Bagian 24 || Jealous?

34.8K 2.8K 75
                                    

Di bawah pohon ceri, terlihat seorang gadis, dengan hijab bergo yang di kenakannya tampak sedikit melayang-layang, tertiup angin.

Ia duduk, pada bangku panjang yang terbuat dari kayu disana, sembari melamun.

Ia memikirkan, bagaimana perasaan suaminya, pada dirinya. Sikap laki-laki itu, membingungkan ia.

Setelah shalat subuh berdua waktu itu, laki-laki itu terlihat, lebih sering shalat.
Sikapnya pun, terlihat seperti bunglon bagi Nawa. Walaupun terkesan judes, ia sedikit perhatian, setelah dari rumah sakit waktu itu. Garis bawahi! Hanya sedikit!

Contohnya, mengingatkannya untuk makan dan minum obat. Hanya itu. Bukankah, itu sebuah bentuk perhatian? Ya, walaupun, terdapat kata-kata nyelekit di setiap perkataannya. Arsha tetaplah Arsha. Dengan beribu ucapan pedas miliknya. Yang menusuk relung hati, bagi yang mendengarkannya.

"Hahaha, udah!"

"Hahaha ..."

"Ish, jangan lagi!"

"Awh ..."

Gadis itu tersentak dari lamunannya, ketika mendengar tawa dari dua orang, di dapur. Pohon yang ia jadikan tempat berteduh dari sinar matahari sore itu, memang dekat dengan dapur. Hanya beberapa meter jaraknya. Jadi, ia dapat mendengar samar-samar, apa yang terjadi di sana.

Merasa familiar dengan suara tersebut, ia memilih masuk, untuk melihat.

Jantungnya terasa mencelos, melihat apa yang ada di depan matanya.
Terlihat, suaminya dengan jarak yang sangat tipis, dengan seorang perempuan didepannya. Arsha terlihat tengah meniup mata perempuan didepannya yang sedang kelilipan.

"Ekhem." ia berdehem, lalu melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Terus berada disana, dan menyaksikan apa yang ia lihat, hanya akan memperparah luka di hatinya.

Tawa laki-laki itu, tak pernah ia dapatkan.

Dan ia, hanya bisa melihat tawa itu, dalam rasa yang bercampur, dengan luka yang begitu terasa menyakitkan.

Sampai kapanpun, mungkin ia tak bisa menerbitkan tawa itu dengan begitu lepasnya.

Dua orang berbeda gender, dengan muka yang sudah di penuhi tepung itu menoleh. Amira sudah merasa enakkan, pada matanya. Ia meringis, sedikit malu Nawa.

Sebelum benar-benar meninggalkan dapur, yang terasa menipis oksigennya, Nawa sempat memberikan senyum manisnya pada dua orang itu. Ia menyembunyikan apa yang ia rasakan, dengan sebuah senyuman.

Baik rasa sakit, sesak, cemburu, dan kecewa, semua ia pendam sendiri. Melihat senyum Nawa, Amira balas tersenyum kikuk. Ia masih merasa malu.

Resti, salah satu maid disana, yang masih berusia kisaran belasan itu terdiam dan mematung melihat Nawa. Ia berdiri di luar, depan pintu. Dengan sapu lidi di tangannya.

'Kasihan nyonya Nawa. Ia pasti memendam rasa sakit dan cemburunya.' setelah Nawa hilang dari pandangan, barulah Resti masuk dengan kikuk kedalam. Ia meletakkan sapu lidi yang ia ambil tadi, di tempatnya. Lalu pergi lagi dari sana. Meninggalkan Arsha dan Amira berdua, melanjutkan membuat kue mereka.

'Aku, merasa kecewa sama diri aku sendiri. Kenapa wanita lain dengan mudahnya mendapat tawa itu, sedangkan aku? Sangat, sangat, dan sangat sulit untuk mendapatkannya.' Nawa membuka pintu kamar, masuk ke kamar mandi, dan menghidupkan keran air. Ia, hanya menumpahkan sedikit rasa yang menyesakkan di hatinya disana.

Setelah puas menumpahkan lara nya, ia berwudhu. Mengambil Al-Qur'an dan membacanya, sebagai obat penenang hatinya. Menunggu adzan maghrib tiba, dengan melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an.

ARSHAWA [END]Where stories live. Discover now