30.5K 2.7K 78
                                    

Gadis cantik dengan gamis berwarna coksu serta pasmina yang senada melekat di tubuhnya itu, saat ini tengah duduk di kantin, bersama teman-temannya. Mereka baru saja keluar dari kelas. Nawa, ia menyeruput jus alpukat di depannya hingga tersisa setengah.

"Pelan-pelan atuh Na, gak ada yang bakal minta juga kok." ucap Doni seraya memasukkan kacang ke dalam mulutnya.

"Hehe, abisnya aku haus banget." Nawa cengengesan.

"OMMO!" Dea tiba-tiba saja menjerit sembari menggebrak meja, sehingga kini meja mereka menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di kantin.

"Ssts ..." Dani yang duduk di depan Nawa, meringis malu. Dea yang berbuat ulah, mereka yang ikut menanggung malu.

"Maaf-maaf, temen saya emang rada-rada." Doni berdiri, meminta maaf, agar tak menjadi pusat perhatian lagi.

Setelah mengatakan itu, barulah semua orang kembali ke aktivitas masing-masing.

"Kamu kenapa sih, De?" tanya Nawa.

"Ya Allah, ini demi what?! Angga polbek ige gue? Aaaa! Ga nyangka tahu? Gue bener-bener ga nyangka!" Dea histeris kembali, padahal hanya di follback akun Instagram, tapi sudah seheboh itu.

"Ehh pe'a! Sadar, lo itu Kristen." Doni melempari Dea dengan kulit kacang di tangannya.

"Astaghfirullah, gue lupa,"

"Lo ngapain istighfar, Juleha?" Dani yang melihatnya pun prustasi. ;)

"Ealah, keceplosan gue." Dea cengengesan.

"Gitu doang seneng. Lebay!" Doni menyahut lagi. Sepertinya ada bau-bau kebakaran.

"Cemburu lo?" Dani mengangkat sebelah alisnya, menggoda kembarannya itu.

"Diem lo!" Doni menendang kursi di sampingnya itu, yang di duduki oleh Dani.

"Yee, biarin lebay, yang penting ige gue di Polbek. Wle!" Dea menjulurkan lidahnya, mengejek Doni.

"Ig doang di follback, perasaannya kagak. Jiah, hahaa ..." Doni tertawa, menyembunyikan hatinya yang retak hingga ke ginjal. Kasihan, sadboy dia.

Raut wajah Dea berubah menjadi datar, kit ati dia!

"Jantan, tapi mulut lo lemes amat!" Sarkas nya.

"Allahuakbar ... Allahuakbar ..." suara adzan terdengar dari salah satu handphone mereka berempat.

Sih kembar dan Dea kompak menoleh ke arah Nawa. Sedangkan yang di tatap balas menatap mereka semua dengan polos.

"Kenapa?" tanya perempuan berhijab coksu itu.

"Hape lo, yang bunyi?" tanya Doni. Sedangkan Nawa hanya menggeleng sebagai jawaban.

"Terus, hape siapa?" pasalnya, hanya Nawa sendiri lah yang muslim di antara mereka. Jika bukan handphone gadis itu yang mengeluarkan bunyi pengingat shalat, lalu siapa lagi?

Dea mengerjabkan matanya. Ia teringat sesuatu. Ia mengeluarkan benda pipih, dari saku jeens nya. Barulah terjawab semuanya.

"Jadi, itu adzan dari hape lo?" tanya Dani. Dea mengangguk mengiyakan.

"Lo ngapain?" tanya Doni dramatis.

"Kok bisa ada aplikasi pengingat shalat di hape nya kamu?" tanya Nawa.

"Lo ngapain, install aplikasi itu." Dani tersenyum miris. "Lo Kristen Dea ..., gak shalat," lanjutnya lagi.

"Hehe, jadi gini. Kemaren malem kan listrik di rumah gue padam. Di rumah gada siapa-siapa, bonyok gue lagi di Amsterdam,  sedangkan pembantu di rumah gue udah pada pulang. Mana ujan lagi, gelap-gelapan, gue kan takut. Waktu itu gue liat ada putih-putih berdiri di tangga terakhir waktu mau ambil lilin kebawah, eh gue keburu lemes ketakutan. Langsung dah gue buka hape, download aplikasi pembaca Alquran, nyari ayat kursi, biar setan nya ilang." jawab Dea panjang lebar.

Semua orang tersenyum paksa mendengarnya. Depresot lama-lama. :)

"Assalamualaikum, Nawa." Azzam, laki-laki itu datang menghampiri Nawa, dengan salah satu temannya.

"Waalaikumussalam, kak Azzam?"

"Emm, saya hanya mau menyampaikan, bahwa bulan depan adalah ulang tahun yang ke dua puluh enam kampus kita. Dan saya ingin kamu ikut berpartisipasi dalam merayakannya. Kamu mau gak, kalo duet nyanyi dengan teman saya, Ridho? Saya dengar dari temanmu, katanya kamu pinter nyanyi." Azzam, lelaki dengan jas khas ketua BEM yang melekat di tubuhnya, menatap sekilas ke arah Dea, setelahnya memalingkan wajah kembali.

"Hah? Temen aku yang mana, yang bilang?"  tanyanya, ia memang pandai bernyanyi, suaranya untuk mengaji dan bershalawat saja merdu. Apa lagi untuk bernyanyi. Tak perlu di ragukan lagi. Namun ia sangat jarang mengeluarkan suara itu untuk bernyanyi. Hanya sesekali saja.

"Hehe, gue Na, yang bilang. Kemarin gue udah daftar, mau ikut tari aja. Tapi gak sengaja denger katanya lagi butuh satu orang cewek, buat temen duet nya kak Ridho. Yaudah, gue bilang aja kalo lo pinter nyanyi, soalnya gue pernah denger lo nyanyi dulu. Suara lo bagus, merdu. Gue aja suka dengernya." Dea mengacungkan tangannya, menjawab pertanyaan Nawa tadi. Hadeh, padahal yang di tanya sih Azzam.

"Iya, temen kamu yang ini." Azzam menunjuk Dea dengan jempol nya. Benar-benar sopan.

"Emm, gimana ya kak? Aku gak pinter-pinter amat buat nyanyi. Lagi pula aku malu, gak berani buat nyanyi di depan umum gitu," Nawa menolak secara halus.

"Apaan, gue denger suara lo bagus kok. Mending coba dulu deh," Dea membujuk sahabatnya itu. 

"Tapi aku malu, De ..." lirih Nawa.

"Ayolah, saya capek dari tadi nyari temen duet. Tapi gak dapet-dapet. Coba dulu aja, ya? Lagian juga masih satu bulan, masih ada waktu buat latihan," Ridho yang dari tadi diam menyimak, kini ikut buka suara membujuk Nawa.

"Em, aku pikir-pikir dulu ya, kak?"

"Oke deh,"

"Kalau begitu, kita duluan ya. Masih ada hal penting yang harus di urus. Saya harap jawaban yang kamu berikan secepatnya, ya Na." Azzam tersenyum.

"Kita pergi dulu. Assalamualaikum." Azzam dan Ridho pergi, meninggalkan kantin. Sepertinya laki-laki itu lagi sibuk-sibuknya menyiapi acara ulangtahun kampus.

***

Nawa memasuki mansion besar itu, setelah mengucapkan salam. Baru tiga langkah kakinya menapaki anak tangga, suara berat seorang laki-laki dari arah dapur menghentikan langkahnya.

"Malam ini, akan ada kumpul keluarga besar. Dan acaranya di rumah saya. Saya harap, kita bisa bekerja sama, untuk berpura-pura layak nya suami-istri yang harmonis. Dan berdandan lah, pakai baju yang bagus, jangan bikin malu saya," ucap Arsha tegas dan dingin. Kaki pria itu sudah pulih sejak dua minggu yang lalu.

Nawa turun, ia hendak menyalami tangan suaminya, namun uluran tangannya hanya di acuhkan oleh Arsha, lelaki itu berlalu ke ruang kerjanya.

"Baiklah ..." lirihnya. Setelahnya ia menurunkan kembali, tangannya yang menggantung di udara. Menapaki kembali kaki di undakan anak tangga, hingga sampai di kamarnya. Buru-buru ia bersih-bersih, lalu turun lagi untuk membantu bibi di bawah, ia tak shalat Zuhur, karena sudah melakukannya di musholla kampus, tadi. Memasak banyak makanan, untuk nanti malam.

***

Jangan lupa aku nya di Follow dulu Prend. Oh ya, bantu rekomendasiin nih cerita ke temen, besti, tetangga, atau musuh kalian ya. Suruh mampir sini biar rame. 😺

ARSHAWA [END]Where stories live. Discover now