Dua Puluh Dua

31.2K 4.2K 81
                                    

Setiap tujuan mempunyai perjalanan yang berliku. Demikian perjalanan yang ditempuh Asa dan sang naga. Badan naga meliuk ke kiri dan ke kanan, menghindari tebing-tebing terjal yang entah bagaimana seolah tumbuh dengan sendirinya. Beberapa bebatuan dalam beragam ukuran berjatuhan dari puncak-puncak tebing, seolah ditargetkan mengenai Asa. Sang naga lebih lincah. Badan raksasa dan sayap lebarnya tidak membatasi gerak badannya.

Asa berpegangan erat pada tali kekang, takut jika terpental. Ketakutannya membuncah saat sang naga memutar badannya 360 derajat. Asa memekik ketakutan. Angin yang awalnya buas, perlahan menyurut. Gerak sayap sang naga melambat. Napas Asa tercekat, kabut tebal melingkupi mereka. Matanya tidak bisa melihat apapun. Putih dan putih. Tangannya makin erat mencengkeram tali kekang. Pada pedal pelana, Asa merasakan ikatan yang pas pada tumit kakinya dan membungkus keseluruhan kaki depannya. Mencekam, itu yang dirasakan Asa.

Pandangannya mulai membaik. Timbul segaris sinar jingga. Disusul sinar merah muda, biru, ungu, kuning, hingga mata Asa terpuaskan pada langit malam yang diselubungi tirai sinar pelangi. Aurora paling menakjubkan yang pernah dilihat sepanjang hidup Asa. Bukan hanya satu aurora, tapi berlapis-lapis aurora memenuhi langit yang hitam pekat. Langit yang bersinar bak diselubungi jutaan tirai warna menaungi padang rumput. Kembali Asa dibuat terpukau.

Sang naga merendahkan ketinggian terbangnya. Membawa Asa masuk ke daerah yang serupa lembah besar. Dataran yang dikelilingi perbukitan. Batu-batu granit raksasa menjulang, menampilkan eksotisme yang menghangatkan jiwa setiap penikmatnya. Malam di sini tidak terasa malam.

Naga itu terbang memutar dalam gerak yang semakin rendah. Lama-lama Asa bisa melihat jelas ada banyak naga beraneka warna di bawah kakinya. Pada putaran kesembilan, sang naga mendaratkan badannya. Bunyi benturan bumi dan bobot sang naga mengisi kekosongan malam. Beberapa naga yang masih terjaga menoleh ke arah mereka.

"Inikah rumahmu?" Tanya Asa, agak sangsi apakah sang naga bisa mendengarnya.

"Menyenangkan bisa menyambut seorang tamu di rumah kami. Apakah kau menyukai penerbanganmu?"

Kepala naga sedikit menoleh pada Asa lalu kembali pada posisi semula. Beberapa naga bergerak mendekat. Ada yang polos tanpa perisai, ada yang berzirah perak dan ungu pucat. Asa menundukan badannya. Merasa peristiwa ini pernah terjadi dan ketakutan melandanya mendadak.

"Apa yang kau takutkan, Asa?" Naga yang memberikan tumpangan pada Asa bertanya.

"Aku hanya ... entahlah. Aku tidak yakin." Asa menggeleng kuat, berusaha menepis ketakutannya. Tapi gagal. Badannya terasa memiliki trauma sendiri.

"Aku menjanjikan sesuatu kepadamu dan kau menjanjikan sesuatu pula pada bangsaku. Percayalah, kau aman."

Naga-naga lain mengerubungi Asa dan naga berzirah emas. Satu naga berwarna cokelat sepekat pohon ek mengeluarkan suara mirip lengkingan. Naga berzirah emas membalas lengkingan yang tidak kalah memekakan telinga. Naga-naga lain ikut memekik. Lengkingan demi lengkingan saling bersahut, Asa menggunakan kedua tangannya menutup telinga. Mereka seperti bertikai atau meributkan sesuatu, Asa tidak paham.

Satu lengkingan mengerikan menghentikan pertikaian para naga. Seekor naga hitam, berukuran dua kali naga yang ditunggangi Asa menarik perhatian naga-naga lain. Para naga memberi jalan bagi naga hitam itu menuruni bukit yang besarnya tidak seimbang dengan si naga hitam. Asa yakin bukit itu setinggi 30 meter.

Naga hitam berhenti tepat di depan naga tunggangan Asa. Lehernya memanjang untuk melongok sosok Asa yang setiap menunduk. Mata Asa melirik ketakutan pada naga besar itu.

"Turunlah, Asa." Naga tunggangan Asa berkata lembut. Seketika ketakutannya berkurang, merasa naga tunggangannya akan melindunginya. Asa bergerak turun dari punggung naga berzirah emas.

Naga hitam melirik Asa yang sudah mendaratkan kakinya ke atas rumput. Lalu naga hitam itu berbalik badan. Gerakannya anggun meski badannya paling besar. Asa melirik naga berzirah emas yang tadi ditungganginya sebelum dia berjalan membuntuti si naga hitam. Asa tidak tahu apa tindakannya benar. Yang dia pahami, dia hanya akan bergerak mengikuti kata hatinya. Seperti bagaimana dia mendengar suara naga tunggangannya melalui suara hati.

Asa mengikuti naga hitam yang berjalan menjauhi kerumunan naga-naga lain. Kaki Asa sangat pendek jika dibandingkan kaki sang naga, lucunya langkah Asa tidak tertinggal sama sekali. Badannya terasa ringan untuk dibawa bergerak cepat dan tanah yang dipijaknya terlalu empuk untuk terus ditapaki. Naga hitam berputar pada satu batu granit putih keunguan, berputar dua kali lalu duduk di sebelah batu itu. Asa memilih mengikuti gerak memutari batu itu lalu duduk di depan naga hitam.

"Bagaimana pendapatmu mengenai negeri kami?" Suara naga hitam jauh lebih berat dan serak. Nada wibawanya sangat kental saat berbicara.

"Aku menyukai perjalananku dan mengagumi tempatmu. Sangat menakjubkan!"

"Menyenangkan mengetahui kau menyukai rumah kami. Perkenalkan, namaku Seth. Aku adalah naga hitam satu-satunya di sini."

Asa bisa mendengar jelas kalimat Seth barusan dibubuhi banyolan. Sebagai penghormatan dan memang dia merasa banyolan itu lucu, Asa terkekeh. "Aku akan dengan mudah mengenalimu kalau begitu," canda balik Asa.

Kepala Seth mendongak, menatap langit berpendar jutaan warna. Namun Asa bisa menangkap sorot luka di dalam sepasang mata biru muda itu.

"Aku pernah sama persis dengan naga-naga lain. Berwarna serupa kulit pohon, sangat membosankan." Seth menurunkan pandangannya pada Asa. "Lalu semua berubah. Karena keteledoranku, seseorang yang paling ingin aku lindungi kecewa. Tidak pernah lagi aku ingat bagaimana warna kulitku. Sejak itu, aku hanya si naga hitam."

Kepiluan besar mengisi udara di sekitar mereka. Asa tahu, asalnya dari Seth. Dia hanya tidak menyangka, seekor naga bisa memengaruhi lingkungan. Tak ayal, makhluk magis ini sangat diincar oleh para raja terdahulu.

"Aku tidak tahu apa masalahmu kala itu, tapi aku harap kau bisa mengambil pelajaran dari pengalamanmu," kata Asa tulus.

"Aku belajar sangat banyak sejak hari itu, Asa." Seth menumpuk kedua kaki depannya lalu kepalanya bersandar pada puncak tumpukan kaki. "Obire mengatakan kedatanganmu akan membawa kebaikan bagi bangsaku."

"Obire?" Asa merasa tidak tahu nama itu.

Seth mendengus kecil. Napas hangatnya menerpa kaki Asa. Dalam bayangan Asa, naga memiliki napas api. Tapi napas Seth hanya udara hangat serupa angin musim panas. Angin musim panas? Sejak kapan aku kenal yang mana angin musim panas?

"Obire, dia naga bodoh yang membawamu ke mari."

Demi Penjaga Dunia, Asa sangat lalai tidak mencari tahu nama tuan yang sudah memberinya tumpangan di punggung. "Aku tidak menanyakan namanya tadi," aku Asa malu-malu.

"Dia tidak akan peduli. Naga muda itu lebih bersemangat membawamu. Dia sangat senang sewaktu panggilan itu datang."

"Panggilan?"

Kepala Seth terangkat. Matanya menatap intens Asa. "Kau membuat panggilan, Asa."

"Tidak!" Asa menemukan keganjilan.

"Bagaimana bisa kau tidak membuat panggilan? Seluruh naga di Yolessis mendengar panggilanmu." Suara Seth berubah tegas dan lugas. Kepalanya bergerak gusar tanpa melepas ikatan pandang dengan Asa.

"Aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya memanggil, bagaimana bisa aku membuat panggilan, Seth? Kurasa kalian salah mendengar."

Seth berdiri di atas keempat kakinya yang kokoh. Saat itulah, Asa baru menyadari luka gores sangat panjang pada kedua lutut belakangnya. Luka yang membekas dan sisik di sekitar area itu terlihat gosong dan koyak.

"Tidak mungkin ada yang memanggil kami tanpa kemampuan menurun sepertimu, Asa. Hanya kau..." Seth terdiam. Kepalanya bergerak turun mendekati Asa. "Atau puteri Mir dari sisi barat Hutan Tunjha."

"Inatra," gumam Asa.

###

28/02/2018
Makin mendebarkan? Makin membosankan?

SurealWhere stories live. Discover now