Delapan Belas

33.2K 4.3K 49
                                    

Berpasang-pasang kaki melangkah terburu melintasi lorong berkarper biru pudar. Derap langkah mereka makin terpacu mengikuti kaki tuan mereka yang berjalan dalam langkah lebar. Dua orang Ameta penjaga membungkukan badan saat sang tuan berjalan lurus menuju pintu yang mereka jaga. Dengan satu tangan melambai, pintu berdaun ganda itu didorong oleh kedua Ameta. Di dalam ruangan serupa ruang persidangan, sudah banyak orang berjubah. Mereka segera membungkukan badan.

"Selamat datang, Yang Mulia-" Willema berdiri dari kursinya. Menaruh telapak tangan kanannya pada dada kiri sambil membungkukan badannya.

Sementara Thanay dan Donalen menaruh kepalan tangan kanan mereka pada dada kiri dan membungkuk. Bentuk penghormatan para prajurit. Pria berkulit pucat dengan rambut kecokelatan dan mata tajam berwarna kehijauan itu tidak menggubris satupun salam yang menyapanya. Dia menumpukan bobot tubuhnya pada lutut kanannya dan menopang lengan kirinya pada paha kiri. Jemarinya bergerak menyisir kulit wajah Asa yang sudah tidak sadarkan diri dalam kondisi terikat di kursi.

"Jelaskan padaku alasan agar tidak menghukum mati dirimu, Wil?" Kata pria itu tenang. Matanya masih mengamati tiap lekuk wajah Asa, tidak terpengaruh sorot tajam Thanay di belakangnya.

"Bagaimana bisa yang mulia menanyakan hal itu? Hamba menangkap seorang penyusup yang memasuki area terlarang di balai pendidikan?" Suara Willema tidak setenang tadi namun dia mempertahankan keanggunannya sebagai penyihir berpangkat tertinggi di seluruh kerajaan.

"Penyusup? Tuan puteriku?" Pria itu mengangkat tatapannya pada Willema yang seketika menunduk. Tidak berani menatap kemarahan raja negeri ini. "Bagaimana bisa tuan puteriku menjadi penyusup di dalam kerajaannya sendiri?" Pria ini, raja kerajaan yang termahsyur sebagai Jed si bijak melembutkan sorot matanya. Willema dan penyihir lain baru bisa bernapas lega.

Baru akan membuka mulutnya, Willema dipaksa menelan ludahnya sendiri tatkala sang raja menggumamkan mantra yang melepas sihir ikatan pada tubuh Asa. "Di lain waktu aku masih perlu menggunakan sihirku sendiri, aku pastikan kau berakhir berbentuk nama di atas nisan."

Willema bersumpah itu pertama kalinya dia melihat raja mereka mengeluarkan sihir dan mengancamnya. Perlakuan yang seumur hidup tidak akan pernah dimaafkan Willema. Semua karena seorang perempuan licik yang duduk di kursi itu. Dia akan membalas dengan keji perlakuan memalukan yang diterimanya hari ini kepada Mirallae.

Jed sudah akan mengangkat tubuh Asa ketika suara deheman Don menyadarkannya akan sesuatu. Dia mundur dan memberi kode pada Thanay mengangkat tubuh pingsan Asa. Thanay melirik Don yang tersenyum padanya sebelum mengangkat tubuh istrinya.

Jed yang pertama keluar ruangan diikuti Thanay dan Don beserta para pengawal sang raja. Langkah Jed lebih lambat dibanding ketika dia datang tadi. Thanay memperhatikan penampilan rajanya yang sangat glamor dalam jubah resmi raja dan mahkota bertahta batu zamrud legendaris berwarna biru yang konon ditemukan dari gunung berapi di tengah laut. Penampilan yang sepantasnya raja pilih ketika bertemu perwakilan kerajaan lain.

"Don, katakan pada siapapun yang berwenang bahwa Puteri Mirallae masih puteri kerajaan ini. Tahta raja masih mengikutinya. Perlakuan tadi akan aku maafkan tapi kelak kejadian serupa terulang, aku pastikan..." Jed sengaja berhenti untuk menatap Donalen langsung. "Aku yang akan memberi hukuman." Matanya beralih pada Asa yang masih belum sadarkan diri dalam gendongan Thanay. "Jika dia belum terbangun sampai esok pagi, pastikan perawat istana menjemputnya. Tabib kerajaan yang akan merawatnya di istana."

"Tidak perlu, Yang Mulia," potong Thanay yang terhenti oleh pandangan murka Jed.

Jed sangat ahli mengatur emosi, dengan cepat raja muda ini melunakan ekspresinya. "Jangan sungkan, Thanay. Aku bukan sedang memberi pilihan. Ini perintah langsung rajamu. Lakukan sebagaimana prajurit medan perang mendapat perintah atasannya."

Tidak ada lagi yang ingin Jed katakan. Dia memutar badannya dan bergegas kembali ke istana. Benar memang dugaan Thanay, sang raja tengah berada dalam pertemuan besar bersama perwakilan kerajaan lain ketika mendapat kabar Mir ditangkap. Jed yang biasanya penuh pertimbangan meninggalkan ruang pertemuan tanpa pamit. Menyisakan Cissa yang terbengong di singgasananya. Satu-satunya tujuan Jed adalah menyelamatkan kakak angkatnya dan berdoa Cissa tidak mengacaukan pertemuan penting itu.

"Aku mengatakannya bukan untuk mengecilkan nyalimu tapi..." Don memindai kondisi sekitar. Mereka sudah berkendara menggunakan kuda menapaki jalan berbatu menuju kediaman Thanay. "Kau punya saingan luar biasa, sobat. Jika orang awam berpikir Mir berselingkuh dengan seorang penjaga istal, sesungguhnya kau berhadapan dengan raja kerajaan ini."

Thanay membenahi posisi kepala Asa yang miring, membuatnya menjadi sandaran badan istrinya sepenuhnya. Agak susah memang berkuda dan membawa seorang yang pingsan sebagai boncengan, apalagi Asa duduk di bagian depan pelana.

"Apa yang aku harapkan? Ketika mendiang raja memberiku hadiah berupa pernikahan, siapa yang menyangka calonku adalah puteri angkatnya yang sudah puluhan kali menolak lamaran bangsawan." Thanay mendesah lemah. "Dan siapa yang mengira semuanya akan seindah dan semudah bayangan para gadis."

"Gadis desa polos maksudmu?" Don terkekeh oleh leluconnya sendiri. "Aku dan Cissa pernah membuat lelucon kalau Jed tidak akan menikah seumur hidupnya karena dia menunggu istrimu."

"Mengerikan sekali!" Thanay memutar bola matanya jengah.

"Sayangnya kami tahu kau akan berusaha keras menjaga istri cantikmu. Jadi bisa ceritakan padaku apa yang kau rasa di ruang sidang tadi, melihat istrimu malah diselamatkan pria lain?"

Bukannya terpengaruh sindiran Don, Thanay malah kepikiran hal lain. "Aku baru sekali ini melihat raja mengeluarkan sihirnya."

"Apa itu penting? Jed hanya malas memamerkannya. Dia sebenarnya agak payah, begitu menurut Cissa."

"Apa raja mengikuti sekolah sihir?"

"Ya. Dan kau tahu bersama siapa?" Don menatap geli Thanay yang mengernyit tidak suka. "Dia menghabiskan waktunya bersama Mir di kelas biasa, bukan kelas khusus bangsawan. Menarik bukan bagaimana calon raja masa itu rela duduk di kursi rotan selama bertahun-tahun demi dekat seorang perempuan."

Thanay berusaha menulikan inderanya dari lebih banyak ocehan Don. Lebih dari itu, dalam hatinya sedang bergulat keinginan bertanya atau tidak bertanya alasan istrinya berada di perpustakaan balai pendidikan.

Oh my, tokoh yg gw nantikan akhirnya nongol. JED THE KING. Dia kayaknya biasa aja tapi spesial buat gw 😂

SurealWhere stories live. Discover now