Tiga Puluh Empat

27.2K 3.5K 126
                                    

"Mir akan datang."

Pupil mata Thanay membesar. Pemikiran akan kepulangan Mir adalah satu alasannya ke sini, tetapi mendengar cerita Gallea, Thanay tidak tahu lagi apa yang diinginkannya.

"Ini menyebalkan, tapi aku harus pergi. Menyenangkan menerima kunjungan kalian. Sampai jumpa," ucap Gallea. Api besar nan biru tiba-tiba membungkus tubuhnya, dalam sekejap mata api lenyap, begitupun sosok Gallea.

Don terkesiap. Takjub akan sihir teleportasi yang dilihat. Gallea bukan pria biasa. Jika mereka beruntung, Gallea akan menjadi sekutu yang menguntungkan. Jika sebaliknya, situasi mereka tidak tentu. Gallea tertangkap atas kasus pemberontakan. Don melihat kedua rekannya dan bertanya-tanya apa yang mereka pikirkan. Dia masih merasa sangsi pada cerita Gallea, tapi jikalau benar tahta bukan milik Jed dan Cissara, maka siapa pemiliknya? Mir? Wanita itu menghilang. Kembali pun hanya lewat perkataan Gallea. Sungguh Don bingung.

***

"Kau berkata akan mengumpulkan beri. Tapi apa yang kau bawa? Tidak ada!" Asa bertolak pinggang menyambut kedatangan Gallea.

Asa tampak berbeda. Dia mengenakan gaun berbahan satin biru tua yang menyapu tanah. Bukan jenis pakaian seperti di kerajaan, maupun yang terakhir dikenakan di wilayah para naga. Rambutnya digerai dan kepalanya menggunakan ikat kepala berbahan kulit. Satu batu mulia berwarna ungu kehitaman menempel di ikatnya.

"Kau tak akan menyangka, Sepupu, aku baru saja nyaris menangkap rusa," sahut Gallea tanpa rasa bersalah. Dia merangkul bahu Asa. Sengaja membawanya masuk ke dalam gua yang tertutup tanaman rambat. Kegelapan menyelimuti sejenak, sebelum satu titik sinar menyusup. Langkah mereka cepat menuju asal sinar. Ketika kegelapan lenyap, kau akan menemukan dunia yang berbeda. Sebuah perkampungan. Pohon-pohon besar yang melingkari api unggun di tengah menjadi dasar pembuatan rumah. Satu pohon menjadi inang tiga hingga lima rumah pohon. Jembatan kayu dan tangga dibangun sebagai media lalu lintas dari satu rumah ke rumah lain. Kunang-kunang berterbangan, membantu pencahayaan yang minim akibat kerindangan daun. Tidak ada langit yang terlihat kecuali payung besar daun. Tanahnya sendiri tertutup daun yang gugur kekuningan.

"Kau tak memakan rusa, Gal. Kau seorang ksatria kuil penjaga dunia," koreksi Asa. Sejak tadi dia gatal ingin bicara. Tapi mereka terlarang mengucap sepatah pun kala melintas gerbang desa.

"Bukan, Sepupu. Aku belum menjadi ksatria kuil penjaga dunia sampai ayahku yang tercinta meninggal. Jadi, apa makan malam kita?" Gallea menuntun Asa duduk di tepi api unggun. Bahu Asa sangat dingin. Entah sejak kapan Asa menunggunya di luar desa.

"Aku tidak tahu. Mereka melarangku membantu pekerjaan apapun," rajuk Asa.

"Tidak ada ratu yang bekerja, Sayangku. Jadi biarkan mereka menyelesaikan pekerjaan mereka dan kau bermain-main."

"Gallea, kau tidak membantu."

"Sejak kapan aku membantu?" Gallea tertawa senang.

Asa mencebik kesal. Dia datang ke desa ini beberapa minggu yang lalu. Disambut meriah oleh mereka, para pengikut setia Sang Ratu. Mereka lebih dikenal sebagai pemberontak atau pembelot kerajaan. Mereka tahu sejarah kerajaan, menjaga ingatan mereka lestari dari keserakahan kerajaan, karena itu mereka tinggal di luar perbatasan. Sihir melindungi sekeliling desa, menjauhkan mereka dari kejaran para prajurit kerajaan.

"Katakan padaku dengan jujur, kemana saja kau?" Asa sukar mempercayai jawaban Gallea. Pertama mengenal Gallea, kilas ingatan Sang Ratu jarang muncul, tetapi melekat bak ingatan pribadi. Asa merasakannya. Setiap detail kebahagiaan dan kesedihan Sang Ratu sebagai miliknya. Gallea satu-satunya yang paham. Sebab dia keturunan lain Sang Ratu. Cicit dari cucu kandung Sang Ratu. Penerus sah kerajaan.

"Apa yang ingin kau ketahui, Sepupu? Tak ada yang menarik." Gallea menggeleng kuat sekaligus tampak kekanakan.

Asa tahu. Dia dapat merasakannya. Sihir telah memberinya pengetahuan dan kepekaan. Ikatan sebagai garis keturunan Sang Ratu memudahkannya memahami Gallea, meski sekalipun mereka tak pernah bertemu.

"Kau bertemu... dengannya?" Tanya Asa berhati-hati.

Gallea menatap lama Asa. Dia tidak sama sekali terkejut, seolah dia tahu Asa akan bertanya.

"Apa yang ingin kau tahu?" Tanya Gallea ketus. Raut wajahnya berubah kelam.

"Thanay, di-dia baik-baik saja?"

"Aku tak tahu."

"Gal, beri tahu aku. Bagaimana keadaannya?"

"Sepupu, berhentilah. Kau menyakiti dirimu melalui pertanyaan itu. Kau tahu takdir Sang Ratu menggelayut pada kita. Hentikan, dan aku akan baik-baik saja."

"Gal, kau bertemu Thanay?"

"Sepupu, berhentilah bertanya. Lupakan dia. Kau harus ingat pada tujuan kita. Tujuanmu."

"Gal..." Asa mengaitkan kedua tangannya ke depan dada. Rasanya begitu buruk. Dia merasa begitu terikat dan terpenjara. Hatinya penuh dilimpahi ingatan Sang Ratu dan perasaan aneh. Ini konyol mengetahui kau begitu berdebar dan dadamu nyaris meledak akibat satu nama. Thanay.

"Sepupu, berhenti! Kau terlarang menawarkan hatimu hingga hari peradilan tiba. Segalanya patut dikembalikan. Tahta keturunan Sang Ratu dan..." Gallea melarikan pandangannya pada sekeliling. Para penduduk desa sibuk bekerja. Para wanita berkelompok di beberapa area, membuat makanan, merajut pakaian, dan menjaga anak-anak. Para pria mengerjakan pekerjaan berat. Membelah kayu dan membuat kebutuhan perabot desa. Sinar mata Gallea melembut. Asa dapat melihat besarnya cinta Gallea pada penduduk desa yang setia pada Sang Ratu. "Mereka," lanjut Gallea dengan keyakinan diri.

Asa tidak sanggup menjawab. Dia mulai mengerti tugasnya. Sesuai permintaan Mir, Asa akan membahagiakan Inatra. Anak perempuan itu berhak menjalani takdirnya sendiri, bukannya lahir untuk meneruskan takdir akibat kutukan Sang Ratu. 

###

26/01/2019

Maaf ya lama apdet. Belom kesempatan ngetik hehehe..

SurealМесто, где живут истории. Откройте их для себя