Bagian 46 || Kedatangan Amira?

38.3K 2.5K 40
                                    

“Ini mau kemana?”

“Jalan aja terus, nanti juga tahu.” balas Nawa, dengan tersenyum tipis. Sedangkan Arsha hanya mengangguk, dengan rasa penasaran yang ada dibenaknya.

Di waktu sore yang lenggang, Nawa mengajaknya pergi ke suatu tempat. Yang dimana ia sendiri tidak di beri tahu, akan tempat itu. Sudah hampir tiga puluh menit, namun belum jua sampai.

“Depan belok kanan, terus berhenti di depan toko bunga,” Arsha menuruti. Setelah tiba, ia mengernyitkan dahinya, menatap sekeliling.

“Kalo mau beli bunga, kenapa jauh-jauh kesini sih sayang?” ucap Arsha, ketika telah turun dari mobil. Ia mengikuti langkah Nawa, yang memasuki toko bunga itu.

"Ekhem, gak papa kok. Habis ini, kita kedepan ya,” ck, padahal akhir-akhir ini, Arsha telah terbiasa memangil nya dengan embel-embel sayang. Kenapa masih sama saja, rasa deg-degan nya, mendengar kata itu terucap langsung dari bibir suaminya?

“Kedepan? Kedepan mana?” gumam Arsha. Ia berbalik, kebetulan pintu toko bunga ini transparan. “Kuburan?” ucapnya lagi, ketika melihat tempat di depan toko bunga ini.

“Kita mau ke kuburan?” tanya Arsha mendekat pada Nawa, kala ia tersadar, berdiri seorang diri disana.

“Hu'um,”

“Kuburan siapa?”

“Liat nanti, ya?” Arsha hanya mengangguk saja. Haish, dia penasaran, mau kemakam siapa istirnya ini.

Selesai membeli bunga dan air mineral, mereka berdua langsung berjalan beriringan ke tempat pemakaman umum itu.

Nawa berhenti di dua makam yang saling berdampingan. Membuat Arsha mengernyit membaca nama di papan nisan tersebut.

Dua nisan dengan nama yang bertuliskan, Azilla Salsabila, binti Zahrun al-Malik, yang berada di sebelah kiri, dan Aqil Fathan Abdullah, bin Suhendro Abdullah, yang berada di sebelah kanan.

“Assalamualaikum, ayah, bunda.” salam Nawa, dengan menjongkok di samping kedua gundukan tanah tersebut. Senyumnya tersungging tipis.

Arsha sedikit melebarkan kelopak matanya, mendengar itu. Apa ia tidak salah dengar? Ayah, bunda? Bukannya, orang tua Nawa masih hidup?

Arsha ikut menjongkok, ia menatap pada istrinya, seolah meminta penjelasan. Nawa yang mengerti, mulai menceritakannya.

“Ini, orang tua kandung aku,”

Arsha masih menyimak, walaupun sedikit terkejut dengan fakta itu.

“Waktu aku umur sepuluh tahun, aku kehilangan mereka. Waktu itu malam hari, aku ngerengek sama bunda, buat pergi jalan-jalan. Sekalian sama ayah juga, soalnya waktu itu ayah baru pulang dari Jawa Barat, ngisi ceramah disana. Di jalan, mobil kita di tabrak sama truk yang entah kenapa, kayak hilang kendali. Kecelakaan beruntun malam itu terjadi, yang bikin ayah sama bunda pergi. Cuman aku yang selamat waktu itu.” ucap Nawa dengan getir, kala mengingat hal menyakitkan itu kembali. Arsha yang mendengar itu menyendu. Ia tak tahu, akan kebenaran itu. Segera di rengkuhnya dari samping, tubuh istrinya. Elusan pelan ia berikan, bertuju untuk menenangkan.

“Aku gak punya siapa-siapa lagi. Sampe aku di adopsi sama bapak. Bapak dulu sehabis nganterin beras dari desa ke kota, gak sengaja liat aku yang lagi mulung, karena gak tahu lagi mau makan pake apa.” Nawa terdiam sesaat, mengambil nafas. Ia mengelap air matanya.

syuutt, udah. Kalo gak kuat gak usah di lanjutin.” ucap Arsha dengan mengecup puncak kepala Nawa sekilas. Ia mengeratkan pelukannya, speechless dengan cerita gadis tersebut. Teringat kembali kelakuan bejatnya dulu, yang sudah pasti menambah luka baru lagi untuk gadis itu.

ARSHAWA [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora