Enam Belas

35.5K 4.3K 54
                                    

Hari-hari yang Asa lalui di pondok tua Dasen tidak pernah jauh dari membaca ulang buku berbau busuk yang mencantumkan alasan seseorang bisa tertidur dalam jangka waktu lama. Dia yang awalnya bingung melihat aksara dunia Mirallae kini dibuat tercengang akan kemampuannya bisa membaca deretan huruf-huruf tersebut. Seolah aksara itu sudah dia pelajari sejak lama dan sangat familiar baginya.

"Dunia batas." Lagi-lagi Asa mengulang deretan kata yang paling memikat hatinya.

"Apa yang membuat istri panglima kami begitu tekun membaca buku?" Dasen kembali dari perjalanannya mengumpulkan semak Martia. Semak yang menurut resep di buku berbau busuk itu dapat menjadi ramuan yang mengembalikan kesehatan seorang penderita tidur lama.

"Dasen, kau pernah berkata aku adalah keturunan penyihir hebat."

"Ya." Dasen mulai memetik daun semak Martia. Dia tidak sepenuhnya peduli percakapan Asa, kepalanya sudah tidak sabar mengolah ramuan baru semak Martia.

"Bolehkah aku tahu kenapa aku tidak mempunyai kemampuan sihir?"

Kali ini Dasen menoleh sejenak lalu balik menekuni aktivitas menyiangi semak. "Barangkali penjaga dunia mengabulkan doaku yang berharap kau tidak memiliki bakat sihir apapun."

"Benarkah?" Asa melompat dari duduknya mendekati Dasen yang menggelar semak di lantai.

"Tentu saja tidak, bodoh. Siapa aku sampai bisa doanya dikabulkan penjaga dunia. Kenapa tidak bertanya pada penyihir yang mengurus kuil penjaga dunia. Mungkin dia punya jawaban untuk pertanyaanmu."

"Dimana penyihir itu tinggal?"

"Tidak ada yang tahu. Bahkan seluruh warga di kerajaan ini belum pernah melihat kuil penjaga dunia," kata Dasen menimpali pertanyaan Asa yang dia anggap serupa lelucon paling konyol.

"Bagaimana bisa kau tahu adanya kuil penjaga dunia jika tidak ada seorang pun pernah mendatangi tempat itu?"

"Leluhur terdahulu. Sebelum kerajaan dipindah ke tempat ini, leluhur terdahulu pernah ke sana dan menceritakan pada anak-cucu mereka. Entah karena apa, kuil penjaga dunia tidak pernah lagi diketahui letaknya. Seolah-olah ingin disembunyikan dari semua mata penghuni dunia," bisik Dasen serius.

"Bagaimana bisa? Tidak adakah yang pernah mencari tahu keberadaan kuil penjaga dunia?" Asa merasakan perasaan tersulut emosi yang dia sendiri tidak paham sebabnya. Tapi dia butuh ke kuil penjaga dunia untuk bertemu penyihir penjaga kuil itu, mungkin penyihir itu lebih tahu apa yang dialaminya.

"Bagaimana jika kau ke pergi ke balai pendidikan? Mereka punya perpustakaan besar yang menampung ribuan buku. Mungkin salah satunya ada yang memuat lokasi kuil penjaga dunia," saran Dasen yang muak mendengar ocehan Asa. Pengerjaan ramuan barunya bisa terganggu jika terus direcoki pertanyaan Asa.

"Apa aku bisa ke sana?" Tanya Asa polos.

"Siapa yang tahu. Barangkali bisa. Kenapa tidak coba?"

"Ya. Tentu saja." Asa bangkit dari duduknya. Segera dia memeluk Dasen tua yang meronta tidak nyaman. Lalu dia berlari meninggalkan pondok tua peramu obat itu. Dia ingin segera ke balai pendidikan jika benar tempat itu memiliki buku yang bisa menjawab semua rasa penasarannya.

Asa melupakan fakta bahwa balai pendidikan adalah bangunan yang dijaga oleh sihir pelindung dan Ameta. Asa belum tahu bagaimana rupa Ameta.

Balai pendidikan berdiri kokoh dalam susunan batu pualam membentuk bangunan segi lima yang mewakili lima kebijakan raja terdahulu. Asa mengingat bangunan ini sebagai balai pendidikan melalui cerita-cerita Inatra. Hanya dia lupa lima kebijakan apa yang menjadi simbol bangunan ini.

"Permisi, tuan," sapa Asa pada seseorang yang duduk membelakanginya.

Ketika orang itu berbalik, Asa terkejut akan rupa orang -ah bukan- rupa makhluk itu. Tubuhnya setinggi pinggang orang dewasa, bertubuh gagah, dan wajahnya menyeramkan. Seperti kurcaci pemarah.

"Apa yang kau butuhkan?" Tanya makhluk itu.

"Aku hendak pergi ke balai pendidikan tapi aku tidak tahu cara masuk ke bangunan ini. Apa tuan bisa membantuku?" Asa memberanikan diri meminta tolong pada makhluk pendek berwajah menyeramkan ini. Mau bagaimana lagi, sepanjang jalan depan balai pendidikan tidak satu pun orang melintas. Pilihannya hanya bertanya pada kurcaci berwajah marah ini.

"Apa kau anggota pelajar, pengajar, peneliti, penyihir, atau pejabat negara?"

"Tidak satu pun."

"Benarkah?" Mata makhluk pendek itu menampilkan kecurigaan pada Asa. "Tapi aku melihat kau sebagai anggota aktif balai pendidikan. Aku rasa kau sudah lama tidak ke sini sampai lupa pada statusmu."

"Aku tidak pernah ke sini. Lagipula bagaimana tuan bisa menebak aku mempunyai status anggota di sini?"

"Kami, para Ameta terberkati kemampuan membaca sihir walau kami tidak punya bakat sihir. Kau salah satu jenis penyihir, sudah tentu kau mempunyai hak masuk ke dalam balai pendidikan. Silakan nona."

"Benarkah? Terima kasih tuan. Terima kasih. Siapa nama tuan?"

"Namaku Jedo, Ameta penjaga."

"Terima kasih tuan Jedo."

Asa bergegas lari melintas pagar tanaman rambat. Benar perkataan Jedo, dirinya dapat melintasi sihir pelindung yang memagari balai. Dia menapaki dua anak tangga sekaligus demi mempercepat waktunya menuju perpustakaan yang dikatakan Dasen.

Aneh bagi Asa. Ini pengalaman pertamanya masuk ke dalam balai pendidikan namun kakinya seolah mengenal tiap seluk-beluk lorong dan ruangan di dalam sini. Dia berlari cepat menuju pintu besar di ujung lorong. Jantungnya berpacu dua kali lebih cepat. Ada perasaan aneh membuncahi dadanya. Yang semakin dia rasa malah menimbulkan getar bahagia yang memabukkan.

Kedua tangannya terentang mendorong pintu kayu raksasa yang sama sekali tidak terasa berat. Dan matanya membesar menatap rak-rak kayu berjajar rapi di hadapannya. Jangan lupakan empat lantai di atasnya yang megah memajang deretan buku. Di dekat tempatnya berdiri, tumpukan-tumpukan buku tebal berantakan mengundang imajinasinya berkelana.

Ini surga. Lima lantai ruangan ini berisi buku-buku.

Asa memandang berkeliling. Beberapa orang memakai jubah hilir mudik membawa buku menuju sudut-sudut ruangan yang menyediakan kursi dan meja untuk membaca.

Asa kebingungan memulai pencarian bukunya dari mana. Meja yang ditebaknya sebagai meja penjaga perpustakaan kosong. Dia tidak punya alasan menunggu penjaga perpustakaan kembali jika tidak ingin membuang waktunya sia-sia dari buku-buku yang menggelitik hatinya.

Jujur ya sekarang2 ini bikin fantasi susah buatku. Bantu cek typo en eror cerita ya

SurealWhere stories live. Discover now