Tiga Puluh Enam

25.6K 3.2K 127
                                    

BYUR!

Gallea dan Asa keluar dari riak dan gelombang besar sungai. Pakaian mereka basah kuyup. Mereka berjalan kesusahan melintas sungai yang dalamnya sepinggang Asa.

"Demi Penjaga Dunia, Sepupu, apa kau harus melakukan teleportasi ke sungai? Kita nyaris terbawa arus," keluh Gallea saat kakinya menjejak tepian sungai.

Asa menepis uluran tangan Gallea yang berusaha menolongnya. Wajahnya cemberut. "Kau kira aku senang membawamu pergi sejauh ini? Rasanya aku mau mati membawamu teleportasi. Katakan, apa yang membuatmu begitu sukar dipindahkan?"

"Apa? Siapa yang sukar dipindahkan? Aku? Oh, kau konyol." Gallea menggeleng dengan ekspresi tidak percaya yang dibuat-buat.

"Ya, aku nyaris panik kita tidak sempat berpindah cukup jauh dari jangkauan prajurit kerajaan karena kau!" Seru Asa yang tergoda menampar wajah tak berdosa Gallea.

"Kalau begitu, mengapa kau memaksaku ikut?"

"Karena aku pikir tidak akan sesukar itu. Sang Ratu memindahkan kerajaan, Gallea. Seluruh istana dan isinya ke sini. Tidak ada masalah."

"Ha!" Gallea menjentikkan jarinya di depan hidung Asa. "Kau benar-benar berlebihan menilai dirimu selevel Sang Ratu. Asal tahu saja, dia dibantu kekuatan sekoloni naga. Dan kau? Haruskah aku mengatakannya?" Gallea memicing meremehkan.

Jika saja Asa meruncingkan kuku-kukunya, ingin sekali dia mencakar wajah pongah Gallea. "Kau sungguh menyebalkan," desisnya.

"Seolah kau tak sama menyebalkannya. Haruskah aku mengingatkan siapa yang beberapa menit lalu berkeras ingin pergi tanpa tahu tujuan?"

"Aku tahu tujuanku, Gallea," tukas Asa sangat tidak terima tudingan Gallea.

"Kemana? Jika kau tidak mendapat jawaban di kuil Penjaga Dunia, kemana kau akan pergi? Katakan padaku bukan ke lembah batas dunia," tantang Gallea.

Asa mati langkah. Gallea tahu ke mana tujuannya. Asa lupa bahwa mereka terikat oleh takdir penerus Sang Ratu. Meski mereka tidak dapat menerka pikiran satu dan lainnya, tetapi mereka dapat merasakan perasaan yang lain. Gallea tidak tahu persis ke mana Asa akan memulai pencariannya terhadap masa lalu Mir. Dia hanya mengikuti hatinya, lalu menebak dengan insting daripada pikiran. Diam-diam Gallea takjub pada tebakannya sendiri.

"Gal, apakah kau akan tetap diam? Kau akan bertahan tidak menceritakan apapun kepadaku?" Asa memohon penuh harap. Dia lelah, baik secara fisik, pikiran, dan hati. Kenangan Sang Ratu menyatu dalam dirinya, menyumbang kesakitan yang sangat nyata.

Gallea membuang pandangan ke langit. Asa dapat merasakan Gallea tengah menimbang permohonan Asa. Kali ini Asa akan bersabar dan menahan diri. Jika dia harus seharian berdiri dalam pakaian basah, bukan masalah, sungguh, asalkan Gallea memberitahunya.

"Kau, pasti sukar percaya jika aku belum pernah bertemu Mir," kata Gallea serak. Pandangannya turun pada Asa. Tampak jelas keletihan dan kepasrahan pada sorot mata Gallea yang biasanya penuh semangat.

Asa menggeleng sekali dan ragu.

"Pada suatu malam, aku mendengar suaranya," lanjut Gallea nyaris seperti bisikan, "diaーMirallea, sepupu yang selalu aku dengar ceritanya dari Ayahーmemanggilku." Gallea menggeleng cepat dan kuat. "Tidak. Dia tidak memanggilku. Dia memohon. Suaranya terdengar bergetar dan sakit. "Tolong, bantu aku, tolong," pintanya. Tapi aku tinggal di kuil Penjaga Dunia. Sudah sering kali aku mendengar permohonan para giyom di sana."

Mulut Gallea terbuka, lalu terkatup. Rahangnya mengeras dan matanya memerah. Asa hendak mendekat. Namun Gallea merentangkan tangannya dengan cepat, menolak usaha Asa untuk menghentikan ceritanya. "Aku tidak mengacuhkan permintaan Mir. Aku bersalah sepanjang umurku. Dia memohon bantuanku. Dia sepupuku, Demi Penjaga Dunia, dan aku tidak melakukan apapun. Saat itu aku sungguh kekanakan. Beranggapan permohonan itu untuk Penjaga Dunia..."

"Gallea-"

"Tidak! Biarkan aku menyelesaikannya, Sepupu." Gallea perlu beberapa kali menarik napas. Wajahnya memerah dan airmatanya mengalir membawa kedukaan yang belum pernah Asa lihat.

"Aku, aku yang telah menyebabkan Mir semakin putus asa. Dia tidak mempunyai siapapun di kerajaan itu. Kepercayaannya hancur oleh keegoisan. Hatinya hancur sebab salah menitipkan cinta. Satu-satunya yang dia tahu adalah takdir malangnya sebagai penerus Sang Ratu. Dia tidak sepantasnya diperlakukan dengan rendah di sana. Dia pemilik sah tahta itu. Bukan Jed maupun Cissara. Tetapi mereka memandangnya tak lebih dari seorang istri yang berkhianat dari suami sempurna. Juga seorang teman picik yang memanfaatkan statusnya sebagai teman Jed dan Cissara, raja dan ratu yang mereka agungkan. Tanpa mereka tahu, kesempurnaan dan keagungan yang mereka percayai tak lebih dari kemunafikan. Mir, sepupuku yang malang, hidup di sana dalam tekanan akibat takdir Sang Ratu. Aku," Gallea menunjuk dadanya yang bergetar, "tidak mengenali permohonannya dan terlambat menyelamatkannya."

"Oh, Gallea." Asa mendekap Gallea. Pria besar itu menjatuhkan keningnya pada bahu Asa yang kurus. Menggunakan tangannya yang besar, Gallea menutup mulutnya yang sesenggukan. Tangan Asa melingkar badan Gallea yang sekali ini sangat rapuh. Asa membelai memutar punggung Gallea dan memberikan waktu pria itu untuk menumpahkan kesedihan yang selama ini ditanggung.

***

Ruangan itu temaram bermandikan cahaya bulan dari satu-satunya jendela. Bentuk ruangannya bundar dan tampak sempit oleh jejalan rak-rak kayu tua yang dipaksa merapat ke dinding. Meja bundar di tengah ruangan memakan sisa ruang gerak, menyisakan sedikit untuk empat kursi kayu. Aroma apak menyengat di dalam situ. Dindingnya terbuat dari bata abu-abu yang membuat seisi ruangan tambah suram.

Jed duduk pada bingkai jendela. Wajahnya menghadap ke luar. Thanay duduk di kursi sambil mengelus pedang bertahta rubi. Sejak pertemuannya dengan Gallea, Thanay tidak pernah melepaskan dirinya dari pedang itu. Don melirik Jed dan Thanay bergantian, lalu mendesah dan kembali membungkam mulutnya.

"Akhirnya hari itu akan datang," gumam Jed.

Thanay mengangkat kepalanya, begitu pula Don. Mereka mendengar jelas ucapan Jed dan tersentil ingin mengetahui lebih detail. Ada banyak pertanyaan dalam benak mereka masing-masing, hanya saja Thanay dan Don menahan diri. Status sosial membatasi segala keingin merongrong informasi dari Jed.

"Aku begitu marah saat Ayah mengadakan pertarungan antara Mir dan Iphasya. Namun aku bukan siapa-siapa di hadapan Dewan kerajaan saat itu. Gelar putra mahkota tidak memberiku kekuatan apapun untuk membela wanita yang aku cintai." Jed menoleh pada Thanay yang membatu di tempat. Tidak menyangka akan mendengar sendiri pernyataan raja yang selama ini hanya berhembus sebagai gosip kerajaan.

"Kemudian aku tahu alasan Ayah. Mir berbeda sekaligus spesial. Jika tebakan Ayah benar, Mir merupakan senjata perang paling berguna untuk menaklukan kerajaan lain dan memperluas wilayah. Tetapi Mir terbukti tidak mempunyai kekuatan sihir. Ayah masih berkeras ingin menguasai kekuatan Mir, tetapi kerajaan tidak mempunyai penyihir murni sama sekali. Mereka yang masih berdarah penyihir murni hanya Willema. Sisanya telah bergabung dalam kelompok pemberontak kerajaan. Lalu Ayahku mengatur pernikahanmu, Thanay."

Jadi itulah alasan yang selalu dipertanyakan Thanay selama ini. Dia bukan mendapat kehormatan menikahi putri angkat Raja Artha, melainkan dijadikan pion. Hanya saja, mengapa dia?

###

03/03/2019

Oh my, susah banget menyisakan waktu nulis ini. Gw sampe ketik lalu hapus beberapa kali trus didiamkan beberapa hari. Baru deh kelar dan langsung update.

SurealWhere stories live. Discover now