Tiga Puluh Delapan

20.2K 2.8K 38
                                    

Telah sebelas malam aku lewati di desa para pemberontak kerajaan, satu-satunya tempat berlindung bagi mereka yang memercayai Sang Ratu hingga detik ini. Langit gelap bertabur bintang tak sanggup menghempas kekalutan yang menyergap jiwaku. Telah banyak ingatan Sang Ratu yang terserap, tapi ingatan itu belum mampu menguak penasaranku akan sosok Mir.

Mengapa dia melarikan diri hingga ke lembah batas dunia?

Apa kesakitan yang dirasanya? Apa dampak kutukan Sang Ratu pada Mir?

Jika dulu aku datang ke sini berbekal keinginan menjaga Inatra, kehausanku akan fakta Mir berhasil membuatku teralihkan. Mir, aku ingin menolongmu. Kekasih kecilmu, anak perempuan menggemaskan bernama Inatra itu hidup dalam perlindungan penuh ayahnya. Namun kau, Mir, ceritakan padaku apa yang telah kau alami. Aku mohon.

Kepalaku merunduk pada semak dekat kaki. Daunnya lebar dan unik, mirip daun ubi. Aku bertanya-tanya apa nama tanaman ini dalam pengetahuan giyom. Daunnya bergerak lembut. Ada salur muda yang menggelung mencuat dari balik daun, tampak mirip cabang pakis muda. Perlahan salur itu membuka gulungannya. Aku mengamati dalam khidmat. Dunia ini sungguh di luar nalar. Alam dan makhluk hidup selalu memukau. Pikiranku meliar membayangkan bagaimana jika tanaman itu dapat menyergap orang.

SRET!

Mataku membelalak. Ini gila. Salur tanaman itu melilit pergelangan kakiku kurang sedetik. Napasku tercekat. Takut mendera kesadaranku. Tidak. Bagaimana bisa?

Aku buru-buru menarik salur itu yang malah semakin mengetatkan lilitannya. Oh, buruk. Lepas!

Sruuut...

Salur itu melepaskan lilitannya. Mulutku tergagap. Mengerikan, pikirku.

"Sepupu, waktunya tidur!"

Seruan Gallea menyentakku. Tanaman itu masih di sana. Salur itu sudah bergelung di bawah daun, bersembunyi. Aku mengamati pergelangan kakiku yang memerah. Ragu-ragu aku menyentuh bagian tubuhku itu dan merintih. Sakitnya nyata. Tadi bukan mimpi ataupun halusinasi.

"Sepupu-"

"Gal, katakan padaku tanaman apa itu!" Aku berdiri dan menarik Gallea berjongkok dekat semak aneh.

"Itu hanya tanaman liar," jawab Gallea enteng.

"Kau yakin? Semak itu baru saja menarikku. Lihat, ini buktinya."

Alis Gallea menukik sambil memerhatikan kakiku. "Sepupu, kau becanda? Tak ada apapun-"

"Gallea! Aku bersungguh-sungguh!"

"Baik. Aku menyerah. Ayo kita cari tahu apa yang kau alami."

"Bagaimana caranya?"

"Tanya ayahku."

"Ayahmu?"

"Ya. Siapa lagi? Pergi ke negeri para naga lebih susah dari mendatangi kuil penjaga dunia. Ayo, Sepupu."

"Kau serius?"

Gallea menarik lenganku tak sabaran. "Aku tahu sekarang kenapa Ayah selalu mengingatkanku soal wanita. Kalian sungguh misteri bagi kami, para pria."

Aku tak memedulikan ocehan Gallea. Sebelum meninggalkan tempat itu, aku melirik semak itu. Tumpukan pertanyaan memenuhi kepala dan aku merasa tak nyaman.

***

"Inatra, duduklah dengan tenang," pinta Thanay usai mengangkat badan puterinya ke atas kursi kayu berlapis bulu tebal yang hangat dekat perapian. Inatra mengangguk, lalu membuka kantong kulit berisi biji-bijian yang sengaja dia bawa. Anak perempuan itu meneruskan permainannya membuat kalung dari untaian biji dan benang.

