Tiga Belas

37.1K 4.8K 41
                                    

Langit sudah berubah jingga. Burung alkat terbang rendah menuju sarang mereka yang berada di lembah bukit balai pengobatan. Namun di daratan, jalanan sebelah timur kerajaan sangat sepi. Hanya Asa yang melangkah gontai kembali pulang.

Kepalanya terngiang perkataan Dasen tentang siapa itu Rinom bagi Mirallae. Bagaimana Mirallae dan Rinom diperlakukan rakyat giyom masa itu, menyesakan dadanya dan menekan jantungnya serasa dialah memang yang mengalami semua itu.

"Rinom adalah kekasihmu sebelum Raja Artha menikahkanmu pada Thanay."

"Sehari sebelum malam pensucianmu, orang-orang memergokimu bertemu Rinom. Mereka percaya kau berselingkuh."

"Diam-diam ada gerombolan pemuda yang memukuli Rinom karena menganggapnya sebagai perusak hubunganmu dan Thanay."

"Orang-orang beranggapan kau adalah perempuan tidak baik yang menghianati Thanay."

Semua berputar berkali-kali di telinga Asa. Kendati percaya, hatinya merasakan keganjilan besar. Sebuah kesalahan yang tidak terbongkar. Entah bagaimana dia percaya Dasen hanya tahu kabar yang disebar orang-orang. Kakek tua itu tidak tahu kebenarannya kecuali Mir dan, Rinom.

"Ibu!!"

Asa kembali pada kesadarannya. Matanya berputar, melihat sekitar. Tanpa terasa dia sudah ada di dekat rumah Mir. Di ujung jalan ada Inatra yang melambaikan tangan dengan senyum lebar.

Hatinya menghangat. Tidak semestinya Asa merudung kesal yang tidak jelas asalnya. Ada anak Mirallae yang selalu memperlakukannya sangat manis.

"Ibu dari mana?" Tanya Inatra sambil berjalan di sisi Asa.

"Aku berjalan-jalan di dekat lembah balai pengobatan," jawab Asa.

"Apa kau senang tinggal di rumahku?"

"Kenapa kau bertanya begitu?"

"Karena emm kau kan em-"

"Bukan seperti yang orang-orang kenal," kata Asa melanjutkan perkataan Inatra.

"Iya."

Asa mengerti sekarang, Inatra tidak ingin orang lain tahu bahwa dia bukanlah Mirallae yang asli. Belum pernah sekali pun Inatra membahas ini di depan Thanay.

"Aku suka tinggal di rumahmu. Apa kau tidak suka aku tinggal di sana?"

"Tidak. Aku suka kau tinggal di rumahku. Apa yang kau lakukan di lembah balai pengobatan?"

"Mengunjungi Dasen."

"Dia pria tua menyebalkan. Selalu mengusir anak-anak yang bermain di sana. Aku tidak menyukainya," keluh Inatra.

Asa geli mendengar celotehan Inatra. Bagaimana pun kepolosan seorang anak selalu berhasil menarik kebahagiaan orang dewasa.

"Boleh aku bertanya," pinta Asa hati-hati.

"Tanya saja."

"Bagaimana bisa kau tahu aku bukanlah seperti yang orang-orang kenal?" Asa menghindari menyebut dirinya bukan Mirallae. Menyenangkannya Inatra adalah anak yang pintar sehingga bisa mudah paham perkataannya.

Inatra mengerucutkan bibirnya. Dia memikirkan jawaban apa yang mudah dia berikan. Terutama dengan fakta perempuan yang sedang berjalan di sebelahnya ini tidak banyak tahu bagaimana negeri mereka.

"Aku tahu karena aku bertemu ibu di hutan sebelum ibu tidur lama," jawabnya serupa bisikan namun masih terdengar Asa.

"Di hutan? Kau? Tunggu, apa kau tahu apa yang terjadi pada ibu?" Asa pusing memahami jawaban Inatra. Anak ini suka bermain kata. Menggunakan kalimat yang tidak cukup menggambarkan sesuatu.

"Kenapa kau ingin tahu?" Inatra menaikan suaranya. Dia merasa tertekan mendengar pertanyaan Asa yang menurutnya Asa tidak suka menjadi pengganti ibunya.

"I-inatra-" Asa kehilangan fungsi lidahnya. Sukar menjelaskan kondisi yang memusingkan ini dan sikap Inatra yang sulit diajak terbuka dan bekerja sama menambah beban Asa bertahan di negeri manusia bertelinga lancip.

Gadis kecil Mirallae itu berlari cepat menuju rumah, meninggalkan Asa yang masih diam di tempat. Asa tidak paham apa yang menyebabkan perubahan emosional Inatra. Dia tidak cukup paham anak itu.

"Sayang," sapa Thanay di sebelah Asa.

Sontak Asa berjingkat kaget. Dia tidak sadar jika sudah ada Thanay di sisinya. Entah berapa lama dia termenung sendirian di sini.

"Apa yang kau pikirkan?" Thanay menggenggam tangan Asa. Melingkupi jemari mungil perempuan itu dengan telapaknya yang besar.

"Tidak. Aku hanya membuat Inatra sedikit kesal," kata Asa. Dia mati-matian menghindari kontak mata dengan Thanay. Jantungnya sudah rasa ingin copot karena genggaman hangat Thanay, entah bagaimana hidupnya jika mereka pun saling pandang.

"Inatra memang anak yang sensitif. Tidak masalah. Sebentar saja dia akan kembali riang."

Mereka berdua berjalan pulang ke rumah yang sudah tampak jelas. Thanay sengaja memperlambat langkahnya. Mau tak mau Asa terpaksa mengikuti irama langkah Thanay yang santai.

"Bagaimana jika Inatra marah dalam waktu lama?" Asa masih menghawatirkan kemarahan Inatra.

Tidak segera menjawab, Thanay malah memamerkan senyum miringnya yang bagi Asa sangat tampan. "Kita bisa melakukan yang biasa kita lakukan. Inatra pasti akan memaafkanmu dan kembali riang."

"Mela-kukan a-pa?" Asa gugup mendengar ide Thany yang penuh misteri.

"Mau mencoba?" Thanay bertanya dalam nada geli kentara.

"Um asal Inatra mau berbaikan denganku, kenapa tidak?"

"Baiklah."

Belum sempat Asa bersiap, Thanay menarik tubuh Asa ke dalam pelukannya. Merayapi tubuh bagian belakang Asa tanpa jeda oleh tangan kiri Thanay, sementara yang kanan menyingkirkan kain gaun pada bahu kiri Asa dan menghembuskan napas hangat di kulit bahu telanjang itu. Asa mematung, semua tindakan Thanay terlalu cepat dan dia tidak memperoleh waktu berpikir yang cukup kecuali kenyataan mereka berdua bermesraan di depan rumah.

"Ayaaaahhh!!"

Pekikan suara Inatra menghentikan aktivitas Thanay. Panglima tampan itu tersenyum penuh kemenangan kepada Asa yang tidak paham maknanya.

"Menjauh dari ibuku," teriak Inatra sembari berlari dari dalam rumah dan menyerobot tempat di antara pelukan Thanay dan Asa.

Thanay terdorong ke belakang, pelukannya menguar pada Asa. Dia memasang wajah bersedih sambil berkata, "Tidak bisakah kau berbagi sedikit ibumu pada ayah?"

"Tidak!" Jawab Inatra tegas.

Asa terkekeh. Dia paham sekarang kemesraan mereka berdua menimbulkan kecemburuan Inatra.

"Ayo ibu kita masuk. Jangan dekat ayah, dia bau arena latihan prajurit," kata Inatra sambil menarik tangan Asa masuk ke dalam rumah.

Asa dan Inatra masuk ke dalam rumah diikuti Thanay. Asa masih sempat menoleh pada Thanay yang cepat memajukan kepalanya dan mengecup singkat kepala Asa sebelum masuk ke dalam dapur.

Bagaimana aku bertahan bersama suamimu, Mir?



SurealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang