Tiga Puluh Sembilan

20.5K 2.6K 58
                                    

Sepasang kelopak mata itu tertutup, tak menutup kegelisahan yang menyergap si pemilik kecantikan itu. Telunjuk panjang nan lentik menekan pipi wanita. Menekan beberapa kali hingga mata itu membuka oleh kesadaran yang mengejutkan. Asa bergegas bangkit duduk. Dirinya masih disorientasi. Kepalanya berputar dan terasing. Satu-satunya yang tampak akrab hanya Gallea beserta cengiran usil yang menggantung bibir.

Dimana aku? Tanya Asa melalui raut wajah. Dia berada di tengah ruangan luas yang berwarna putih. Lantainya bak pualam yang ditimpa cahaya rembulan, bersinar tipis dan menenangkan. Namun sekitar mereka berdiri dinding gelap yang dihias rambatan salur berbahan perak. Langit-langit tinggi mencekung di tengah, dari sana kau dapat melihat kegelapan malam dan jutaan spektra warna yang membentang bagai tirai pelangi. Mengingatkan Asa pada langit malam di negeri para naga. Bintang menyebar merata memenuhi seluruh langit. Sukar dipercaya dia masih di desa para pemberontak.

"Kau menyukai tempat ini, Sepupu?" Tanya Gallea.

Asa spontan menarik lengan Gallea sampai-sampai pria itu tersentak ke depan. "Kemana kau membawaku?" Asa berdesis penuh kecurigaan. Dia ingat perbuatan apa yang baru saja dilakukannya bersama Gallea. Mereka berjalan menyusuri pondok-pondok warga, lalu gelap. Ah, tentu saja, ada sesuatu dalam rentang kegelapan itu sampai tempat ini.

"Kita di kuil Penjaga Dunia," jawab Gallea tanpa merasa bersalah.

"Bagaimana bisa?" Asa kembali memerhatikan lingkungan. Dia masih terpana akan luasnya ruangan ini, bahkan tanpa perabotan satu pun.

"Jangan tanyakan pertanyaan yang tak bisa aku jawab. Duduklah dengan nyaman, Sepupu. Ayahku dalam perjalanan menemui kita."

"Ayahmu? Pendeta kuil ini? Tapi..." Asa tergagap. Dia berdiri lantas berlari mengelilingi seluruh ruangan, barulah dia ikut duduk di sebelah Gallea. "Tak ada pintu, Gal. Kita terkunci. Bagaimana ayahmu dapat ke sini?"

Gallea mengendikan bahu tanpa peduli. Dia menumpang badan dengan sepasang tangan terentang ke belakang sambil menatap langit-langit. Asa mendesah. Gallea tak mau terbuka dan itu menyebalkan.

"Betapa baik hatinya, mengetahui keponakanku lebih memedulikan aku dibanding puteraku sendiri."

Asa terjengkang mendengar suara pria itu. Seorang pria tua berjenggot putih berjalan mendekat. Sementara tak ada pintu yang terbuka dari arah kedatangannya. Alis Asa menaut keheranan. Ruangan ini begitu terang hingga mustahil keberadaan pintu tak diketahui.

Pria itu berdiri tepat di depan Asa. Gallea berdiri malas-malasan sembari menggaruk kepalanya. Pria ituーjika tak salah tebakーadalah ayah Gallea, pendeta kuil penjaga dunia.

"Ayah, kau masih senang menyindir," kata Gallea.

"Huh, selalu tak sopan," pria itu mengibas tangannya ke depan Gallea, lalu memutar badan menghadap Asa, "bagaimana perjalananmu, Nak? Aku meminta Gallea menjagamu, tapi kau tampak sangat terkejut."

Asa berdiri buru-buru, agak merapat Gallea. Dia mengamati pria tua itu. Jubahnya serupa milik Gallea, begitu pun celana dan sepatu. Bukan tipikal penampilan giyom biasa. Rambutnya putih dan dikepang di balik tengkuk. Ini pun bukan gaya rambut sewajarnya giyom.

"Nak, kau tak apa-apa?" Tanya pria itu lagi.

"Ayah, kupikir Sepupu bingung mengenaimu," desis Gallea.

"Kau tak mengingatku, Nak?"

"Ayah, sebenarnya, dia bukan Mir yang itu. Dia adalah Mir yang lain. Kau paham?"

"Ya, ya, hentikan mengganggu pembicaraan kami, Gal."

"Ayah, kau hanya bicara sendiri. Sepupu takut padamu."

Pria itu melotot tak terima disebut menakutkan. "Kau takut padaku? Aku Eoden, sepupu ibumu. Kita satu keturunan. Kau bisa memanggilku Paman Eoden."

"Paman Eoden?"

"Ya." Eoden mengangguk senang saat Asa memberanikan diri bicara.

"Salur tanaman melilitku," lirih Asa takut-takut.

"Salur tanaman?" Eoden melirik puteranya yang hanya balas menggeleng. "Apa yang menarik dari salur itu? Mungkin tanpa sengaja angin meniupnya."

"Tidak! Aku berpikir, lalu, lalu, kau tahu, salur itu mengikuti pikiranku. Aku, tunggu, itu terasa mustahil. Tapi aku berani sumpah. Oh, bagaimana caranya membuatmu paham? Aku pun bingung," cerocos Asa terbata dan tergesa.

Gallea meliriknya dengan tatapan geli. Asa yang selama ini dikenal Gallea adalah sosok sepupu yang sangat berhati-hati.

"Ya, aku tak benar-benar paham, tapi aku mungkin bisa menunjukan sesuatu," sahut Eoden.

Asa dan Gallea saling lirik. Kemudian memerhatikan Eoden yang mengangkat tangan dan mengarahkan telapak tangannya ke dinding hitam. Tanaman rambat berbahan perak itu bergerak, membuka ruang, dimana dinding hitam itu mendadak menjadi pintu raksasa yang terbuka lebar. Satu pintu, dua pintu, tiga pintu, sampai lima belas pintu besar nan menjulang terbuka. Keindahan malam yang semula terefleksi melalui langit-langit, terpampang jelas dari pintu-pintu itu. Angin malam berhembus lembut memainkan rambut Asa, menampar kekaguman Asa terhadap sihir spektakuler yang baru terjadi. Menakjubkan. Ruangan tertutup itu berubah menjadi ruang terbuka dengan pintu-pintu lebar yang membuka.

"Bagaimana bisa?" Tanya Asa masih memasang tatapan terpana.

"Tanaman itu benar-benar tanaman hidup. Jika yang kau maksud soal salur tanaman seperti tanaman rambat di ruangan ini, kurasa ada bakat alami milikmu yang ingin keluar," jawab Eoden.

"Aku mempelajari sihir dari naga dan tak ada sihir semacam itu," kilah Asa.

"Nak, sihir yang kau dapat dari naga bukan sihir murni. Itu hanya sesuatu yang dapat dipelajari siapapun yang punya kemampuan sihir. Tetapi sihirmu merupakan bakat alamiーdan berpotensi liar. Sesuatu yang tak bisa ditiru orang lain."

"Apakah..." Asa menoleh pada Gallea. Tampak jelas dirinya mencari dukungan. Gallea mengangguk, menyemangati Asa sekaligus meyakinkannya bahwa lawan bicara mereka dapat menjadi sumber tanya yang memadai. "Sihirku diturunkan dari Sang Ratu?"

Eoden tersenyum tulus, sebelum melarikan sapuan matanya ke salah satu pintu. "Sihirmu adalah anugerah, Nak. Turun-temurun dianugerahkan bahkan sebelum anak cucu Sang Ratu."

"Aku takut, Paman Eoden," aku Asa.

###

14/05/2019

Ngayal 😵 sampe puas 😁

SurealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang