Sepuluh

40K 4.9K 106
                                    

Asa mematung di kursinya. Keringat dingin merembesi telapak tangannya yang saling menggenggam di bawah meja. Cissara tidak menyadari perubahan pada dirinya. Dia sibuk dengan seorang pria yang duduk di sebelahnya. Sementara pria lain yang duduk di sebelah pria itu belum melepaskan pandangannya dari Asa.

"Mir, bagaimana kabarmu? Kami segera kemari begitu mendengar berita kesembuhanmu'', kata pria dengan tubuh besar berotot itu.

Asa melirik tangan Cissara yang melingkari lengan pria itu. Jujur, pria itu terlihat sangat gagah dengan otot yang tercetak pada lengannya yang tidak terlapisi baju zirah.

"Aku sudah lebih baik'', jawab Asa. Sesekali matanya melirik pria di sebelah pria yang bertanya itu. Tubuhnya lebih kurus namun wajahnya terkesan lebih hangat dibanding dengan pria di sisi Cissa.

"Donalen, apa tidak lebih baik kita pulang saja? Thanay pasti membutuhkan waktu berdua dengan Mir'', kata Cissara.

Siku Cissara menyenggol pria yang dipanggil Donalen itu. Matanya mengedip jenaka. Asa makin yakin pria yang dipanggil Donalen itu adalah suami Cissara. Sementara pria di sebelah Donalen adalah Thanay.

Asa kembali menundukan pandangannya saat tanpa sengaja dia kedapatan memperhatikan Thanay. Pria itu luar biasa tampan. Berbeda dengan Donalen yang gagah dan bertambah maskulin dengan bulu-bulu halus yang tumbuh di rahangnya dan kulit gelapnya. Wajah Thanay mulus, kulitnya putih, hidungnya panjang dan ramping, rambut lurusnya berwarna putih ke abu-abuan namun semua itu tetap memunculkan aura maskulin yang hangat.

"Baiklah, ayo kita pulang'', ajak Donalen yang sudah bisa membaca niatan Cissara.

Thanay tidak mengatakan apapun. Senyum tipis setia disunggingkan bibir merahnya. Asa menjilat bibirnya sendiri melihat betapa menggiurkannya bibir tipis kemerahan Thanay.

"Tidak perlu pergi. Kami punya tamu lain selain kalian'', kata Asa cepat.

Dirinya belum siap ditinggal berdua saja dengan Thanay. Cissara bilang, suami Mir ini sedang mendapat tugas menjaga sisi barat daya kerajaan yang sedang membangun sebuah puri dan baru akan kembali seminggu lagi. Namun bagaimana tidak terkejut, Thanay dan Donalen masuk di tengah perbincangan mereka.

"Tamu?'' Kedua alis Donalen terangkat. Dia melirik Thanay yang sama menunjukkan kebingungannya.

Asa tersenyum kecut. Dirinya pasti terlihat aneh bagi dua pria di hadapannya. Menjadi Mir yang dulu, bukanlah pilihannya. Banyak pertentangan yang ada di bathinnya. Dia di sini demi Inatra. Bukan menjadi Mir yang lampau demi mereka yang mengenalnya.

"Inatra sedang menjamu teman-temannya di belakang'', kata Cissara mewakili Asa menjelaskan.

"Inatra membawa teman-temannya?'' Baru kali ini Thanay mengeluarkan suaranya. Asa meremas baju bagian dadanya. Menahan gemuruh yang menyenangkannya di sana. Gemuruh yang datang karena indera pendengarannya menangkap suara lembur pria bersurai keabu-abuan itu.

Namun Asa tidak bisa memungkiri senyum Thanay yang terbit ke arahnya bak manisan yang ingin diterjangnya, dikulum hingga tak bersisa. Andai itu bukan dosa, menyetubuhi suami orang.

"Kau mengizinkan Inatra mengundang teman-temannya ke sini, sayang?'' Tanya Thanay.

Pipi Asa mendadak panas dan dua sudut bibirnya tertarik sendirinya. Dia hanya sanggup mengangguki pertanyaan Thanay. Panggilan sayang itu berpengaruh besar pada kerja jantungnya.

Donalen yang melihat semu di wajah Asa langsung merangkul bahu Thanay. "Dasen tidak salah memberi jamu ke istrimu? Dia menjadi sangat manis'', bisiknya di telinga Thanay.

Thanay yang juga menangkap keganjilan pada sosok istrinya itu hanya menepis tangan Donalen. "Aku ingin menemui Inatra. Makan saja dulu di sini, Don. Baru setelah itu pulang.''

Asa memandangi punggung lebar Thanay yang menghilang di balik dinding. Ada kerinduan menyesakinya. Tangannya seolah gatal ingin merengkuh tubuh itu.

"Ekhm!''

Donalen memasang senyum jahilnya bersama sang istri. Asa nyaris melupakan kedua tamu bangsawannya yang sedang duduk di dalam dapurnya.

"Aku masih punya kue apel. Apa kau mau --em Don?''

Asa lupa menanyakan Cissara bagaimana Mir dulu memanggil orang-orang yang dikenalnya.

"Jika tidak keberatan'', kata Don santai. Asa menyukai kepribadian Don yang santai. Serupa istrinya.

Asa cekatan menyajikan jamuan untuk pasangan yang sangat serasi ini. Cissara yang tinggi semampai sangat pas dengan Donalen yang bertubuh tinggi besar. Rahang besar Donalen juga mempertegas karakternya yang keras, serupa dengan mata tajam Cissa yang mampu mengintimidasi.

"Katamu kue apel'', kata Cissa. Kepalanya sudah bertengger manja di bahu berotot suaminya.

"Aku hanya mengantisipasi jika sajianku kurang'', bela Asa.

Dia memang sedikit berlebihan. Tidak hanya menyajikan kue apel, dia juga menyajikan roti, kue kering dan kacang-kacangan dalam toples kaca, serta potongan buah-buahan.

"Kau mengenal selera makanku dengan baik.'' Tawa Donalen meledak setelah mengucapkan terima kasih.

Cissara mencibir kelakuan suaminya yang memalukan saat berhadapan dengan makanan. "Karena nafsu makanmu, aku selalu khawatir kau lari ke pelukan wanita lain.''

"Tidak ada yang berani menyaingi ratu kami'', canda Donalen. Mengundang tawa Asa.

"Benarkah?'' Selidik Cissara yang memaknai candaan Donalen sebagai rayuan.

"Iya, kecuali Mir'', jawab Donalen di sela kunyahannya.

"Kau!'' Cissara mendaratkan pukulan di lengan Donalen yang malah membuat pria itu terbahak-bahak.

Asa menyukai interaksi suami istri di depannya ini. Tanpa sadar kedua tangannya sudah memangku kepalanya. Senyumnya mengembang menonton pasangan itu saling lempar guyonan.

Di depan pintu dapur, Thanay membatu menyaksikan keadaan di dalam sana. Ada keganjilan yang dirasa namun tertelan bulat-bulat di kerongkongannya. Panglima giyom itu memilih undur diri ke dalam kamar.

SurealWhere stories live. Discover now