Bagian 51

741 129 5
                                    

BAGIAN 51 Hard to Say It

Kedatangan Chen Kuo membawa akhir yang sesuai dengan perjanjian awal. Laki-laki itu sangat bijak dan netral, mungkin karena ia sudah berada di usia lebih dari 30 tahunan dengan pengalaman lebih banyak sehingga mampu meredakan suasana panas yang sempat terjadi di antara dua kelompok.

Pada akhirnya, Yan Er menjadi milik Wu Yifan dan Han Rui harus pulang dengan rasa malu akibat kecerobohannya sendiri yang telah memprovokasi Wu Yifan. Meski Han Rui merasa keberatan untuk melepas Yan Er, tetapi ia juga memegang harga diri tinggi. Tidak mungkin baginya untuk menelan apa yang sudah dimuntahkan.

Setelah itu mereka berencana untuk kembali.

Xiao Zhan menarik Wu Yifan memasuki mobil, tetapi tidak langsung menyalakan mesin. Warna wajahnya agak pucat karena kejadian tiba-tiba itu. Melihat pisau yang dipegang Han Rui dan hendak diarahkan padanya, mau tak mau memaksa ingatan buruk ketika ia terjebak di gang gelap di distrik lampu merah. Namun, Xiao Zhan berusaha menekan perasaan buruk di hati, tidak terlalu menunjukkan sesuatu yang aneh.

Wu Yifan melihat ekspresi kosong di wajah Xiao Zhan, merasa tertekan dan bersalah telah menyeretnya ke dalam masalah.

“Maaf, Zhan,” kepalanya menunduk ketika mengatakan dua kata itu. mata yang awalnya bersinar terang berubah muram.

Di sisinya, Xiao Zhan mendengar suara rendah Wu Yifan dipenuhi rasa bersalah, perlahan menarik kembali pikirannya pada sosok yang terluka. Menatap pada wajah menekuk. Dengan linglung bertanya, “Maaf? Untuk apa?”

“Aku melibatkanmu pada situasi berbahaya. Hampir saja Han Rui melukaimu.”

Mendengar itu, Xiao Zhan mengingat satu hal penting. Melirik ke arah tangan Wu Yifan yang masih diselimuti darah. Sinar mata melembut lalu beralih menatap wajah laki-laki di samping. “Tidak. Seharusnya aku berterima kasih padamu.”

Wu Yifan agak terkejut, mengangkat wajah untuk melihat ekspresi Xiao Zhan dan mendapati mata lembut yang tidak pernah dilihat sebelumnya. Segera senyum tipis muncul di sudut mata.

“Bagaimana keadaanmu? Baik-baik saja, kan?” Wu Yifan bertanya dengan nada khawatir setelah sekian detik terdiam.

Mata Xiao Zhan membelalak. Ada keanehan di hati. Jelas-jelas bukan dia yang terluka, tetapi orang yang terluka itu justru bertanya keadaannya. Wu Yifan jelas mengabaikan rasa sakit di tangannya, ia tidak mengeluh atau merintih layaknya seseorang yang terluka. Apa luka itu tidak menyakitkan sama sekali? Mengapa ia begitu santai?

“Ada apa, Zhan?” mencondongkan wajah ke depan untuk semakin dekat dengan Xiao Zhan yang kembali melamun.

“Mm ... tidak. Aku baik-baik saja, tapi tanganmu ... terluka.”

“Ha, tenang saja, ini tidak sakit.” Wu Yifan menyembunyikan tangan yang terluka ke belakang ketika Xiao Zhan mulai memperhatikan lagi. Dia tidak ingin terlihat lemah, tidak ingin juga membuat orang lain merasa khawatir.


Xiao Zhan mengernyitkan kening. Sorot mata penuh ketidakpercayaan. Sebuah luka, tidak mungkin tidak terasa sakit.

“Apa kamu punya kotak obat?”
Wu Yifan menggelengkan kepala tanpa menjawab. Ia tidak terbiasa membawa barang-barang seperti itu di dalam mobil, baginya itu sangat merepotkan.

Xiao Zhan memberikan ekspresi tidak menyangka. Kemudian merogoh saku dan mengeluarkan sebuah sapu tangan. Mengulurkan tangan dengan telapak menghadap ke atas. “Kemarikan tanganmu!” perintahnya dengan nada pelan.

