Empat Puluh Sembilan

20.4K 2K 132
                                    

Jed bersikap berlebihan semenjak hari pertarunganku dan Ipahsya. Dia berlagak seolah aku akan diserang makhluk jahat. Jika ada yang pantas disebut penjahat dalam hidupku, tak lain ialah Paman Artha. Pemikiran ini aku pendam bertahun-tahun. Antek-antek raja dan para penjilat berkeliaran. Tidak ada yang bisa dianggap teman di dalam istana. Aku dianggap saingan, padahal siapa aku di sini, hanya seorang gadis yatim yang menantikan kesempatan terbebas dari istana.

Aku menarik napas panjang, menikmati aroma udara sehabis hujan. Tanah basah dan pepohonan adalah kesatuan terbaik relaksasi. Aku ingin keluar kamar, berjalan-jalan, dan berbicaraーoh, aku bisa bicara di sini, tapi tidak benar-benar dipedulikan.

Aku mengangkat cawan jamu yang ditinggalkan pelayan. Lagi-lagi ramuan yang tidak jelas apa manfaatnya. Aku tidak mengalami luka fisik yang parah. Sedikit lebam dan lelah otot akan sembuh oleh waktu. Yang aku butuhkan sangat sederhana, sepuluh menit ke luar istana.

Aku memutuskan melanggar perintah Jed. Kamarku semakin memuakan sejak perapian ditaburi rempah-rempah aneh yang mengeluarkan aroma konyol.

Langkahku mantap dan lebar menuju istal. Beberapa pelayan bertemu denganku di tengah jalan dan tidak seorang pun berani menghalangiku. Aku dan sikap sombong yang mereka percaya telah membawaku pada akses membangkang hari ini. Cukup angkat kepala dan berpura-pura tidak menyadari keberadaan mereka, maka ini hasilnya. Aku tidak diacuhkan.

Rinom sedang duduk di pagar kayu sewaktu aku tiba. Dia terkejut.

"Apa yang Anda lakukan?" Dia berseru sembari memangkas jarak kami.

"Apalagi?" Aku mengangkat bahu. "Aku butuh keajaiban alam agar aku tetap waras saat kembali ke kamar sialan itu."

"Aku akan berpura-pura tidak mendengar umpatan Anda, Tuan Putri." Rinom terkekeh. "Anda sebaik kuda liar yang melihat padang rumput. Mereka bilang Anda sekarat."

"Mereka membual. Aku sebaik anak kecil di malam pergantian tahun. Apa kau punya sesuatu yang manis? Mulutku bosan pada rasa jamu yang pahit."

"Sayangnya tidak. Tapi ada apel masak di pohon itu. Anda mau?"

"Tentu saja! Lekas ke sana!" Aku setengah berlari mencapai pohon yang ditunjuk Rinom. Pohon apel itu besar dan gagah, daunnya lebat dan dihias apel merah menggiurkan. "Kau tidak takut ketinggian, kan?" Aku menyeringai ke Rinom.

"Aku sebaik monyet, asal Anda tahu." Rinom tersenyum bangga.

"Mari buktikan." Aku mengambil posisi pertama memanjat pohon. Rinom tercengang. "Kau mau melamun berapa lama di sana, Rinom? Cepat ke sini!"

Rinom tersentak dan buru-buru menyusulku. "Anda memanjat pohon, Putri," kata Rinom saat tiba di dahan tepat di sisi lain dahan yang aku duduki.

"Aku cukup ahli, kalau kau mau tahu. Terakhir kali aku memanjat pohon, aku memanfaatkan waktu istirahat di kelas ramuan Dasen. Dia menjerit menemukanku di atas pohon dan memohon aku turun. Setelahnya, kami membuat kesepakatan untuk merahasiakan hal itu. Rinom, tolong apel di sebelah sana."

Rinom menggapai apel di atas kepala, lalu menyodorkan. Aku menerima dengan sukacita. Satu gigitan dan rasa manis memenuhi mulut. "Lihat di sana!" Aku menunjuk di bawah pohon dekat lapangan berlatih kuda.

"Aku tidak yakin, sepertinya seorang wanita dan prajurit," kata Rinom.

"Bukan prajurit biasa, Bodoh. Perhatikan warna seragamnya hitam. Dia dari pasukan khusus."

Rinom mengunyah apel sambil berbicara, "Aku tidak yakin mengingat warna seragam dan tim mana mereka. Bagiku, mereka hanya memerlukan kuda."

"Tipikal pekerja," sindirku.

SurealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang