Satu

105K 6.7K 132
                                    

Aku benci papa. Aku benci saat dia membelai rambutku. Membisikkan kata-kata murahan. Detik berikutnya pasti dia akan pergi. Pergi ke tempat yang tidak sesuai tujuannya tiap pagi. Pergi ke tempat yang selalu menusuk hatiku. Bahkan membuat kehilangan terbesar dalam hidupku.

Aku masih menatap nanar daun pintu yang tertutup itu. Buku-buku jariku memucat saking kerasnya kepalan tanganku. Tanpa kuperintah, tubuhku bangkit menerjang pintu tanpa mengunci bahkan menutup pun tidak. Persetan maling atau penjahat. Emosiku memuncak. Kulajukan mobilku seperti orang kesurupan. Pagi di jam kerja tidak membuatku kehilangan akal lepas dari kepadatan lalu linta. Salip sana sini. Entah sudah berapa caci maki terhujat bagiku.

Seluruh tubuhku hapal di luar kepala, jalan apa yang kulalui untuk sampai ke sana.. ke rumah jalang sialan itu. Aku memarkir asal mobil di depan gerbang setinggi satu meter.

Seorang pemuda berusia belasan keluar dari mobil yang kuhalangi jalannya. "Hey, mobilnya jangan parkir sembarangan'', seru pemuda itu berkacak pinggang.

Aku berjalan dengan hentakan keras dan yakin menujunya. Wajah pemuda itu, tanpa perlu cek DNA pun aku bisa tebak siapa orang tuanya.

"Sampah'', desisku persis di depan wajahnya yang berubah merah.

Aku memutari tubuhnya menuju pintu rumah yang terbuka. Masih sempat kulirik sedan hitam yang sangat familiar. Aku mendengus jijik. Ingin sekali kulempar batu ke arah bodi mobil yang selalu diagungkan pemiliknya itu.

Bruk!!

Aku menggebrak pintu alih-alih mengetuknya lembut. Cara pertama terlintas untuk mendapatkan perhatian penghuni dalam rumah. Bunyi sekelompok orang mendekati tempatku berdiri. Kurang dua meter, orang-orang itu termangu di tempat. Termasuk dua orang yang paling ingin kutemui. Papa dan si jalang.

"Asa'', desis papaku. Matanya membulat terkejut. Begitu pun perempuan di sebelahnya.

Aku tersenyum miring. Di belakang mereka berdiri seorang anak perempuan berseragam putih abu-abu.

"Apa saya mengganggu family time anda?'' Tanyaku sinis. Ada jutaan kata mengganjal tenggorokku. Belum sebulan mama meninggal dan papa masih menemui si biang keladi kepergian mama. Bahkan tadi pagi, wajahnya begitu cerah seolah-olah pergi ke tempat ini merupakan surga. Sementara menghabiskan waktu bersamaku di rumah duka tak lebih dari neraka, begitu yang tercetak di wajah laki-laki tua yang menjadi cinta pertamaku itu.

"Asa, ini bukan seperti..''

"Seperti apa? Seperti apa, Bapak Hermawan? SEPERTI APA MAKSUDNYA??" Peduli setan bagaimana ekspresiku. Penghianatan ini terlalu memilukan. Perempuan mana yang sanggup kehilangan ibunya ditambah kenyataan adanya perempuan lain selama puluhan tahun yang hidup sempit-sempitan dalam hati ayahmu. Hingga punya keturunan. Gila.

"Tolong tenang, nak.'' Perempuan itu berjalan mendekatiku dengan langkah ragu-ragu. Menjijikan melihat wajah ketakutan perempuan yang sudah membuat kepercayaanku pada kesempurnaan keluargaku hancur. "Kita bisa berbicara dengan baik-baik. Saya bisa jelaskan semuanya.''

Aku menghapus air mata sialan yang menetes. Pandanganku sedikit buyar karena genangan air mata namun tidak menghalangi tanganku merogoh saku celanaku. Aku menyodorkan benda yang baru saja keluar dari sakuku ke arah perempuan itu. "Tusuk ini ke nadi lo. Baru gue bisa ngomong baik-baik.''

Perempuan itu menatap ngeri pada benda kecil yang kusodorkan. Pisau lipat. Bahkan jalang bodoh itu takut pada kematiannya. Masih berani merayu suami orang. Dasar murahan.

"Bunda jangan'', kata anak perempuan di belakang diikuti oleh papa. Aku terkekeh geli. Pemandangan ini luar biasa menjijikan. Terutama pandangan yang di arahkan papa kepadanya penuh cinta kemudian beralih padaku penuh amarah.

"Apa-apaan lo?'' Pemuda yang tadi kutemui di depan rumah menyerobok masuk. Tangannya meraih pisau. Tak ayal refleksku menahan agar pisau itu tidak berpindah tangan. Kami berebutan benda kecil itu hingga..

"AAAAKKHHH!!"

Pandanganku menggelap. Entah apa yang sudah terjadi. Pisau itu ada di tangan gemetaran si pemuda. Darah segar merembes blous kuning gadingku. Si jalang memekik seperti melihat hantu. Papa berlari menyongsongku. Dan gelap.

SurealWhere stories live. Discover now