Namun, Wu Yifan menggelengkan kepala lagi dan tidak meu menyerahkan tangan kepada Xiao Zhan. Berpikir jika dia akan mengotori sapu tangan milik pihak lain. Wu yifan tidak menginginkan hal seperti itu terjadi.

Melihat tingkah kekanakan di depannya, Xiao Zhan menghela napas keras, memutar bola mata. “Jangan menolakku. Jika tanganmu tidak diurus, akan sulit untuk mengemudi. Dan jika kamu mengalami kesulitan aku akan turun dan pindah ke mobil Amber.”

Mendengar ancaman itu, Wu Yifan segera menggelengkan kepala, menyodorkan tangan, dan membiarkan pihak lain membalut sementara lukanya. Bagaimanapun, tidak mungkin baginya membiarkan Amber bersama Xiao Zhan, apalagi setelah tahu bahwa wanita gila itu sedikit tertarik pada Xiao Zhan.

Luka hanya diikat simpul untuk mencegah pendarahan lagi. Xiao Zhan mempelajarinya ketika ia baru keluar dari rumah keluarga Xiao, awal-awal menjalani kehidupan sendiri sering kali ia melukai diri tanpa senagaja sehingga mau tak  mau memaksanya untuk mempelajari pengobatan sementara.

Ekspresi Xiao Zhan sangat serius, alisnya sammpai menekuk, dan bibir mengerut ketika mengikat luka Wu Yifan dengan sapu tangannya. Pemandangan itu terasa luar biasa di hati Wu Yifan. Dia merasa hal seperti ini saja sudah cukup untuk membuatnya benar-benar jatuh cinta pada laki-laki itu. Caranya menatap Xiao Zhan memiliki perubahan emosi, ada obsesi dan keinginan memiliki, tetapi segera diubah setelah menyadari isi pikirannya yang kacau.

“Kamu mengkhawatirkanku, kan? Kamu peduli padaku?” ia bertanya tiba-tiba. Dan pertanyaan itu agak aneh. Mengapa seseorang harus mempertanyakan hal-hal seperti itu?

Pergerakan tangan Xiao Zhan membeku selama beberapa detik. Ia juga tidak mengalihkan pandangan ketika  menjawab dengan santai. “Ya. Bukankah teman harus saling peduli?”

Wu Yifan mendengar kata teman, wajahnya agak gelap, diam-diam mengertakkan gigi, tetapi menahan gejolak aneh di dalam hati. Untuk saat ini status teman bukanlah masalah besar, akan ada saatnya kata itu berubah. Tiba-tiba bibirnya menyunggingkan senyum manis dan menjawab dengan nada ceria, “Tentu saja, teman harus seperti itu.”

Setelah selesai mengurus luka di tangan Wu Yifan, Xiao Zhan menghela napas lega. Melihat ke atas untuk menemukan tatapan mata laki-laki di sampingnya yang terfokus padanya.

“Setelah kembali, mampir dulu ke tempatku, aku akan mengobatinya lagi dengan benar.” Xiao Zhan mengatakan itu karena ia merasa berterima kasih atas bantuan Wu Yifan tadi. Bagaimanapun, jika laki-laki ini tidak menghalagi Han Rui mungkin saat ini Xiao Zhan yang terluka.

Mata Wu Yifan berniar senang, senyumnya menjadi lebih hidup. Segera menjawab, “Oke.” Takut jika Xiao Zhan akan berubah pikiran.

Suara klakson muncul dari belakang diiringi teriakan, “Hei, kalian berdua, apa kalian tidak akan kembali. Tidakkah kalian melihat jika mobil lain sudah pergi satu per satu!”

Itu adalah suara Wen Yue, tampaknya ia menunggu mobil di depannya melaju lebih dulu.

Wu Yifan disadarkan oleh suara itu dan segera melajukan mobil. ia tidak mampir dulu ke tempat perkumpulan mereka melainkan menuju ke apartemen Xiao Zhan, lagi pula ini sudah sangat larut. Akan memakan waktu satu jam lebih untuk tiba di daerah perkotaan utama.

Setibanya di tampat tujuan, Xiao Zhan membawa Wu Yifan memasuki apartemennya. Menyalakan semua lampu dan menyuruh laki-laki itu duduk di sofa sementara dia mengambil kotak obat di kamar.

Wu Yifan duduk dengan patuh, memandang sekeliling ruangan dan mendapati bahwa tempat itu sangat kosong. Tidak ada peralatan tambahan seperti aksesoris, rata-rata barang yang ada merupakan barang-barang yang digunakan sehari-hari. Bahkan sebuah bingkai foto pun tidak ada. Wu Yifan tidak terlalu banyak berpikir, tetapi ia menyimpan pertanyaan di hati.

Dalam hitungan menit Xiao Zhan muncul dengan sebuah kotak putih di tangan, duduk di sofa samping Wu Yifan.  Setelah menyuruh laki-laki itu membersihkan noda darah, ia mulai mengurus lukanya dengan benar dan terlampau fokus. Tidak menyadari jika sosok yang terluka terus-menerus memperhatikan wajah kecilnya.

Bulu mata panjang dan lebat bergetar ringan, hidung lancip, dan bibir kecil yang penuh berwarna merah. Rambut hitam menjuntai, menutupi kening ketika menunduk. Melihat pemandangan yang memprovokasi itu membuat tenggorokan Wu Yifan bergulir naik-turun beberapa kali, tatapan mata menjadi gelap dan dalam. Ia mengulurkan tangan yang menganggur untuk mengaitkan rambut depan Xiao Zhan ke telinga.

Pergerakan tiba-tiba membuat Xiao Zhan terkejut, membeku dalam beberapa detik sebelum mendongakkan kepala. Melihat sosok Wu Yifan yang juga memperhatikan padanya.

“Maaf, kupikir rambutmu mengganggu penglihatanmu.” Senyum konyol terbit di bibir Wu Yifan menutupi rasa malu. Segera setelah itu ia menggaruk tengkuk yang tidak gatal.

Xiao Zhan tidak memberi tanggapan apa pun. Kembali fokus pada pekerjaannya hingga tuntas.

“Selesai,” ucapnya puas. Merapikan kotak obat dan meletakkan di atas meja.

Wu Yifan memperhatikan balutan di tangannya, tersenyum lembut, dan berkata, “Terima kasih.”

Xiao Zhan mengangguk. “Lain kali jangan gegabah dan segera obati jika kamu terluka, oke?”

“Oke, oke. Aku akan datang padamu ketika terluka.”

“Tidak boleh. Kamu harus mengurus dirimu sendiri,” tolak Xiao Zhan dengan tegas. Bukan tanpa alasan, tetapi jika sampai diketahui oleh Wang Yibo akan ada hukuman baginya. Belum lagi pandangan orang-orang di sekitar mereka.

Berbeda dengan pemikiran Xiao Zhan, Wu yifan yang berubah kepribadian di hadapannya, tidak bisa menerima penolakan itu. Air muka berubah menyedihkan dengan tatapan seperti anak anjing. Terlihat lucu dan menyebalkan di saat yang bersamaa, tetapi menimbulkan rasa kasihan.

Menghela napas panjang, Xiao Zhan menggulir bola mata ke arah lain. “Tidak masalah jika tidak ada orang lain.”

Senyum Wu Yifan semakin mengembang hingga ke sudut mata. “Kalau begitu, boleh aku tinggal di sini sampai pagi?”

Xiao Zhan menoleh dengan malas, ada emosi rumit di matanya. Bagaimanapun, sosok Wu Yifan sangat tidak tahu diuntung. Setelah dibawa kembali untuk diobati, ia masih berani meminta hal lain. Xiao Zhan tidak habis pikir. Hanya satu jawaban yang diucapkan dengan tegas, “Ti-dak!”

Mendengar penolakan itu, awalnya Wu Yifan ingin merajuk hingga mendapat izin, tetapi ada hal-hal lain yang harus diurus. Dia masih mengingat tentang Han Rui. Laki-laki itu harus diberi beberapa kesulitan setelah nyaris melukai Xiao Zhan.

Wu Yifan tidak menolak, tetapi menampilkan ekspresi terluka. “Aku benar-benar tidak boleh tinggal di sini selama semalam. Baiklah.”

Pada akhirnya, dia diantar sampai ke parkiran oleh Xiao Zhan. Berdiri mematung di dekat mobil alih-alih segera masuk dan pergi. Memperhatikan sosok yang berdiri tidak jauh darinya. Senyum simpul muncul di bibirnya. Wu Yifan di dekat Xiao Zhan memiliki frekuensi senyum tinggi.

Melihat senyum itu, hati Xiao Zhan merasa was-was. Perilaku Wu Yifan sering di luar nalar, tidak mudah untuk menebak apa yang ada dalam pikiran orang itu. “Ada apa?” Xiao Zhan bertanya dengan nada curiga.

