Empat Belas

37.9K 4.6K 41
                                    

Semalaman Asa kesulitan tidur. Dirinya masih tidak mempercayai sentuhan intim yang dilakukan Thanay tadi sore. Semuanya sungguh cepat hingga dia kehilangan daya berpikir. Kecemasannya semakin membesar, bagaimana dia akan bertahan di rumah ini sebagai Mir sementara ada seorang pria berstatus suami Mir yang berhak menyentuh Mir, yang mana Mir bukanlah Mir sesungguhnya melainkan Asa.

Kamar tidur Inatra mendadak silau. Asa yang masih terlelap dari tidur malamnya terusik. Kelopak matanya bergerak menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk ke dalam matanya. Rasa-rasanya dia baru tidur sebentar namun cahaya matahari yang menyeruak dari jendela menandakan sudah tengah hari.

Asa melonjak dari tidurnya. Dia menengok sisi lain ranjang yang sudah kosong. Inatra dan Thanay sudah tidak ada di kamar. Buru-buru dia meraih jubah tidurnya, memakainya lalu melesat keluar.

"Jash, apa Thanay dan Inatra sudah pergi?"

Jash yang sedang mengeluarkan kue dari panggangan menatap Asa meremehkan namun dia tetap menjawab. "Mereka berdua sudah pergi sejak pagi."

"Apa mereka makan sarapan mereka?" Asa tidak mengacuhkan sikap tidak menyenangkan Jash. Hanya perempuan berwajah menyebalkan ini yang bisa dia temukan di dalam rumah. Jika ada Mano, tentu Asa akan lebih memilih bertanya pada pelayan gemuk Mir itu.

"Tentu." Jash menjawab tanpa melihat Asa. Dia memilih sibuk merapikan kue-kue yang masih hangat.

"Oh Jash, kue-kue ini berbau lezat. Apa aku boleh mencicipinya?" Asa meminta izin mencoba kue buatan Jash yang selama ini selain sedap dilihat pun lezat rasanya.

Mendengar permintaan sopan Mir, Jash masih belum terbiasa. Dia memang menyukai kepribadiaan Mir yang kini lebih ramah namun tidak semudah itu mengubah ingatan seseorang akan buruknya perilaku di masa lampau.

"Tentu. Kau boleh mencicipinya," kata Jash sopan dalam ekspresi datar.

"Terima kasih," kata Asa mencomot satu kue panggang Jas yang bentuknya mirip bunga krisan. "Ini lezat, Jash. Bolehkah aku minta beberapa kue ini dibungkus?"

"Untuk apa? Kau bisa memakannya langsung," kata Jash cepat dan ketus.

"Aku ingin memberikan beberapa ke Dasen. Hari ini aku harus bertemu dengannya lagi," jelas Asa disela kunyahannya.

"Dasen? Apa yang terjadi padamu? Apa kau sakit? Apa karena kemarin kau menemuinya?" Jash membrondong pertanyaan. Pelayan judes Mir ini khawatir terjadi sesuatu pada Asa.

"Ya. Sakit kepala yang aku bilang kemarin. Dasen berkata akan menyiapkan obat untukku. Jash, bisakah kau merahasiakan ini dari Thanay dan Inatra? Aku tidak ingin mereka berdua khawatir. Menurutku, ini sakit karena beberapa bulan aku tidak sadarkan diri." Asa memberikan pandangan tulus memohon bantuan Jash walau tidak sepenuhnya perkataannya jujur.

"Tentu. Aku akan menjaga mulutku." Jash merasa tersanjung diberikan kepercayaan menjaga rahasia majikannya.

"Terima kasih, Jash," kata Asa tulus.

***

Jalan menuju lembah balai pengobatan masih seperti hari kemarin. Sepi. Hanya cuitan burung dan gesekan dedauan tertiup angin yang mengiringi perjalanan Asa menuju pondok tua Dasen.

Sesekali dia menengok kanan-kiri, berharap ada kesempatan bertemu Rinom. Entah bagaimana, hatinya merasakan keganjilan besar akan rumor yang menyebar mengenai ketidaksetiaan Mir pada Thanay. Seperti ada potongan yang tidak nampak oleh orang-orang. Yang membikin cap jelek pada Mir dan Rinom. Dia pun penasaran, perlakuan kasar macam apa yang diterima Rinom masa itu hingga takut berdekatan dengannya kemarin.

"Mir!!"

Asa melambai balik pada Dasen yang berjalan sambil melambaikan tangan padanya. Pria tua berbau tengik itu tergopoh-gopoh mendekat sembari membawa buku tebal kotor berbahan kulit. Asa segera menutup hidungnya karena aroma tidak sedap yang menguar dari buku itu.

"Buku macam apa yang kau bawa, Dasen?"

"Kau akan segera tahu. Ayo cepat ke pondokku." Dasen memimpin jalan menuju pondoknya lewat jalan yang berumput tebal dan bertanah becek. Asa menurut saja walau dia menyayangkan kondisi gaunnya yang jadi kotor lumpur.

Situasi dalam pondok Dasen masih sama berantakan. Asa cepat menarik kursi kayu berkaki ramping yang berada di dekat pintu. Menaruhnya dekat kursi kayu berlapis bulu yang diduduki Dasen. Dia duduk menghadap Dasen yang membuka buku berbau itu.

"Sejak semalam aku mencari buku soal penyakitmu. Sakit kepala setelah tidur berbulan-bulan. Di buku ini tertulis, penyebab sakit kepala itu tergantung pada alasan pasien tidur berbulan-bulan." Dasen membaca deretan huruf kuno pada halaman yang sudah dia tandai menggunakan bulu merak.

"Alasan pasien tertidur?"

"Ya. Ada beberapa alasan yang disebutkan di sini. Ada karena pasien menghirup racun jamur Takmu, membentur benda keras, sihir jahat, meminum ramuan yang tidak cocok bagi tubuh pasien, tersesat di alam batas, tergores-"

"Tersesat di alam batas?"

Dasen mengerutkan alisnya. "Ya alam batas. Aku menyangka kau tidak sengaja menghirup racun jamur Takmu atau salah meminum ramuan."

"Apa itu alam batas?"

"Aku juga tidak paham. Banyak yang mengatakan itu adalah gerbang menuju dunia lain. Alam setelah negeri para naga. Tidak ada yang pernah melihatnya." Dasen menutup bukunya lalu menyalakan api pada tungku dan menjerang air di dalam teko tembaganya yang usang.

"Dimana alam para naga?"

"Tidak ada yang tahu."

"Bukankah pernah ada yang bisa memanggil naga?"

"Ya, buyut raja. Dan sudah meninggal. Tidak ada yang menuruni kekuatan legendaris itu. Asal kau tahu, aku berharap tidak akan ada yang menuruni kekuatan itu karena akan menjadi senjata militer kerajaan. Siapa yang ingin dijadikan senjata militer? Thanay dan Donalen hanya pengguna pedang dan busur. Tapi orang yang memiliki kekuatan itu akan menggantikan pedang dan busur yang digunakan prajurit. Mengerikan sekali membayangkan seseorang mesti hidup dengan cara demikian."

"Mengerikan sekali!" Asa paham sekarang kenapa Dasen tidak tertarik membahas alam batas. Jujur, dia ingin mencari tahu apa itu alam batas. Tempat yang dia yakini pernah dia datangi, tempat pertemuannya dan Mirallae pertama kali.

"Dasen, makanlah kue ini. Aku meminta Jash membungkus beberapa untukmu."

"Jash mematuhimu?" Dasen tertawa terbahak-bahak. "Apa kau memasukan sesuatu ke minumannya? Barangkali ramuan sihir pengikat hati agar pelayanmu patuh?"

"Dasen, kumohon jangan bergurau. Aku tidak melakukannya."

"Sebagai keturunan ketua penyihir terdahulu, aku sangsi kau sama sekali tidak bisa menggunakan sihir." Dasen mencomot satu kue dan mengunyah hingga berdecap mirip kunyahan kuda. Asa jijik melihat cara makan Dasen yang tidak beretika.

"Aku keturunan ketua penyihir?"

"Demi penjaga dunia, apa kau lupa asal kelahiranmu?"

"Ya."

"Kau keturunan penyihir paling hebat sepanjang masa. Asal kau tahu, Wilema tidak sebanding dengan ayah dan ibumu. Kau berdarah murni giyom penyihir. Kelas bangsawan yang sejajar keturunan raja. Ketika kau lahir, ibumu meninggal dan ayahmu yang membantu peperangan tewas di medan perang. Raja Artha mengangkatmu menjadi anaknya. Kau hidup layaknya seorang puteri tapi banyak orang tidak menyukaimu."

"Aku mulai terbiasa tidak disukai orang sejak aku membuka mata."

"Biarkan saja. Aku tetap menyukai kepribadiaanmu. Kau jujur dan tidak menjilat." Dasen terdiam. "Dulu kau dianggap sebagai pengganti kedua orang tuamu. Aku bersyukur kau terlahir sebagai anak perempuan biasa. Kau tidak menjadi senjata perang."

"Apa kau tahu kelahiranku?"

"Aku yang membuat ramuan bayimu, bocah. Aku yang menggendongmu saat kau masih bayi."

"Ah, aku bisa anggap kau ayah angkatku." Asa melirik nakal ke arah Dasen.

"Aku tidak pantas menerima gelar bermartabat tinggi itu. Hamba hanyalah pembuat obat miskin," goda Dasen sembari membungkukan badan. Membuat Asa tertawa oleh kelakar Dasen yang konyol.



Bantu cek typo en eror ya

SurealWhere stories live. Discover now