Empat Puluh Tujuh

15.4K 1.9K 71
                                    

"Bau apa ini?" Tuan Pota mengibas tangannya dengan kesal. Pria gemuk itu membelalak, mengetahui kualiku mengepulkan asap. "Apa yang terjadi, Tuan Putri?"

Aku mengangkat kualiku ke atas meja kayu. Kepulan asap hitam pekat bergerak gemulai mengikuti ke mana kuali berpindah.

"Aku sudah mengikuti semua catatan. Bahan, takaran, dan mantra. Tapi semua tetap gagal." Bahuku melorot.

"Ya," Tuan Pota berdehem, "Anda boleh istirahat Tuan Putri. Setidaknya usaha Anda tidak menyebabkan kuali dan ruangan ini hancur."

Aku tersenyum menanggapi lelucon sarkas Tuan Pota. Kemudian, aku mengambil Mawa dan pergi dari situ. Sebelum pintu tertutup sempurna di belakangku, suara Tuan Pota terdengar.

"Bahkan ramuan semudah ini pun gagal dia buat. Demi Penjaga Dunia, kemana otaknya?" keluh Tuan Pota.

Karena bukan sekali aku mendengar keluhan Tuan Pota, aku mengendikan bahu tidak peduli. Bukan kesalahanku bila dia gagal dipromosikan menjadi kepala magi. Aku hanya tidak berbakat dalam sihir.

"Seharusnya Jed mendengar apa yang dikatakan Pota si sapi gila itu," kata Mawa saat aku berjalan di lorong menuju ruang penyimpanan buku sihir.

"Jed tidak perlu tahu. Tuan Pota tidak buruk. Dia hanya kurang beruntung karena mendapatkan aku sebagai murid," balasku enteng.

"Pota sapi itu beruntung bisa mengajar anak raja." Mawa punya kebencian ketara pada Tuan Pota.

"Aku hanya anak angkat raja." Aku berdiri di depan pintu ruang penyimpanan. "Apakah kau mau berjalan-jalan sebentar, Mawa?"

"Betapa baik hatinya niatanmu anak muda." Mawa terkekeh kecil. "Kau hendak menjadikan aku alibi. Katakan ke mana kau mau pergi?"

"Kau akan menyukainya." Aku tersenyum percaya diri, lalu memutar badan.

***

"Apa yang Anda lakukan, Tuan Putri?" Rinom berlari menyongsong. Siang ini, dia mengenakan kemeja dari wol cokelat yang lebih bersih dari biasanya.

Aku tersenyum. "Aku dan Mawa ingin berlatih sihir," kataku.

"Di sini?" Rinom menyisir tangannya ke sekeliling. Hamparan rumput bak permadani hijau dan siraman cahaya matahari membentuk oase surga bagiku. Aroma alam selalu berhasil menjernihkan kepenatan seusai kelas sihir.

"Beri aku sedikit waktu untuk beristirahat, Rinom. Aku tidak mungkin berkeliaran di Balai Pendidikan setelah Tuan Pota berbaik hati memberiku waktu istirahat." Aku memanjat pagar kayu yang membatasi daerah istal kuda istana.

"Apa kau sedang membicarakan Pangeran Jed?" Rinom meraih tanganku dan membantu aku mendarat dengan aman di sisi lain pagar.

"Ya. Jed dan jiwa kakak laki-lakinya," cibirku. Aku mengambil Mawa dari rumput. Dia jatuh saat aku melompat. Kakek tua itu mengaduh kecil, lalu kembali tidur. Dia selalu mudah terlelap setiap tahu aku tidak perlu mengerjakan apapun terkait sihir.

"Aku heran. Pangeran Jed tampak sangat melindungimu. Sementara Putri Cissa dapat keluar masuk istana tanpa diberondong kecemasan Pangeran."

"Cissa keluar istana?" Aku belum bertemu Cissa sejak tiga hari lalu. Sejak aku digodok Tuan Pota untuk bisa merontokan daun dari pohon menggunakan mantraーyang hasilnya selalu gagal.

"Ibuku melihatnya menuju Arena Prajurit."

Aku mengambil langkah cepat menuju sisi barat istal, tempat tumbuhnya banyak beri. Kebun yang tercipta oleh alam, lalu dipelihara Jed. Aku menyukai beri liar. Rasanya manis dan asam. Mereka tumbuh bukan untuk menyenangkan lidah siapapun, melainkan demi siklus alam. Rinom berkata, aku bak beri liar. Ungkapan menyenangkan. Seseorang menilaiku sebagai individu mandiri, bukan dia si anak angkat raja.

SurealNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