Tujuh

42.7K 5.3K 24
                                    

Asa memandang pantulan dirinya pada cermin besar berbentuk oval. Dia mengenakan dress berbahan sutra dengan potongan leher sabrina rendah yang memunculkan garis dadanya jika dia menundukan sedikit badannya. Batu-batu permata menghiasi sepanjang bagian leher gaunnya. Pakaiannya serupa dengan yang dikenakan Cissara dan perempuan-perempuan yang tadi ditemuinya. Indah, pikirnya.

Kepala Mano menyembuk dari balik daun pintu. Asa mengangguk kecil mengizinkannya masuk.

"Ada yang bisa kubantu, Mir?''

Asa teringat betapa menyebalkan gambaran Mirallae menurut Jash dan Mano. Sesuai perkataan Cissara, dia berhak berlaku seperti Mir atau menjadi dirinya apa adanya. Dia mengulas senyum simpul melihat pancaran ketakutan dari mata kedua pelayannya itu.

"Tidak, terima kasih. Kalian boleh beristirahat. Aku ingin di sini sendiri.''

Jash dan Mano saling pandang. Wajar jika mereka keheranan. Mirallae yang mereka kenal pasti akan mengibaskan tangannya acuh saat tidak membutuhkan mereka.

Asa mengedarkan pandangan pada ruangan baru ini. Ruangan yang disebut Cissa sebagai kamarnya yang sesungguhnya. Ruangan yang lebih kecil dari ruangan pertama kali dia siuman. Unsur yang diusung masih tetap klasik namun lebih sederhana dengan lebih sedikitnya ukiran perak dan dominasi perabot dari kayu. Tidak ada pintu raksasa yang besarnya hampir empat meter. Tidak ada jendela-jendela besar dengan tanaman rambatnya. Sekarang dia benar-benar berada di rumah Mir dan keluarga kecilny. Dia sudah meninggalkan istana setelah berbicara panjang dengan Cissara lalu dipertemukan dengan adik laki-lakinya, sang raja giyom hutan barat Tunjha. Tentunya Asa memainkan lakon sebagai Mir. Tidak menunjukkan identitas aslinya sebagai Asana Ayu, sesuai peringatan Cissara.

Ya, dia akan menjaga rahasia Mir. Hanya dia dan Cissara yang boleh mengetahui siapa itu Asana Ayu.

Asa merebahkan kepalanya yang terus berdenyut. Hatinya ingin bertemu Inatra namun tubuhnya tidak bisa diajak berkompromi. Sejak siuman, ngilu di sekujur tubuhnya belum juga hilang tetapi terus dipaksakan bergerak sampai memperparah sakitnya.

Kata Cissara, Mir sudah tidak sadarkan diri lebih dari tiga bulan. Selama itu tubuh Mir hanya tergolek di atas ranjang. Pantaslah jika Asa kesakitan.

Tangan Asa mendarat pada telinganya. Dia meraba sekitaran cuping telinganya. Tanpa merabanya dia tahu bentuk telinganya lancip seperti Cissara, Jash, Mona dan orang-orang giyom yang ditemuinya. Inilah alasan dirinya ragu jika tubuhnya sebenarnya miliknya atau milik Mir. Seluruhnya sama, kecuali telinga lancip.

Matanya mulai terpejam. Suara decitan pintu memaksa matanya kembali terbuka. Penglihatannya menemukan sosok mungil berdiri di ambang pintu. Serupa peri. Pipi kemerahan, rambut keemasan bergelombang, mata biru pucat, dan kulit putih. Sosok mungil itu seperti keluar dari fantasy art.

Tidak ada pergerakan dari dua orang yang saling berpandangan itu. Pandangan mereka terkunci satu sama lain. Kerinduan tersirat pada masing-masing pemilik mata jelita itu. Gadis cilik di ambang pintu yang pertama memutuskan ikatan mata itu. Dia berlari meninggalkan ruangan.

Bersusah payah Asa bangkit mengejar anak perempuan itu. Nyeri di kepala dan ngilu di sekujur badan berusaha dia abaikan demi mendapatkan kembali sosok mungil itu. Buncahan kerinduan meluap-luap di hatinya. Akal dan hatinya bertolak putusan. Satu ingin beristirahat dan yang lain ingin mengejar anak itu. Untung tubuhnya mengikuti suara hatinya. Memaksa kakinya berjalan terseok dengan tubuh gontai. Beberapa kali tangannya menahan berat tubuhnya yang akan jatuh. Berulang kali jatuh berulang kali juga dia bangkit. Dirinya sendiri tidak mengerti mengapa dia terus berjuang mengejar sosok yang sesekali menolehkan kepala ke arahnya.

"Tolong berhenti'', pinta Asa.

Anak perempuan itu berhenti di serambi yang menghadap sungai. Wajahnya menatap datar. Selentingan pilu menyentil hati Asa ketika melihat air wajah anak itu berubah begitu.

"Inatra'', panggil Asa. Hatinya terus meneriakkan nama itu. Sosok anak perempuan mungil itu pun terlihat cocok dengan nama itu. Asa mengulurkan tangan kanannya.

Ragu-ragu anak itu menyeret kakinya mendekati Asa. Tepat di depan Asa, anak itu berhenti. Mata bulat biru pucatnya mengedip. Genangan air keluar dari sudut matanya.

Asa berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan Inatra. Bathinnya meraung ingin memeluk, menciumi bau anak itu, menggendongnya. Namun anak itu seolah membangun dinding kasat mata bagi mereka berdua.

"Jangan menangis.'' Asa tidak berani menyentuh wajah jelita giyom kecil di hadapannya. Tangis anak itu terdengar seperti isakan tertahan. Penuh kepiluan. Asa terbawa kesedihannya. Mereka berdua menangis dalam diam. Tanpa sentuhan apalagi rengkuhan. Berdiam di tempatnya masing-masing. Menikmati luka di hati mereka. Luka yang tidak dipahami Asa mengapa begitu menyakitinya.

"Mohon maafkan aku'', isak Asa berulang-ulang. Kedua tangannya menyatu menekan dadanya. Menekan debaran luar biasa di sana.

"Dimana ibuku?'' Tanya Inatra ketika tangisnya mereda.

Asa terperanjat. Inatra kecil mengetahui kenyataan dirinya bukanlah Mirallae.

SurealWhere stories live. Discover now