Thanay merasa lega melihat Inatra cukup kooperatif malam ini. Dia duduk agak jauh, dekat pintu besar berbahan kayu hitam yang mempunyai gagang pintu perak berbentuk burung elang. Ruangan ini diterang oleh cahaya lilin sepanjang dinding dan perapian, tapi interiornya tua dan berbau apak. Tempat yang tak akan diduga siapapun ada dalam istana yang mewah.

"Thanay," Jed masuk terburu-buru diikuti Don.

Inatra mengangkat kepala dari kesibukannya. Jed dan Don terkejut menemukan Inatra ada dalam ruangan ini pula. Don berinisiatif menyibukan Inatra selagi Jed dan Thanay berbicara. Dia menghampiri Inatra dan mengajak bicara anak perempuan bermata biru pucat itu.

"Adakah yang membawamu semendesak ini hingga mengajak puterimu turut serta?" Jed duduk di dekat Thanay.

"Anda tak akan percaya apa yang aku dengar begitu pulang," Thanay berbicara lesu.

"Apakah begitu buruk?"

"Apakah Gallea punya kemampuan masuk dalam mimpi seseorang?"

"Maksudmu?" Jed tak paham.

Thanay menggeleng lemah, lalu mengulang cerita Inatra yang tadi didengarnya. Jed menyimak sepanjang cerita dan tak sungkan menunjukan wajah terkejut.

"Jadi, Anda tahu sesuatu tentang Gallea?" Tanya Thanay.

"Thanay, aku mengatakan kejujuran bahwa aku pun baru tahu mengenai Gallea. Siapa dia, dari mana asalnya, apa motifnya, dan bagaimana kekuatannya adalah di luar jangkauanku. Aku telah meminta Wilhelmina mencari tahu asal-muasal Gallea, sayang dia pun tak tahu," aku Jed.

"Demi penjaga dunia, dia bahkan menembus ke dalam rumahku. Ke dalam mimpi puteriku," lenguh Thanay pelan, tak ingin menganggu Inatra.

"Thanay, kau mengatakan Inatra menyebutnya sepupu Mir. Dulu Mir pun memberi tahu keberadaannya melalui mimpi Inatra. Tidakkah kau menarik suatu ikatan yang mencengangkan?" Jed berkata serius.

"Maksud Anda?"

"Penerus murni Sang Ratu dapat melakukan komunikasi antar mereka melalui mimpi," Jed memutar kepala pada Inatra yang asik mengobrol bersama Don.

"Thanay, kau menggenggam kejayaan kerajaan ini sekaligus pemusnah bangsa ini," lanjut Jed dengan tatapan lekat berputar ke Thanay.

Inatra... keturunan Sang Ratu?

Thanay memerhatikan Inatra. Puterinya memang berbeda sejak lahir. Warna matanya dianggap kecacatan, diduga para penduduk sebagai akibat dosa si ibu semasa mengandung. Namun Inatra dapat melihat sempurna dengan sepasang mata yang nyaris putih itu. Dia tumbuh normal, tak menampakan gejala kemampuan sihir yang unik. Thanay mengingat-ingat kapan pernah Inatra melakukan sesuatu yang mutakhir. Hanya satu kali sewaktu Mir menghilang pertama kali, dia yang menemukan keberadaan Mir.

"Yang Mulia," Thanay meneguk ludahnya susah payah, "tolong jangan jadikan puteriku sebagai senjata perang."

Jed membalas tatapan memelas Thanay dingin. Kemudian melarikan ketegangan di antara mereka ke Inatra yang tertawa oleh lelucon Don.

"Jika dia penerus murni Sang Ratu, besar kemungkinan dialah yang kelak menduduki singgasana kerajaan. Hari itu akan tiba, Thanay. Aku tak tahu yang mana yang harus aku lakukan. Keselamatan rakyatku di atas segalanya. Aku akan membahasnya bersama Cissa. Percayalah, kelembutan hati dan kecerdasan Cissa akan memberikan kita solusi."

Thanay hanya sanggup mengangguk. Harapannya besar agar Inatra tak dijadikan obsesi kekuasaan seperti yang dialami Mir sewaktu muda. Menjadi penonton kekejian Raja Artha pada Mir sudah cukup memberikan Thanay ketakutan. Apalagi membayangkan puterinya yang digilir mengalami siksaan itu.

###

13/05/2019

Mon map lama ga apdet 🙏 dunia nyata sungguh sibuk

SurealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang