Empat Puluh Enam

19.5K 2.2K 103
                                    

Istana selalu sama, setiap harinya, selalu sama. Aku tidak mengerti mengapa setiap orang berusaha masuk ke dalam sini. Tidak akan ada yang kau temukan kecuali wajah penjilat. Mereka yang berusaha keras tampak di hadapan Raja dan keluarganya.

"Putri Mir."

Langkahku terhenti oleh sepasang gadis dalam balutan gaun emas dan biru. Permata hijau di dada gaun menandakan mereka berasal dari keluarga yang sama, klan yang sama, West.

"Ya." Aku tidak ingin berbasa-basi. Jadwalku padat setelah diperbarui Paman Artha.

"Izinkan kami mengundang Anda datang ke acara minum teh di kediaman West," kata gadis bergaun biru.

Aku mendesah. Lagi-lagi tawaran dengan maksud terselubung. Tentu bukan ramah-tamah sederhana.

"Akan sangat menyenangkan jika Anda mengajak Putri Cissa," tambah si gaun emas.

"Maaf, aku tidak mempunyai waktu luang. Permisi." Aku mengangguk sekali, lalu meninggalkan mereka. Aku berbelok di lorong menuju balai pendidikan.

"Sombong sekali."

Aku berhenti dan merapatkan badan ke dinding, menguping pembicaraan si gaun emas dan biru. Aktifitas kesukaanku.

"Karena dia menjadi anak angkat Raja, tingkahnya bak calon ratu. Benar-benar keparat cilik. Jika aku berhasil mendekati Pangeran Jed, aku akan menendangnya dari istana." Aku tebak itu suara si gaun biru. Suaranya serak dan khas.

"Kalau kau berhasil menjadi keluarga kerajaan, bantu aku mendapatkan suami." Kali ini gaun emas yang bicara.

Suara derap kaki menjauh menandakan mereka sudah pergi. Aku mendesah. Mereka menjadikan diriku sebagai jembatan menuju Jed dan Cissa, seolah mereka lupa aku pun ingin dihargai, bukan dimanfaatkan. Kejadian seperti ini sudah sering terjadi dan aku tidak heran jika sebentar lagi namaku akan masuk dalam bisik-bisik penduduk. Rasanya aku mulai kebal terhadap sebutan si sombong dan si menyebalkan.

"Mir, apa yang kau lakukan?" Jed setengah berlari menghampiri. "Kau tidak sedang meniru cicak, kan?"

"Sayangnya tidak. Aku baru saja menolak ajakan minum teh dua gadis cantik. Aku rasa mereka menyukaimu."

Jed meringis. "Jangan terima. Aku tidak ingin dijadikan objek."

Aku mengangkat kedua bahu. "Jika kau merasa dirimu objek, bagaimana aku harus menyebut diriku sendiri? Anjing pangeran?"

"Apa yang kau bilang?!" Jed menggeleng. "Kau adalah saudariku. Tidak ada ungkapan seburuk itu pantas bagimu."

"Seribu gadis yang mendengar ucapanmu akan menjadikan aku saingan. Bersikaplah biasa, Jed. Sebentar lagi pesta musim panas, gadis-gadis dan ibu para gadis akan menjadikanmu sasaran."

"Mengerikan," gumam Jed.

Aku tersenyum sedikit. Kami berjalan bersisian menuju balai pendidikan. Aku selalu bingung pada jadwalku. Selalu ada kelas sihir. Selama sepuluh tahun, aku selalu berada di tingkat dasar. Tidak ada peningkatan, begitu penilaian para magi--ahli sihir yang mengajarku. Bagiku, aku tidak punya bakat. Namun semua orang percaya, aku punya bakat karena aku keturunan penyihir murni.

"Apa pelajaranmu hari ini?" tanya Jed.

"Sesuai jadwal, meracik ramuan sihir. Tapi aku tidak yakin. Terakhir kali belajar, kualiku sampai kering di atas tungku dan tetap tidak ada yang terjadi." Aku memandang ke depan dengan bosan. Pelayan melintas sambil membungkuk. Kami mengangguk. Lorong-lorong yang kosong. Suasananya selalu sama.

"Kau mau bantuanku? Aku rasa bisa membacakan mantra untuk kualimu saat belajar nanti."

"Saran mengesankan." Aku tersenyum. Jed tersenyum bangga. Kemudian aku mendesah. "Berikan tawaran itu pada Willema, dia akan bahagia dan membuat seisi istana tahu kau memilihnya."

SurealWhere stories live. Discover now