CHAPTER 8

3.4K 372 6
                                    

CHAPTER 8

 

Dalam satu guncangan pada tubuhku, semua momen indah bersama Zayn tadi menghilang dalam sekejap mata. Ruangan ini sama sekali berbeda. Ada beberapa orang  disini, mereka sedang membereskan peralatan disini. Mengangkut pot, gelas, juga meja dan kursi agar keluar dari ruangan ini.

“HEY!” aku terlonjak saat dia kembali mengguncangku, “Zayn?” dan sekarang aku tahu bahwa yang mengguncangku tadi adalah Zayn. Wajahnya aneh. Dia menatapku intens dan dingin.

“kau mau pulang tidak?” tanyanya cuek. Kenapa dia jadi dingin seperti ini? bukankah tadi kami baru saja saling mengobrol hangat? Dan tadi dia menciumku. Itu sangat terasa nyata. Dia menyentuhku dan dia juga bilang bahwa dia mencintaiku. Tapi, kenapa dia sekarang—“apa aku baru saja tertidur?”

“kau sudah tidur selama dua jam.” Aku membulatkan mataku, “DUA JAM?!” tanyaku tak percaya dan mungkin aku berteriak bukan bertanya.

“ya. dua jam. Dan sekarang, kau mau pulang atau tidak?” tanyanya lagi, “Louis mana?” aku mengacuhkan pertanyaannya. Karena, jika Louis sudah pulang, terpaksa aku akan menggunakan jasa taksi.

“dia sudah pergi. Dia  ada urusan penting dan mendadak. Jadi, dia memintaku untuk mengantarmu pulang.”

“keterlaluan sekali anak itu meninggalkanku. Awas saja kalau aku bertemu dengannya. Akan kupatahkan hidungnya itu.” gerutuku sambil membereskan tasku.

“ayo, kita pulang.” Ujarku sambil berdiri. Zayn memimpin jalan kami. Dia memasukkan tangannya kedalam kedua saku celananya. Dan saat kami berada didepan pintu yang menuju lorong gelap dan panjang itu. dia berhenti serta menggaruk tengkuknya yang kuyakin tidak gatal sama sekali.

“ada apa? Ayo jalan!” Perintahku, “apa kau bawa senter?” tanyanya.

wha-what? Senter? Untuk apa aku bawa senter?” tanyaku balik, “aku tidak suka gelap.” Dia berkata cepat serta membuang wajahnya saat menjawab pertanyaanku.

“oh, astaga! Aku lupa bahwa kau takut gelap!” aku menepuk dahiku sendiri, “aku tidak takut, aku hanya tidak suka.” Bantahnya.

“sama saja.” Tukasku, “ayo, jalan!” ajakku sambil mengulurkan tanganku kepadanya.

Dia menatap tanganku yang terulur padanya ragu. Anak ini membuatku geram dan gemas setiap saat, “kita selalu melakukan ini, Zayn.” Ujarku.

“melakukan apa?” tanyanya, “ya, melakukan ini. kau yang memintaku untuk menggenggam tanganmu jika kita ada ditempat gelap.” Jelasku.

“benarkah?” dan sekarang dia seperti seorang anak kecil yang tidak percaya akan cerita penyihir jahat, “ya! ayolah, Zayn. Tanganku lelah jika harus seperti ini terus.” Keluhku dan menggerakkan tanganku yang terulur sedari tadi kearahnya.

Dia menyambut tanganku ragu. Hangat. Begitu hangat hingga tubuhku terasa menghangat juga akibatnya. Setidaknya, ini bisa mengobati kekecewaan atas ‘mimpi burukku’ tadi.

Sekarang aku yang memimpin jalan kami. Zayn berada tepat dibelakangku dengan masih menggenggam tanganku. Genggamannya makin mengerat ketika kami berjalan. Dalam gelap, aku terus tersenyum. Ya. Aku tersenyum, tersenyum karenanya.

Kami masih berjalan menuju pintu keluar. Dan ketika kami membuka pintu keluar dibelakang. Cahaya dari flash kamera. kenapa bisa seramai ini? kukira sudah cukup banyak kamera saat acara tadi. Ternyata belum cukup juga.

Aku menunduk dan terus berjalan melewati lautan kamera. lengan kami saling bersentuhan saat berjalan. Cukup sulit hingga beberapa penjaga gedung membantu kami lewat.

My Reason [COMPLETED // ZAYN's]Where stories live. Discover now