Tujuh Belas

33.5K 4.5K 46
                                    

Perpustakaan balai pendidikan beraroma kertas-kertas tua. Lucunya hidung Asa tidak terganggu sama sekali. Dia terkekeh mengingat bagaimana aroma busuk yang keluar dari buku yang dibawa Dasen ke pondok. Barangkali tebakannya betul, aroma busuk itu membuat hidungnya kebal terhadap beragam aroma di sepanjang rak-rak perpustakaan.

Jemarinya membalik halaman pada buku tua yang berada di pangkuannya. Dia menikmatinya membaca di lantai lorong rak-rak raksasa. Tidak banyak yang berlalu lalang karena ini lorong yang memuat buku-buku sejarah. Asa meneliti tiap kata. Berharap akan menemukan sesuatu yang berkaitan dengan dunia batas atau kuil penjaga dunia.

"Siapa kau?"

Asa menghentikan kegiatannya saat seorang pria dalam jubah emas menatapnya nyalang. Pria itu berseru kepada kawanannya yang berpakaian serupa. Lebih dari sepuluh orang pria berjubah mengerubungi Asa dan menariknya keluar perpustakaan.

"Tunggu, kumohon dengarkan penjelasanku. Aku juga bagian dari balai pendidikan. Aku berhak berada di perpustakaan." Asa berusaha melepaskan diri dari cengkaraman dua orang yang menariknya.

Kawanan berjubah itu diam tidak menggubris omongan Asa. Mereka membawanya menyusuri lorong panjang dengan beragam lukisan abstrak. Mata Asa membesar melihat lukisan-lukisan pada sepanjang sisi kiri dan kanan lorong itu.

Sepotong bayangan melesat di depannya. Mata Asa memicing. Bukan, itu bukan bayangan. Itu punggung gadis kecil dalam jubah merahnya. Berlari di sepanjang lorong ini. Tangan kanannya terentang memainkan batang ilalang.

"Kemari," kata pria yang memegangi lengan kanannya. Asa menoleh pada pria itu lalu balik melihat ujung lorong yang kosong. Tidak ada gadis kecil itu. Dahi Asa berlipat kebingungan.

******

Thanay menyesap jamu yang dibawakan pelayan. Meringis saat lidahnya merasakan betapa getir, asam, dan pahit minuman yang diramukan untuknya.

"Minum selagi kau masih memiliki umur." Donalen tertawa melihat sahabatnya meminum ramuan paling dibenci oleh seluruh tentara kerajaan.

"Rasanya tidak seburuk ini saat aku masih menjadi tentara biasa," kata Thanay sembari mengembalikan gelas tembaga kepada pelayan.

"Itu dulu. Saat kau masih muda tanpa luka menganga sepanjang bahumu." Dagu Don mengendik pada perban yang membebat bahu Thanay. "Apa yang kau pikirkan saat latihan? Mendapat luka setelah melawan jenderal tua, kau berharap dia akan bersyukur kau menjaga mukanya dari malu di hadapan tentara muda? Tidak akan."

Thanay mengenakan kembali kemejanya. Dengan santai dia menjawab, "aku tidak peduli, jika mereka ingin membicarakanku kalah dari kakek tua itu."

"Tentu kau tidak peduli. Hidupmu dipenuhi rumor sejak kau menikahi Mir. Semua mata tertuju padamu. Menantikan kapan panglima sebaik dirimu akan meninggalkan puteri angkat mendiang raja terdahulu yang berhati dingin," ledek Don. Dia menertawakan perkataannya sendiri.

Thanay tersenyum melihat Don tertawa lepas. Tidak salah apa yang dikatakan Don. Kembali dari medan perang membawa kemenangan adalah sebuah kebanggaan. Dinikahkan dengan perempuan paling cantik di seluruh kerajaan masih menjadi suatu mimpi baginya hingga kini.

"Panglima!" Seorang prajurit muda berlari menuju Thanay dan Don. Wajahnya bersimbah keringat.

"Ada apa, Mikel?" Don menggeram tidak suka pada prajurit muda itu.

"Aku melihat istri panglima Thanay di perpustakaan balai pendidikan." Mikel menjeda kabarnya untuk melihat reaksi atasannya yang terkejut. "Dia ditarik sekelompok penyihir."

"Ba-" belum sempat Don berbicara, Thanay sudah berlari keluar. "Aih, pria satu itu. Dia meninggalkanku. Apa kau yakin Mir ditarik para penyihir?"

"Aku melihat sendiri tuan. Ini hari liburku, aku menghabiskan waktu di perpustakaan. Tanpa-"

"Ah ya ya ya. Sudah penjelasannya. Ayo antar aku ke balai pendidikan. Aku tidak hapal lorong-lorong di sana."

******

Asa menatap orang-orang berjubah yang duduk di hadapannya. Tidak ada seorang pun yang dikenalinya. Bukan ini harapannya datang ke balai pendidikan. Yang dia inginkan sederhana, membaca. Itu saja. Di tengah ruangan ini, dia malah menerima tatapan intimidasi yang menuduhnya penyusup.

"Mirallae," desis seorang perempuan berwajah aristokrat yang mengenakan jubah berwarna putih dengan aksen emas dan perak yang berbeda dari jubah lain di ruangan ini.

Asa menyiapkan dirinya. Merasa sosok perempuan di depannya bukan seorang yang akan mengajaknya beramah-tamah. Jelas terlihat dari bagaimana perempuan itu menatapnya sinis.

"Kau bukan bagian pelajar, pengajar, peneliti, penyihir, atau pejabat negara." Mata perempuan itu menatapnya penuh kewaspadaan. "Bagaimana bisa kau masuk ke sini?"

"Ameta penjaga mengizinkanku masuk. Dia berkata aku adalah anggota aktif balai pendidikan," jawab Asa sedikit gentar menghadapi sorot mata tajam milik perempuan itu.

"Ameta. Penjaga." Perempuan itu melirik pria di sebelahnya lalu balik menatap Asa curiga. "Siapa Ameta itu?"

"Jedo." Seisi ruangan menertawakan jawaban Asa.

"Tidak ada Ameta bernama Jedo di sini. Apakah tidur lama memengaruhi kerja otakmu?" Sindir perempuan itu.

Asa menarik napasnya menahan kesal. Dia tidak berbohong dan kenapa mereka memperlakukannya seburuk ini, terikat di kursi kayu di tengah ruangan serupa maling yang siap dieksekusi.

"Willema, apa yang akan kita lakukan padanya? Bagaimanapun dia masih anggota keluarga kerajaan?" Bisik seorang pria di sisi kiri perempuan berjubah paling mewah itu.

Sebuah senyum culas terpatri di wajahnya. "Apa yang akan Raja dan Ratu perbuat jika tahu saudari angkat mereka melanggar peraturan? Masihkah ada pengampunan? Atau hukum ditegakkan demi memperbaiki sistem yang rusak oleh segelintir lintah?"

Seringai licik Willema membuat badan Asa meremang. Seolah ini bukan kali pertamanya mendapati kejadian begini. Jantungnya bertalu tidak karuan dan kepalanya pusing hingga membuatnya berteriak gusar. Ada apa dengan dirinya?

"Willema, apa yang kau lakukan?"

Asa berusaha mengangkat kepalanya yang nyeri. Thanay berdiri memunggungi dirinya seperti tameng yang menjauhkannya dari pandangan sinis orang-orang berjubah.

"Apalagi? Menangkap penyusup yang melanggar peraturan." Suara Willema meremehkan pertanyaan Thanay.

"Kau mengikat seorang puteri, Willema. Apa kau bisa membayangkan kemurkaan apa yang akan kau terima dari Yang Mulia?" Thanay tahu ikatan pada tubuh Mir adalah tali bermantra sihir. Melepasnya dengan tangan kosong berpotensi menyakiti dirinya dan Mir.

"Aku berpikir Yang Mulia akan mempertanyakan kemampuan penjagaan Ameta yang dipilih oleh panglima besar kerajaan hingga bisa meloloskan seorang penyusup ke sini?" Cara bicara Willema yang mendayu dan lembut menyilet pendengaran Asa. Dia merasa semua nyata, dia pernah berada di situasi serupa.

"Lepaskan dia, Wil. Aku sudah memberitahu Yang Mulia. Dia akan ke sini segera. Aku rasa dia tidak akan suka melihat kakak kesayangannya dalam kondisi terikat. Kau tidak lupa bagaimana Yang Mulia memuja penyusup yang kau tangkap ini?" Donalen meringsek masuk diikuti Mikel yang tertunduk tidak berani menatap mata para penyihir tingkat tinggi di hadapannya.

"Apa kau memanfaatkan posisimu sebagai ipar raja?" Willema menggeretakan giginya menahan kesal.

"Secara kebetulan aku memanfaatkan kisah masa lalu Yang Mulia dan penyusup ini untuk memperbaiki tindakan main hakim yang berjalan di balai pendidikan," sanggah Donalen percaya diri.

Di sisinya, Thanay melirik Asa yang lemah di kursi. Rahangnya mengeras membayangkan kondisi istrinya tapi seorang raja rela meninggalkan singgasana demi seorang puteri angkat mendiang raja terdahulu, Thanay tidak bodoh untuk memahami permainan kata yang diutarakan Donalen barusan.

###

Miss yg ngetik sayang sama Thanay dan Inatra, sumpeee..

Gw gak urus lapak ini soalnya gw butuh booster lebih. Asli gw lagi gak coba melakukan pembelaan. Fantasi bukan ranah yg sejam dua jam kelar (buat gw). Gw butuh baca novel fantasi, ngayal2 dulu, baru ketik. Jadi plis, tetap cintai aku eh? Maksudnya tetap cintai Thanay dan Asa yawh.

Biar dikit asal apdet gak apa kan?

SurealWhere stories live. Discover now