Wu Yifan hanya terkekeh ketika menyadari kewaspadaan Xiao zhan. Dengan nada lembut ia menjawab, “Bukan apa-apa.”

Memasuki mobil dan bersiap untuk pergi, sebelum benar-benar meluncurkan mobil ke jalanan, ia menurunkan kaca dan berkata, “Selamat Natal.”



.....


Xiao Zhan memasuki apartemennya dalam keadaan linglung. Untuk beberapa saat ia merasa seperti bumi telah berputar ke arah sebaliknya, jarum jam tidak lagi bergerak dari angka satu ke angka dua belas.

Setelah sekian lama, tepatnya sejak kondisi keluarganya memburuk dari waktu ke waktu, tidak ada lagi ucapan selamat natal yang akan diterima. Secara bertahap mengubah persepsinya tentang hari natal, ia bahkan tidak lagi mengingat hari itu, tidak lagi merayakannya, dan tidak memikirkan kesenangan setiap kali natal tiba.

Namun, ketika Wu Yifan mengatakan padanya, perlahan ingatan tentang perayaan natal yang biasa dilakukan oleh keluarga kecilnya muncul satu per satu dalam benak. Xiao Zhan tidak yakin tentang perasaannya sendiri, entah sebuah kesenangan ketika seseorang berhasil mengingatkan atau sebuah kesedihan karena telah memutar ulang memori itu.

Memperhatiak apartemen kecil yang kosong. Lampu menyala dengan terang, sayangnya tidak ada pohon natal memancarkan cahaya hangat seperti di dalam film yang biasa ia tonton menjelang natal. Sekali lagi, tatapan mata ikut kosong, melamun sembari membayangkan masa kecil paling bahagia dalam hidup.

Tiba-tiba ada perasaan rindu muncul di hati yang sudah kosong selama bertahun-tahun. Mengingat masa-masa menyenangkan penuh tawa ceria. Di rumah utama keluarga Xiao, ayahnya akan mengenakan  kostum Santa Claus, menggondol sebuah kantung merah besar berisi hadiah natal. Sang ibu akan membuat aneka macam kue natal, Xiao Zhan sangat menyukai rasa tiramisu, akan ada lebih banyak rasa itu. lalu, kakak laki-lakinya, ia dengan senang hati menemani Xiao Zhan bermain hingga puas, menonton film natal, dan membuat manusia salju.

Memikirkan hal itu membuat dadanya bergemuruh, mata terasa panas, dan air menggenang di sudut. Xiao Zhan mengambil langkah besar memasuki kamar tidur, mengurung diri dalam ruangan gelap, dan menyibak tirai jendela.

Baru saja salju turun, butiran putih selembut kapas menyerbu bumi. Lautan bintang darat masih semewah malam-malam biasa, tetapi jauh lebih indah lagi. Pohon-pohon di sisi jalan dihiasi gemerlap lampu dengan tambahan tumpukan salju. Ornamen natal menghiasi bagian depan toko yang berjajar. Sebelum Wu Yifan mendengar kalimat terakhir Wu Yifan, Xiao Zhan mungkin tidak akan pernah memperhatikan hal luar biasa ini.

Mata merefleksikan kemewahan cahaya di balik jendela kaca semakin indah ketika berkaca-kaca. Bulu mata bergetar dan perlahan dibasahi air mata. Hidung terasa perih dengan pucuk memerah. Bersandar di sisi jendela, tangan ramping menyentuh kaca dingin, mengusap embun yang membuat buram penglihatan. Ada senyum kecil penuh kerinduan terpatri di sudut bibir.

Mungkin karena dia sudah berdamai dengan dirinya sendiri, melupakan semua kenangan buruk di masa lalu hingga perlakuan kakak laki-lakinya, ia juga menerima keberadaan kakak ipar, dan perlahan melangkah di jalan baru. Sehingga tidak ada lagi emosi negatif yang membentengi dirinya, ia mampu dengan lapang dada menerima semua ingatan di masa lalu dan mengenangnya dengan senyum tipis.

Tanpa sadar Xiao Zhan memikirkan sosok Wang yibo. Bagaimanapun, laki-laki itu yang membantunya melewati hari-hari paling buruk. Ia memberi kepercayaan diri dan keberanian untuk menghadapi orang-orang di masa lalunya. Xiao Zhan merasa bersyukur telah bertemu dengan sosok Wang Yibo.

Berjalan menjauhi jendela dan mengambil ponselnya. Ketika melihat angka jam di layar ponsel, ia tidak bisa tidak menghela napas kecewa. Pukul tiga dini hari, tidak sopan untuk menghubungi seseorang di jam segini. Wang Yibo pun pasti sudah terlelap.

Namun, jauh di dalam hatinya ia ingin mengucapkan sesuatu kepada sosok itu sebelum malam ini berlalu, walau sudah terlambat untuk merayakan malam natal, setidaknya bukan di siang. Xiao Zhan juga enggan untuk mengucapkannya tepat di malam tanggal 25 Desember.

Pada akhirnya, ia hanya mampu mengirim pesan singkat. Mencurahkan perasaan pada kata demi kata tanpa banyak berpikir. Karena yang ingin ditekankan dalam pesannya adalah perasaan bukan logika. Setelah menekan tombol kirim, ponsel diletakkan di dada dengan dua tangan memegang seperti tengah memeluk. Detak jantung berpacu dan perasaan lega muncul di wajah.

Xiao Zhan menoleh ke samping, melihat ke arah jendela, tetapi tatapan mata kosong. Beberapa detik kemudian dering disertai getaran mengguncang dadanya, menyeret kembali lamunan. Xiao Zhan membuka ponsel dengan tergesa-gesa, sesaat kemudian senyum lebar mengembang di bibir. Senyum bahagia yang sudah lama lenyap.

Mungkin ini adalah pengaruh jatuh cinta. Sangat mudah untuk tersenyum tulus dan keluar dari kepribadian muram.

[Selamat Natal juga, Zhan Zhan.]

Xiao Zhan membelalakkan mata ketika membaca pesan balasan dari Wang Yibo. Meskipun kalimat sederhana dan sekadar jawaban formalitas, tetapi panggilan itu. Hei, Wang Yibo memanggilnya apa? Zhan Zhan? Apa dia tidak sengaja terlelap ketika melihat ke luar jendela?

Hal pertama yang dilakukan Xiao Zhan setelah pulih dari rasa terkejut adalah menggigit bibir bawah, sangat keras hingga menimbulkan rasa sakit luar biasa. ia menjerit kesakitan, tetapi tersenyum di detik berikutnya karena dipenuhi bunga-bunga musim semi, tidak peduli jika kemungkinan besar akan meninggalkan luka di bibir.

Sayangnya, setelah memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi, otaknya tiba-tiba tumpul. Tidak tahu harus membalas seperti apa. apa yang harus dikatakan dan bagaimana memulai perbincangan. Situasi terlalu cepat berubah. Jika beberapa minggu yang lalu, saat ia belum menyadari perasaannya, pasti akan mudah memberi balasan.

Xiao Zhan berguling-guling di atas tempat tidur, meremas ponsel di satu tangan, dan tangan lain memukul bantal. Dia sedang dimabuk cinta, akal sehatnya mungkin tidak berfungsi.

Pada akhirnya, Wang Yibo yang kembali mengirim pesan.

[Dua hari setelah Natal, aku akan kembali.]

Xiao Zhan membeku setelah membacanya. Dua hari setelah natal sekitar tanggal 27 Desember, Wang Yibo akan pulang. Jika begitu, ia harus kembali besok untuk membersihkan apartemen.

[Baik. Jam berapa Yibo Ge akan kembali?]

[Siang.]

[Oke, aku akan menyiapkan makan siang untuk kita.]

Sangat bersemangat, lebih dari pendukung yang bersorak untuk tim kebanggaan mereka dalam pertandingan sepak bola, sampai-sampai terjatuh dari atas tempat tidur ketika berguling-guling penuh gembira. Lututnya sakit dan sedikit memar, siku tidak kalah nyeri. Xiao Zhan mencebikkan bibir, tetapi sesaat kemudian tersenyum sembari menaiki tempat tidur lagi.

Orang yang bahagia akan kesulitan tidur. Itu benar, Xiao Zhan yang lelah bahkan tidak bisa terlelap sampai pukul lima pagi. Matanya cerah dan senyuman senantiasa menghiasi wajah.

Di pagi hari, tepatnya pukul delapan, ia terpaksa bangun karena panggilan di ponsel. Meraih benda itu dan membukanya dengan wajah bantal. Mata berkedip-kedip bingung, bibir merengut, dan rambut berantakan. Duduk di tempat tidur, tangannya tanpa sadar menekan ikon terima tanpa memperhatikan lebih lanjut nama penerima. Meletakkan ponsel di sisi telinga.

“Halo.” Suara khas bangun tidur.

Ada tawa di sisi lain sambungan, tawa lembut seorang wanita, kemudian diikuti suara enak didengar.

“Zhan Zhan, ini panggilan video.”

Xiao Zhan tertegun dalam beberapa detik sebelum menjauhkan ponsel dan melihat dua sosok di layar, tertawa dan merasa geli. Melihat itu, Xiao Zhan agak panik memikirkan penampilannya yang baru bangun tidur.

“Em ... Lu Jie, aku akan membersihkan diri dulu,” ucapnya dengan suara kekanakan tanpa disadari.

Xiao Yuchen dan Xuan Lu kembali tertawa. Penampilan Xiao Zhan tampak seperti adik kecil yang perlu diperhatikan, tetapi berusaha terlihat dewasa. Pada akhirnya sepasang suami-istri itu membiarkan Xiao Zhan membersihkan wajah terlebih dulu. Setelah itu mereka membicarakan beberapa hal termasuk mengatakan kalimat yang seharusnya dikatakan di hari itu.

Xuan Lu juga meminta maaf karena tidak bisa datang menemuinya karena tidak bisa meninggalkan rumah sakit. Di musim dingin, lonjakan pasien sering terjadi. Kebanyakan dari mereka memiliki kondisi tubuh yang kesulitan beradaptasi.

Untungnya, Xiao Zhan tidak mengharapakan keberadaan mereka. Sejak awal dia sudah terbiasa menjalani hari tanpa perayaan, bahkan tanpa ucapan selamat dari orang lain. Di tahun-tahun itu, Xiao Zhan hanya sendiri, menutup diri dari banyak orang, dan merasa mati.

Panggilan video berakhir setelah hampir satu jam berlangsung. Xiao Zhan hanya memiliki waktu untuk membersihkan diri sebelum panggilan lain tersambung. Kali ini dari Zhao Lusi, gadis itu menanyakan keberadaannya dan hendak berkunjung dengan beragam jenis makanan yang dibuat sendiri bersama ibunya.

Kurang dari dua jam, bel apartemen berbunyi. Sosok Zhao Lusi berdiri di balik pintu dengan senyum lebar memegang tas kertas berukuran besar.

“Ini untukmu. Aku dan ibuku membuat banyak makanan. Kami berdua tidak sanggup menghabiskannya.”

“Terima kasih.” Xiao Zhan mengatakannya dengan tulus dan menawarkan Zhao Lusi segelas teh, tetapi gadis itu menolak masuk. Alasannya karena terburu-buru, ibunya menunggu sendirian di rumah.

Xiao Zhan tidak memaksakan kehendak. Ia mengantarkan Zhao Lusi ke bawah setelah menyimpan makanan di dalam. Memperhatikan sosok gadis itu, Xiao Zhan mendapati sebuah tas yang tidak asing. Ia pernah melihatnya, itu adalah barang yang dibeli Jeffrey ketika mereka pergi bersama ke mall.

Dengan kerutan halus di kening dan rasa penasaran, ia bertanya, “Tas ini ... dari Phi Jeff?”

Zhan Lusi melirik dengan kaku, senyum beku.

Xiao Zhan mendapatkan jawaban dari reaksinya, kembali bertanya, “Kalian bersama? Sudah berapa lama?”

Zhao Lusi tidak bersuara, tetapi wajahnya terlihat kesal. “Kata siapa kami bersama? Dia hanya merasa bersalah makanya memberi hadiah.”

Tidak mengetahui kebenaran dan tidak pandai membaca perubahan emosi orang lain, Xiao Zhan tidak ambil pusing. Toh, ada beberapa kata yang sulit diucapkan sekalipun pada orang terdekat. Lagi pula, dia juga memiliki beberapa rahasia.

Di tahun ini, semua berbeda. Bukan sekadar perasaan Xiao Zhan saja, tetapi memang begitu nyatanya. Dia merayakan hari yang sudah lama dilupakan, orang-orang yang sudah lama bertindak layaknya orang asing menghubunginya, ada juga orang-orang baru muncul dan mewarnai harinya.

Memikirkan perubahan ini, Xiao Zhan diam-diam bersuka ria di dalam hati, mengembuskan napas ringan.

The Cold Season ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang