Bagian 43 || Dia Pergi

43.8K 2.5K 146
                                    

Ruangan dengan bau yang khas obat-obatan itu, terdapat seorang gadis yang mulai membuka matanya.

Ia menatap langit-langit kamar, memikirkan apa yang sudah terlewati.

“Om, Arsha ...” ucapnya amat pelan, dengan setetes air di sudut mata.

Ia sedikit meringis saat hendak duduk, kala merasakan sakit di perutnya.

“Nawa, udah siuman ternyata.” nenek Qylae berjalan mendekat, ketika telah menutup kembali pintu. Senyumnya merekah.

“Nenek? Om Arsha dimana? Dia baik-baik aja kan? Dia gak naik pesawat itu kan?”

Nenek Qylae terdiam, ia mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan. “Kamu habis operasi, jangan banyak gerak-gerak dulu ya. Takut jahitannya sobek.” ucap nenek Qylae, dengan mengusap puncak kepala Nawa, ketika telah menduduki diri di pinggir brankar.

“Operasi?” kening gadis itu sedikit mengerut.

Nenek Qylae mengangguk, “Iya. Transplantasi hati.”

Nawa terdiam. Dari mana nenek Qylae tahu dengan penyakitnya? Lalu, siapa yang mendonorkan hati untuknya?

“N-nenek udah tahu?” tanya Nawa pelan.

“Semuanya udah tahu. Kamu kenapa diam aja? Kenapa nutupin hal ini, hm?” tanya nenek Qylae lembut.

Nawa hanya diam. Dengan gelengan sebagai jawaban.

“Nenek dari mana? Kok pakai pakaian hitam semua?”

“Enggak kok, tadi cuma ngelayat bentar,”

Nawa merasa ada yang aneh, entah apa itu. “Yang donorin hati buat aku, siapa Nek?”

“Nanti ya, kalo udah keluar dari rumah sakit baru kita kerumah orang itu.” ucap nenek Qylae dengan senyuman tipisnya.

Nawa kini berada di Jakarta. Selepas operasi waktu itu, dirinya juga Azzam langsung di boyong kemari.

Brukk

Nenek Qylae dan Nawa berpandangan, mendengar suara seperti tubuh seseorang yang ambruk dengan bersender di pintu ruangannya.

“Biar nenek cek.”

Nawa hanya mengangguk. Dengan fikirian yang kembali pada Arsha. Kini ia tahu, bahwa pergi bukanlah hal yang tepat. Bersama laki-laki itu memang terasa menyakitkan, namun pergi dan berjauhan darinya, jauh lebih terasa menyakitkan. Dan itu, bukanlah hal yang tepat.

Rasa takutnya mendominasi. Ia takut laki-laki itu akan pergi. Ia takut di tinggali kembali, ia takut untuk kehilangan selama-lamanya untuk yang kesekian kalinya lagi. Ia rindu. Ia rindu dengan semua yang ada pada diri laki-laki itu.

Tuhan, tolong jaga dia. Jaga dimana pun suaminya berada. Tolong, jangan ambil seseorang lagi di dalam hidupnya. Ia belum siap untuk merasakan kehilangan kembali.

Merasa penasaran, ia turun perlahan dari brankar itu. Berjalan pelan, menuju pintu yang terbuka.

Isak tangis yang di dengarnya, semakin ia hendak mendekat kearah kursi tunggu di depan ruang rawatnya, semakin jelas perbincangan orang disana.

“Arsha, dia pergi mah. Dia pergi ... hiks! Aku emang marah sama dia, tapi bukan berarti aku ikhlas gitu aja dia pergi, dia anak aku. Aku udah jauh sama dia dari kecil, sampai sekarang aku belum pernah ngerasa deket lagi sama dia. Tapi sekarang, dia udah terlanjur jauh. Jauh banget, bahkan lebih jauh dari jarak yang dulu. Sangking jauhnya, aku udah gak bisa nemuin dia lagi ...”

Nawa mematung mendengar itu. Matanya sudah berkaca-kaca, siap untuk menumpahkan airnya. Jantungnya seakan di tikam belati mendengar itu.

Berjalan menghampiri Eirin dan nenek Qylae, dengan kaki bagai jelly. Lemas. Dirinya lemas.

ARSHAWA [END]Where stories live. Discover now