Dua Puluh

33.1K 3.9K 39
                                    

Dua hari Asa mengistirahatkan diri di kamar. Jash dan Mano bergiliran mengantar makanan baginya. Dia hanya turun ranjang saat ingin ke kamar mandi, selebihnya dia habiskan waktu di atas ranjang bersama setumpuk buku yang dibawakan kurir istana. Buku-buku berisi sejarah kerajaan dan legenda kuno.

Asa menguap. Suasan dalam kamar mulai gelap. Kepalanya menoleh pada jendela yang menampilkan pemandangan sore. Matahari tinggal sedikit lagi tenggelam di ufuk dan awan-awan gelap menggelantung membentuk panorama gotik yang eksotis. Berlama-lama di sini, kadang menyebabkan Asa kesulitan memilah realita. Terjebak dalam dunia Mir dan kenyataan dia bukan berasal dari dunia ini menimbulkan kebingungan tersendiri. Seringkali dia mengingatkan dirinya bahwa ini semua tidak lepas karena dia memainkan sandiwara sebagai Mirallae, puteri angkat mendiang Raja Artha. Tidak lebih.

Namun kenangan akan kota tempat tinggalnya di masa lalu perlahan tergerus oleh kisah-kisah baru selama di sini. Ketakutannya membesar tatkala dia menyadari tidak ada seorang pun yang memanggil nama aslinya, Asana Ayu. Bahkan Cissa yang mengetahui kisah sejatinya tidak pernah lagi menemuinya, jikalau bertemu tidak pernah menyebut namanya. Melainkan nama Mir.

"Apa yang membuat dahimu berkerut, sayang?"

Asa memalingkan wajahnya ke asal suara. Thanay berdiri dekat ranjang. Tangannya menggenggam setangkai bunga peoni merah muda.

"Apa itu untukku?" Mata Asa menetap penuh harap pada bunga cantik yang menarik perhatiannya sejak awal.

"Kapan aku berkata bunga ini untukmu?" Balasan Thanay menghasilkan cibiran Asa. Dan Thanay tertawa berhasil mengerjai perempuan dalam balutan gaun tidur senada warna bunga yang dibawanya. "Aku bisa memberikan penawaran setimpal untuk bunga ini, yang mulia."

"Yang Mulia?"

Thanay mengendikan bahunya. "Seingatku, aku memang menikahi puteri kerajaan. Wajar bukan jika hamba memanggil tuan puteri dengan sebutan yang mulia."

"Mencoba membuat lelucon?" Asa berdiri. Sesungguhnya badan dan kakinya masih lemah, entah mengapa tubuhnya begitu menginginkan bunga peoni itu.

"Apa lelucon hamba tidak lucu, yang mulia?"

Berjalan tertatih, Asa memutari ranjang hingga sampai di hadapan Thanay. Dalam satu kali usaha, kedua tangannya melingkar pada pinggang Thanay. Wajahnya terangkat hingga bisa melihat rahang tegas Thanay. "Aku sangat lelah, panglima Thanay. Izinkan aku beristirahat dan berikan bunga itu segera."

"Apa keuntungannya bagiku jika memberikan bunga ini dengan cuma-cuma? Aku butuh balasan setimpal atas usahaku memperoleh bunga ini, yang mulia," balas Thanay tenang dan menggoda. Napas panasnya yang berhembus membikin Asa kesulitan fokus.

"Kalau begitu katakan apa yang kau inginkan, panglima," kata Asa berlakon layaknya puteri bermartabat tinggi. Dia menjauhkan diri dari tubuh Thanay dan mengangkat kepalanya tinggi agar tampak angkuh dan elegan. Usaha yang menggelikan baginya sendiri namun ini menyenangkan.

"Berikan satu kecupan maka hamba akan dengan sukarela menyerahkan harta hamba yang indah ini." Thanay masih memainkan peran rakyat jelatanya dengan mimik menggoda. Asa inginnya menubruk badan Thanay dan menindihnya di atas ranjang, memeluknya sepanjang malam.

"Baik. Ke mari dan aku berikan satu kecupan," goda balik Asa.

Thanay mendekati Asa pelan dan mantap. Jantung Asa berdegup semakin kencang. Senyuman Thanay, aroma khas Thanay, dan suara Thanay menimbulkan gelembung besar dalam dadanya yang siap pecah saking bahagia.

"Sejak kapan Tuan Puteri Mirallae pintar becanda?"

Ucapan Thanay membekukan Asa. Mirallae. Dia di sini sebagai pengganti sementara Mir, bukan sebagai Asana Ayu. Mata Asa meredup. Bukan ini yang dia harapkan akan menjadi akhir permainan lempar lelucon mereka. Mengapa Thanay harus menyebut nama istrinya dan membuat Asa terpaksa sadar terhadap posisinya?

"Aku butuh minum," kata Asa sambil berlalu keluar kamar. Meninggalkan Thanay yang kebingungan melihat perubahan emosi Asa yang mendadak. Bunga peoni tidak lagi menarik bagi Asa. Dia hanya ingin menjauhi Thanay dan melegakan hatinya yang kesal.

Bukan pergi ke dapur, Asa berbelok ke serambi belakang. Aroma tanah basah menyambut Asa yang baru membuka pintu belakang. Langit bergemuruh. Rintik gerimis seketika berganti hujan lebat. Menepikan fakta dirinya sakit, Asa berjalan melintas serambi. Terus berjalan meninggalkan rumah Mir melewati taman belakang yang becek tanpa alas kaki. Sesuatu menyedot rasa penasarannya. Di sana, ya di sana, dia yakin ada sesuatu atau mungkin seseorang yang melihatnya.

Siapa itu?

SurealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang