Bagian 22 || Istri?

36.3K 2.7K 56
                                    

"Nawa!"

Azzam meraih tubuh Nawa, sebelum gadis itu, terjatuh pada gundukan tanah di depannya.

Perempuan itu tak sadarkan diri, dengan hidung yang mengeluarkan darah.

'Astagfirullah. Maaf, ya Allah.' terpaksa, ia membopong tubuh gadis itu ke mobilnya. Hendak ia larikan ke rumah sakit.

Bunga mawar putih yang ia pegang tadi, ia jatuhkan, di samping gadis itu tumbang.

Ia hujan-hujanan ke mari, hendak pergi ke makam kembarannya. Kembarannya itu sangat menyukai mawar putih. Selain itu, ia juga menyukai hujan. Dan hari ini, tepat hari ulang tahun mereka berdua. Itulah alasan, ia hujan-hujanan ke mari.
Tapi, belum sempat ia menyapa kembarannya, ia melihat perempuan yang sangat ia kenali, dalam keadaan tidak baik-baik saja. Lebih baik, membantu gadis dalam dekapannya ini terlebih dahulu.

"Astaghfirullah, kamu kenapa?" ia mengemudi dengan kecepatan rata-rata, sesekali melirik gadis yang memejamkan mata di sampingnya.

'Ia memiliki masalah?'

'Kenapa wajahnya, bisa terluka seperti itu?'

'Sebenarnya, apa yang terjadi, pada Nawa?'

Pertanyaan yang ada di benaknya, ia pendam. Ia tahu, ia tak berhak ikut campur dalam urusan gadis itu. Memangnya, siapa dirinya? Lebih baik, ia cepat-cepat menuju ke rumah sakit.

Lima belas menit, akhirnya ia tiba di tempat tujuan.

Buru-buru ia turun, memangil dokter dan suster, untuk meminta bantuan membopong tubuh Nawa. Ia tak mungkin, menyentuh kembali, sosok yang tidak halal baginya.

Seorang dokter wanita berhijab pasmina, dan para suster yang mendorong brankar, membantu membawa gadis itu ke ruang ICU.

Sedangkan Azzam, menunggu di luar dengan perasaan yang gelisah.

Keluarga gadis itu. Ya, dia harus mengabarinya. Dengan terpaksa, ia mengambil handphone milik gadis itu, dari tas miliknya. Untungnya, handphonenya tak memiliki password.

Ia mendial nomor yang bertuliskan nama, bapak, disana.

Namun, tiga kali ia mencoba menelpon, tak juga tersambung. Ia mencoba kembali menelpon, dengan nama yang berbeda.

Om Arsha. Ia fikir, mungkin itu, paman gadis tersebut.

Tersambung, namun tak di angkat. Ia terus menelpon, hingga orang di seberang sana, mengangkat teleponnya.

["Saya sibuk, jangan ganggu saya."] belum sempat Azzam berbicara, telepon sudah lebih dulu di matikan. Tapi, ia merasa familiar dengan suara yang ia dengar. Atau, hanya perasaanya saja?

Ia mencoba menelepon kembali, satu kali, masih tak di angkat. Hingga telepon yang kedua kalinya, baru lah di angkat.

"Assalamualaikum, maaf. Saya temannya Nawa, dan mau mengabarkan, bahwa sekarang, Nawa masuk rumah sakit, dan sekarang, ia berada di rumah sakit xxx,"

["Saya kesana, sekarang."] tanpa membalas, dan mengucapkan salam. Arsha mematikan telepon sepihak.

Arsha membiarkan begitu saja, berkas-berkas di depannya. Ia keluar dari ruangan kebanggaan miliknya dengan terburu-buru.

"Lisa, kamu urus berkas lamaran yang ada di meja saya. Saya ada perlu, dan jangan hubungi saya. Kamu dan Bima saja, pergi untuk meeting. Saya tidak bisa datang. Jika mereka masih keukeh, sangat ingin saya ikut andil, batalkan saja meeting tersebut." Arsha berlalu begitu saja, tanpa niat untuk mendengarkan bantahan dari sekretarisnya.

ARSHAWA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang