Lima Puluh Tiga

5.6K 831 299
                                    

Padang rumput sejauh mata memandang. Tidak ada satu pun pohon yang tumbuh di sana. Kepala anak perempuan itu berputar menyebabkan rambutnya bergoyang ditiup angin dari arah belakang. Senyumnya merekah saat menemukan sosok yang dicarinya.

Dia berseru, "Paman!" Tangannya melambai tinggi-tinggi seakan tidak mau keberadaannya dilewatkan. Betapa lucu anak itu.

Gallea menyunggingkan senyum kecil sebagai pengganti tawa yang nyaris dia semburkan. Anak itu berlari ke arahnya. Sungguh dia tidak memerlukan usaha apa pun untuk menghampiri si anak.

"Paman!" Anak itu tersenyum lebar memamerkan gigi-gigi kecilnya yang putih.

Gallea mengangkat badan anak itu dan memutarnya. Anak itu tertawa girang hingga matanya membentuk bulan sabit. Tawa itu menulari Gallea.

"Lagi," pinta si anak.

Gallea menggeleng sekali. Dia menurunkan anak itu. Namun si anak belum mau melepaskan diri dari Gallea. Dia memeluk kaki pamannya itu dengan erat.

"Aku memberimu pilihan, Inatra. Digendong atau tidak sama sekali." Gallea bertolak pinggang dan menumpukan bobot badannya ke salah satu kaki.

"Aku ingin diputar lagi. Tidak ada yang memutarku sebaikmu, Paman." Bibir Inatra mengerucut. Mata birunya yang nyaris berwarna putih berkaca-kaca.

Sayangnya, trik itu bukan satu dua kali Inatra gunakan. Gallea sudah sering dikerjai anak kecil ini yang tidak akan puas diangkat berputar dua kali. Akan ada permohonan ketiga, keempat, kelima, hingga Gallea jatuh terduduk saking letihnya. Dia tidak akan membawa pulang pinggang yang kram akibat menyenangkan keponakannya. Tidak akan LAGI.

"Tidak akan berhasil, Nak. Hanya satu kali setiap kita bertemu. Itulah aturannya." Gallea tersenyum miring. Dia merasa bangga karena bisa menolak rayuan Inatra sekaligus kasihan melihat keponakannya bersedih.

"Baiklah, aku mau digendong." Inatra merentangkan tangannya. Masih dengan wajah merajuk.

Gallea mengangkat Inatra dalam gendongannya. Dia mencolek ujung hidung Inatra yang mungil menggunakan satu tangan yang bebas.

"Katakan, kenapa kau sangat manja?"

Inatra melingkarkan lengannya ke sekitar bahu Gallea. "Aku merindukan Ibu dan Ayah," jawabnya dengan lesu.

"Kau tahu, ibumu juga merindukanmu. Hanya saja, kalian harus terpisah untuk sesaat. Dia berharap kau memahaminya." Gallea berdusta. Sepupunya itu tidak pernah mengatakan demikian. Bahkan dia sendiri ragu kata 'sesaat' akan berarti waktu yang sebentar. Perang tidak pernah menjanjikan akan usai dalam waktu singkat. Perang juga tidak pernah menjanjikan bisa kembali selamat.

"Kau bersedih, Paman?" Inatra merangkum wajah Gallea.

Gallea tersenyum. Dia berharap senyumannya tampak ceria, meskipun hatinya merasakan kebalikan. "Desa tempat kami tinggal sangat sibuk belakangan ini. Aku tidak sedih, hanya sedikit letih. Karena itu aku ingin menemuimu."

"Aku juga ingin menemui Paman." Inatra memainkan kepang rambut Gallea yang jatuh ke bahu. "Bisakah aku bertemu Ibu? Sebentar saja."

Memang itulah yang Gallea inginkan lewat pertemuan ini. Dia ingin mempertemukan Mir dengan Inatra. Dia ingin mengembalikan kebahagiaan dalam pelukan Mir, walau untuk sebentar saja.

"Kau tahu, ibumu belum bisa menemuimu lewat mimpi seperti Paman. Apa tidak masalah jika kau bertemu ibumu secara langsung?"

"Aku memang ingin bertemu ibuku secara langsung. Aku ingin memeluknya." Wajah Inatra bersemu.

Gallea telah sering bertemu Inatra melalui mimpi. Sedikit banyak dia memahami karakter anak ini. Inatra adalah anak yang malu-malu menunjukkan kasih sayangnya. Suatu kerja keras bagi Gallea yang telah berhasil membuka tabir tersebut dan membuat Inatra berani mengekspresikan perasaannya.

"Aku akan memikirkan cara supaya kalian bisa bertemu. Sebelum itu, aku harus bertanya pada ibumu."

"Aku harus meminta izin pada Ayah," potong Inatra.

Gallea tersentak. Bagaimana bisa Inatra sepolos ini ingin meminta izin pada Thanay, sementara anak ini tahu ayah dan ibunya akan berhadapan sebagai musuh di perang?

"Aku tidak mau membuat Ayah khawatir. Dia sudah memiliki banyak kekhawatiran, Paman," tambah Inatra seakan menjawab kebingungan Gallea.

Mengetahui manisnya pemikiran Inatra, Gallea tersentuh. Dia mencubit ringan pipi Inatra dengan sayang. "Kau bisa meminta izin padanya, hanya jika ibumu mau bertemu denganmu."

"Tentu saja, Paman." Inatra merebahkan wajahnya pada bahu Gallea. Dia berbisik malu-malu, "Terima kasih."

"Apa pun untukmu, gadis manis," sahut Gallea.

Inatra segera mengangkat wajahnya. Matanya membesar dipenuhi antusiasme. "Kalau begitu putar aku lagi, Paman."

Astaga. Gallea memutar mata ke atas. Anak ini senang sekali diangkat dan diputar di udara. Mereka hanya di dunia mimpi, tetapi Gallea memasukan banyak kekuatan ke dalam interaksi mereka agar Inatra bisa merasakan dunia ini sama nyatanya. Oleh karena itu, setiap gerak mereka akan berdampak ke tubuh asli mereka. Seperti yang telah Gallea alami, jika dia mengangkat Inatra maka badan aslinya akan merasakan dampaknya. Dan itu benar-benar konyol menderita sakit pinggang padahal baru bangun tidur di saat semua orang tahunya dia tidak melakukan pekerjaan berat apa pun sehari sebelumnya.

"Ayolah, Paman."

"Sekali saja."

"Jangan kecewakan aku. Tolong."

Duh, Gallea dalam masalah.

***

"Kenapa kau berjalan seperti itu?" Mir meletakan kertas yang tengah dia baca, lantas menghampiri Gallea yang masuk ke dalam kamarnya. Dia menangkap lengan Gallea dan membantunya duduk di ranjangnya.

Ranjang Mir terbuat dari kayu yang dirakit dengan paku dan tali dari tanaman rambat membentuk dipan. Bagian atasnya dilapisi jerami dan kulit beruang yang dikeringkan. Ranjang itu cukup untuk Mir. Begitu Gallea mendudukinya, ranjang itu lebih menyerupai kursi alih-alih ranjang. Badan Gallea yang tinggi telah membuat ranjangnya menciut.

"Aku berolahraga semalam." Gallea kalah oleh rengekan Inatra. Dia memberikan anak perempuan itu beberapa kali putaran di udara.

Mir tertawa kecil sambil menarik kursi tanpa sandaran ke dekat ranjang. "Aku baru tahu kau memiliki minat pada gerak fisik."

"Sejujurnya, tidak. Aku akan lebih senang menciptakan segel sihir." Gallea tersenyum masam.

"Jadi, apa kau mempunyai sesuatu untuk dibahas denganku?" Mir cukup efisien beberapa waktu belakangan. Dia sering melompat dari basa-basi saat berbicara dan sebisa mungkin berbicara secukupnya, tentu saja seperlunya. Sebagian besar waktunya digunakan untuk mempelajari taktik bersama para sesepuh desa dan mengasah kemampuan sihir.

"Ada sebuah permintaan datang padaku." Gallea memanjangkan kakinya hingga hampir menendang ujung kaki Mir. "Maaf."

"Bukan masalah." Mir menarik kakinya agar Gallea punya lebih banyak ruang memanjangkan kaki. "Katakan, permintaan apa itu?"

"Hanya permintaan kecil dari anak kecil."

"Anak kecil? Inatra?" Suara Mir diselimuti kecemasan.

"Kau benar. Putri tercinta Jendral perang Thanay memohon bertemu dengan Mirallea sang istri jendral."

"Wah, cara bicaramu berlebihan sekali." Mir bersidekap sambil geleng-geleng. "Kau pasti pemain sebelum bertemu dengan aku. Atau mungkin kau masih pemain sampai sekarang."

"Aku berusaha menjadi penyampai pesan yang menjalan tugas dengan baik. Nah, sekarang berikan jawabanmu."

"Tentu saja aku mau bertemu dengan Inatra. Tapi bagaimana aku bisa bertemu dengannya?"

"Biarkan itu menjadi urusanku, Sepupu."

###

14/02/2022

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 14, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SurealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang